Sebagai Anak baru di sini, saya baru sadar akan geliat dan dinamika komunitas Kompasianers yang sungguh bergelora dan riuh-rendah. Saya baru saja menyempatkan diri melihat ke belakang dan mengamati mengenai dinamika yang rupanya dianggap cukup menggelisahkan bagi sementara Kompasianers. Sebut saja mengenai masalah plagiat, identitas palsu, tokoh fiktif, klaim palsu, selain juga kompetisi dalam 'lomba popularitas' menjadi penulis paling beken dan paling banyak dibaca di Kompasiana ini. Perseteruan juga terjadi dalam perdebatan tak jarang sangat sengit sehingga bahasa kebun binatang dan bahasa rumah sakit jiwa juga sering diutarakan. Saya kira semua itu adalah hal yang wajar dalam demokrasi dan forum tulisan & komentar seperti ini. Kita harus bersyukur bahwa kemajuan teknologi seperti internet membuka saluran lain bagi pendapat kita dan praktis tanpa batas--dibanding jumlah sentimeter kolom pada surat kabar atau majalah. Kita patut bersyukur bahwa melalui internet upaya menyampaikan pendapat menjadi lebih mudah. Kita patut bersyukur pula bahwa melalui internet silang pendapat dan ketidaksetujuan praktis tidak bisa diekspresikan dengan kekerasan fisik. Ini kemajuan bagi kemanusiaan dan peradaban, saya rasa.
Seperti biasa, dalam kemajuan yang sehat juga ada kemajemukan. Karena pada akhirnya, tiap orang punya idenya sendiri-sendiri mengenai apa yang disebut 'maju' dan tentu saja, apa yang disebut 'mundur.' Lalu yang satu teriak, "Saya ini maju, ***jing!" Dan yang diseberangnya meyahut, "Kamu itu mundur, saya yang maju, dasar mulut ******!" Masalah yang cukup menghangat akhir-akhir ini, saya perhatikan adalah mengenai komenter yang menjengkelkan, ngotot, dan 'nyampah' di tulisan tertentu. Rupanya kegigihan--mungkin satu-satunya modal yang dimiliki--si komenter njengkelin ini cukup merepotkan pemilik lapak sehingga dianggap perlu 'penertiban' melalui otoritas Admin Kompasiana.
Akun Spesialis Komentar
Beberapa hari terakhir saya memperhatikan ada beberapa usulan untuk mengatasi masalah komenter njengkelin ini, mulai dari pemblokiran akun oleh Admin sampai sistem registrasi yang memerlukan bukti diri untuk mencegah akun asal-asalan yang dibuat sekadar untuk marah-marah terhadap kritik yang tidak disukainya, entah karena menyinggung kelompok, golongan, atau idolanya. Ada pula yang usul agar komenter yang hanya menulis komentar tapi tak pernah menulis agar diblokir.
Dalam pendapat saya, akun yang tidak aktif menulis dan tidak berkomentar cukup lama (akun sekadar membaca) perlu dihapus demi kerapian dan kerampingan database. Tetapi saya tidak setuju jika akun spesialis komentar dihapus atau diblokir. Saya tidak setuju jika orang tidak boleh hanya berkomentar tanpa menulis di Kompasiana, karena bagi saya Kompasiana bukan hanya tempat untuk berbagi tulisan, akan tetapi juga tempat berbagi pendapat. Dan saya pribadi, bukan hanya mendapatkan keasyikan dari membaca tulisan, tapi juga dari membaca komentar dan menjawab komentar. Dari membaca komentar saya mendapatkan pengetahuan yang banyak, dan menjawab komentar seringkali memaksa saya untuk mencari tahu lebih banyak dan belajar lagi serta menggali ingatan dan referensi untuk memberikan komentar dengan tepat dan cespleng. Tidak jarang komentar orang lain di lapak saya atau komentar saya di lapak orang lain mengilhami saya untuk membuat tulisan yang sama sekali baru. Bahkan, kadang-kadang saya menemukan saling-silang komentar yang lebih seru, menarik, atau menghibur daripada tulisan di atasnya. Saya merasa semua komentar, yang paling menjengkelkan sekalipun, punya arti penting.
Akun tak aktif yang tidak menulis dan tidak berkomentar untuk waktu yang lama, setahun, misalnya, sepertinya memang perlu dihapus, karena kalau hanya ingin membaca tapi tak hendak bersuara, tanpa akun pun bisa dilakukan. Walaupun demikian komentar dari akun pasif total yang sudah terekam, sebaiknya jangan dihapus. Biar jadi catatan sejarah, supaya kita bisa tetap melihat bagaimana khalayak bereaksi terhadap sebuah ide dalam tulisan pada waktu itu.
Komenter Njengkelin
Hal lain, berkaitan dengan kesehatan debat kusir yang sering dirusak suasananya oleh komentar menjengkelkan, saya kira tidaklah bijaksana jika diselesaikan dengan pemblokiran oleh Admin. Debat kusir bisa dipelihara ‘kesehatan’nya jika penulis cukup aktif mengarahkan jalannya debat. Termasuk men’delete’ komentar yang dikhawatirkan betul-betul merusak suasana. Saya ingin otoritas delete-mendelete komentar berada di tangan penulis penjaga lapak, bukan admin Kompasiana. Ibarat kata, biarlah yang jaga warung yang menangani konsumen ngeyel, jangan sedikit-sedikit panggil Pak Camat.
Mengapa demikian? Karena urusan delete-mendelete komentar ini, dalam ukuran Kompasiana sangat besar dan akan sangat merepotkan jadinya. Pertama, mungkin tidak efektif karena terlalu banyak komentar masuk setiap harinya setiap harinya. Betapa merepotkannya bagi Admin untuk melihat dan menilai siapa yang perlu diblokir dan siapa yang masih bisa diterima. Kedua, bisa jadi tidak efektif karena ukurannya apa? Bagaimana mengukur sebuah komentar mempersehat atau mempersakit adu argumentasi yang berlangsung? Komentar yang ngelawak? Atau yang maki-maki? Yang penuh caci-maki pun kadang poinnya penting walaupun disampaikan dengan carut marut. Berarti Admin harus tiap hari mengawasi, setiap akun, setiap tulisan, setiap komentar. Atau ada metoda pelaporan? Ini juga sukar, ini bisa-bisa nantinya malah jadi lomba pengaduan. Si A melaporkan B, si B melaporkan A ke Admin. Nah lo Admin bingung, yang musti di-delete yang mana?
Hal lain yang menyebabkan saya keberatan dengan otoritas Admin untuk memberangus komenter menjengkelkan adalah jika pada akhirnya justru ukuran yang dipakai terlalu ketat sehingga akhirnya malah mematikan suasana lalu lintas dan silang pendapat yang ‘riuh’ dan yang justru adalah daya tarik–setidaknya bagi saya–Kompasiana dibandingkan dengan blog lain.
Identitas Palsu/Anonim/Alias/Nama Samaran dan Tokoh Fiktif