Mohon tunggu...
Rendra Siswoyo
Rendra Siswoyo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

bercita-cita menjadi seorang kepala sekolah terinovatif, inspiratif, terkreatif.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bersepaian Tanah

12 Oktober 2011   00:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:04 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Meninggal, dia sudah meninggal, terjepit pipa”.

“Subhanallah, bau galiannya harum”

Wega pun tak menghiraukan apa yang dikatakan mereka sampai Wega melihat apa yang terjadi di hadapannya. Sesosok tubuh yang terkulai lemah di angkat dari dalam galian, bibirnya merekah dan tersenyum bahagia. Baunya semerbak memenuhi udara dan menyejukkan dada. Senyum itu adalah milik Pak Firdaus, “inalillahi wainnalillahi rajiun”, Wega mengucapkannya dengan buliran air mata yang membasahi bibirnya. Kertas yang ada di tangan Wega terjatuh hingga angin menyahutnya dan melambungkannya. Sebelum isi kertas itu sampai ke pemahaman beliau, ternyata jasad beliau justru mengabarkan apa yang telah tertera dalam rangkaian hadist Rasulullah Saw.

***

Goresan peristiwa kala itu benar-benar mengendap dalam ukiran hatinya. Kini setiap detik waktu melintasi angka demi angka, Wega senantiasa menerawang setiap aktivitasnya dengan akhir kehidupan. Ia telah mengalirkan pemahaman dzikrul maut dalam setiap nadi aktivitasnya. Ia menyederhanakan untuk mengingat mati tanpa menggali lubang seperti gurunya yang telah mendahului. Ia cukup mengamati keringat asin tubuhnya adalah pengingat kematian dari bagian metabolismenya. Ia cukup memahami seberapa harum apa yang ia hirup sejenak pasti berevolusi menjadi simbol kematian yakni CO2 atau juga knalpot kita. Simbol kematian juga ia hirup kala segala kelezatan makanan bermetafora dalam feses kuning, hitam dan hijau yang tentunya menjijikan. Dalam segala kesegaran minuman juga ia pahami akan ikon kematian yang setelah melewati satu meter rongga tubuhnya berubah menjadi urine yang pasti ia ikhlaskan untuk dibuang. Tak berhenti begitu saja, Wega juga tampak mengenali kematian pada setiap kuku dan juga rambut yang panjang lalu menjadi bangkai ringan setelah tumbang oleh benda-benda tajam.

Metamorphosis Wega melesat cepat, secepat bumi mengarungi orbitnya. Kemalasannya seolah telah membeku dan nyala imanya semakin mengelorakan gemuruh dakwahnya. Hingga pada bulan yang mulia telah tiba ia laiknya melangkah di atas sajadah takwa.

***

Separuh bulan, terdengar kabar kematian anak muda saat pulang sholat Tarawih. Wega menghadap Rabb-nya. Dan tentu sejarah akan menunggu siapa yang berikutnya mengetuk tanah.

(masih belajar untuk menulis oleh Rendra Siswoyo, S.S. dalam embrio serpihan-serpihan cerpen jeruji kata)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun