Mohon tunggu...
Raisa
Raisa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar SMA

Seorang pelajar yang suka membaca dan menulis. Berusaha jadi remaja yang produktif. Cinta kebebasan dan novel historical fiction.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Daerah yang Berdarah

18 Agustus 2024   19:34 Diperbarui: 18 Agustus 2024   19:51 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku kembali memandangi kopiku dengan mata berbinar. Aku hanya ingin menikmati kopi itu. Apapun yang terjadi. Seperti bapak-bapak perut buncit yang sering nongkrong di warung. Mungkin dengan meminum kopi seperti mereka, aku bisa merasa hidup sebagaimana kehidupan normal yang orang-orang jalani.

Maka kuputuskan untuk meminta sedikit gula di warung Pak RT. Namun tidak sekarang, tidak saat genderang perang kencang terdengar. Mungkin nanti malam saat kampung sudah sepi. Semoga suku lama yang bertubuh gagah itu memilih terlelap bersama anak dan istri mereka.

***

Kuberanikan diri keluar dari rumah saat malam semakin pekat. Aku berjalan mengendap-endap seperti maling yang takut ketahuan. Sebilah pisau dapur berkarat teracung di tangan kananku. Berjaga-jaga jika celaka menantiku di depan sana. Rambutku yang bau semakin berantakan diterpa angin malam yang dingin. Aku berjalan menyusuri pohon-pohon besar yang rindang. Banyak orang bilang kuntilanak biasanya suka tinggal di atas pohon menakutkan itu.

Tidak ada para pemuda pengangguran yang suka nongkrong di pos ronda saat aku lewat. Mungkin mereka juga takut bertemu suku lama yang bagiku ibarat malaikat maut. Suasana di jalanan begitu sepi, seolah aku tinggal sendirian di dunia ini. Aku tetap melangkah, ditemani suara kesiur angin dan gemerisik dedaunan. Sampai pada menit kesekian, suara-suara di sekitarku seolah lenyap begitu saja. Hanya detak jantung yang tersisa dan ketakutan yang menyesaki paru-paru.

Aku mencengkram kuat pisau milikku. Sosok malaikat maut itu sangat nyata di depan sana. Gerombolan laki-laki bertubuh gagah, kulit gelap terbakar matahari, dan tombak tajam dalam genggaman. Pikiranku makin tak terkendali. Keringat dingin mengalir di pelipis. Napasku memburu, mataku melotot. Ketakutan ini begitu luar biasa menyiksaku.

Aku merasa begitu harus mendapatkan gula itu. Aku tak bisa bersikap waras. Maka selayaknya orang gila yang dikatakan orang-orang, aku berlari sekencang mungkin sambil menutup mata, dan mulutku tidak bisa berhenti berteriak sepanjang pelarian.

Aku menghentikan tindakan brutalku ketika merasa sudah sampai di tempat tujuan. Aku membuka mata begitu mendengar gelegar tawa orang-orang. Cengiranku yang tampak menyedihkan itu muncul saat melihat warung Pak RT yang tengah disinggahi beberapa warga dan orang-orang dengan pakaian yang kelihatannya mewah dan bagus.

Aku mendadak takut melangkah ketika menyadari penampilanku yang begitu menjijikan dan menyedihkan. Kaos oblongku terlihat kusut dengan robekan bekas gigitan tikus. Belum lagi bau badanku seperti orang yang habis tidur di tempat pembuangan sampah. Kemungkinan besar mereka akan mengusirku dengan kasar.

"Ah, mereka itu gampang dibodohi! Demi lima belas juta mereka mau hasut orang untuk bunuh-bunuhan. Pasti gubernur itu bakal dicemooh habis-habisan, dianggap tidak becus urus warga! Haha," ucap salah seorang berpakaian rapi.

Entah kenapa mulutku tiba-tiba terasa kelu. Tubuhku kaku setelah berusaha keras memahami ucapan tuan itu. Kubiarkan mataku menatap mereka dengan melotot. Kubiarkan telingaku mendengar tawa renyah mereka dengan rasa sakit yang tiba-tiba menyerang tubuhku, hatiku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun