Duka saya yang mendalam untuk keluarga korban letusan Merapi.
Hanya kalimat itu yang ingin saya sampaikan sebetulnya. Tapi hati saya dipenuhi pertanyaan dan rasa gundah ketika membaca berita meninggalnya mBah Maridjan, Tutur, Wawan dan 17 orang lainnya di desa Kinahrejo akibat awan panas.
mBah Maridjan tidak mau turun mengungsi, dalam kelembutan dan kejenakaannya ia berkeras, "Semua orang ada tugasnya. Tugas saya di sini." Ketegaran hatinya membuat dia bertahan di daerah berbahaya.
Tutur, sukarelawan PMI, dan Wawan, wartawan, terdorong oleh rasa kemanusian berusaha--untuk kedua kalinya--membujuk bahkan kalau perlu memaksa mBah Maridjan untuk turun. Ketegaran hati membuat mereka berdua kembali ke daerah berbahaya.
Apa sebetulnya tugas mBah Maridjan sebagai juru kunci? Memimpin upacara labuhan setiap tahun di puncak Gunung Merapi? Tugas apa yang membuatnya merasa harus bertahan di daerah berbahaya hari itu? Menjinakkan Gunung Merapi? Mencegah Gunung Merapi meletus? Menyelamatkan Yogyakarta? Menyelamatkan dunia?
Tidak ada pertanyaan lanjutan untuk Tutur dan Wawan. Saya pahami tindakan mereka yang berani dan tulus. Saya pun mungkin akan melakukan hal yang sama. Walaupun itu akan saya lakukan dengan penuh ketakutan dan bersungut-sungut.
Saya tidak tahu bagaimana dengan 17 orang lain di sekitar rumah mBah Maridjan yang juga jadi korban. Saya tidak menemukan berita yang menceritakan kenapa mereka tidak ikut turun mengungsi seperti 14ribuan orang lainnya. Mungkin karena merasa aman berada di dekat mBah Maridjan. Mungkin merasa harus ikut menjaga, melindungi, dan membantu mBah Maridjan dalam tugasnya. Mungkin tidak ada kaitannya dengan mBah Maridjan. Mungkin kebetulan. Saya tidak tahu.
Lalu deretan pertanyaan itu lagi.
Seandainya mBah Maridjan mengikuti peringatan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta dan mengungsi sejak tanggal 25 Oktober, masihkan kita bisa melihat mBah Maridjan, Tutur, Wawan, dan 17 orang lainnya menghirup nafas hari ini? Seandainya.
Seandainya mBah Maridjan, bukan hanya ikut anjuran BPPTK untuk turun, tetapi dengan pengaruhnya yang kuat di masyarakat, ia ikut menganjurkan orang-orang untuk turun dari daerah bahaya, tidakkah itu akan menyelamatkan 17 nyawa lagi? Seandainya.
Sebetulnya saya tidak ingin mengatakan bahwa mBah Maridjan adalah penyebab kematian 17 korban di Desa Kinahrejo, Wawan dan Tutur. Walaupun demikian, saya tidak akan larut memuja dan memuji mBah Maridjan seperti TV yang latah menyebutnya sebagai manusia yang setia dengan amanah yang diembannya atau menjadikannya contoh pembanding perilaku anggota DPR yang studi banding ke Italia dan Yunani.