Mohon tunggu...
Rendra Siswoyo
Rendra Siswoyo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

bercita-cita menjadi seorang kepala sekolah terinovatif, inspiratif, terkreatif.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bersepaian Tanah

12 Oktober 2011   00:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:04 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Loh berarti pekerjaan Bapak bukan penggali lubang sebenarnya?. Mencari ilmu bagaimana toh Pak?” Tanya Wega dengan penasaran.

“Ya tidak mas, saya mengajar sekaligus merangkap kepala sekolah dasar. Mas tau kan waktu menggali lubang CCTV itu juga harus masuk ke dalam tanah, di sanalah saya menimba ilmu tentang kematian. Sebenarnya pendapatannya tidak seberapa. Tapi ilmu yang saya dapat jauh sangat luar biasa. Ya dari pada saya menggali lubang tidak jelas di rumah, mending saya membantu menggali lubang sekaligus merasakan sedikit hikmah kematian”.

“Subhanallah, luar bisa Pak, jarang sekali saya melihat pejabat yang seperti Bapak. Saya masih banyak dosa Pak, jadi ngeri kalau mengingat mati itu”

“Biasa saja mas, saya juga awalnya ngeri kalau mengingat mati. Namun saya rasakan, saya rasakan sekali lagi ternyata sangat nikmat mas. Ketika mati kelak kita benar-benar berpindah dari keadaan yang luas menjadi sempit, yang ramai menjadi sepi, yang gerak menjadi diam, yang utuh menjadi remuk, yang bersama-sama menjadi kesepian, yang terang jadi gulita, yang hangat jadi menggigil, yang wangi jadi busuk, yang cerewet jadi bisu, yang cantik jadi buruk, yang kaya jadi miskin, yang manis jadi hambar, yang tertawa bisa jadi menangis, yang berpangkat bisa jadi dihujat, yang kuat jadi lemah, yang bersih jadi jijik, dan yang nyata akan tinggal sejarah.” Begitulah Pak Firdaus merakit kata demi kata hingga air matanya menggantung di bawah kelopak beliau.

Terlihat wajah Wega tertegun dalam seribu hikmah, seolah ia menyelami galaksi dalam samudra cahaya. Ia bukan lagi mendengarkan kata-kata Pak Firdaus, melainkan mencecapnya dalam dada yang dipenuhi rasa. Imajinasinya semakin liar menjelajahi frasa demi frasa. Ia membayangkan betapa Pak Firdaus mengenal dengan jujur setiap apa yang ia ungkapkan dengan pemahaman beliau ketika menggali dalam tanah. Dalam pikiran Wega, Pak Firdaus pasti sudah merasakan sesaknya dalam tanah, risihnya berada di dalamnya, pengap udaranya, dan beliau sudah bisa mengambarkan kematian yang nanti menantinya. Mengambarkan berbaring beralaskan tanah, bertemankan cacing, dan berbaju putih tipis yang tidak sulit ditembus air dan hewan yang siap menyantapnya.

Sekali lagi Pak Firdaus menuangkan kata demi kata ke dalam dada Firdaus yang sudah basah dengan rasa tanah.

“Mas ketika tanah telah menyatu dengan kita, kita tidak lagi butuh aneka minuman yang berasa, warna-warni makanan yang menghiasi lidah, salep kecantikan yang ternama, laptop atau hand phone yang memukau mata, kendaraan yang mengkilap harganya, atau bahkan wanita-wanita yang menghamburkan magnet cintanya, kita kelak tidak butuh itu semua. Yang kita butuhkan hanya tiga saja. Tiga hal inilah yang benar-benar berlaku di alam sana. Yang pertama pastinya tingkah kita yang dengannya Allah ridho pada kita. Yang kedua ilmu-Nya yang kita tuangkan hingga bermanfaat bagi sesama. Dan yang terahir buah hati kita yang menjadi kekasih-Nya lalu mengalirkan doanya untuk kita.” Di akhir katanya Pak Firdaus mengatakan, “Mas kematian itu pasti menghampiri kita tanpa memandang jumlah usia kita, aktivitas kita, dan dimana saja tempatnya, maka mari kita siapkan bersama”.

Wega dengan terbatah-batah menggetarkan pita suaranya, “Baik Pak..”

Pak Firdaus tersenyum dan berpamitan pada Wega. Keduanya berpelukan erat layaknya hati yang saling memancarkan gravitasinya. Keduanya berpisah, Pak Firdaus kembali ke tempat mengasah hati dan pikirannya dalam tanah lalu Wega menuju tempat untuk mengembara dalam dunia maya.

Pada mulanya, Wega hanya ingin menyalin kajian yang disarankan dosen penguji untuk revisi tugas akhirnya. Namun entah kenapa seolah jari-jemarinya telah dikuasai oleh pikiran tentang akhir kehidupan. Ia pun menelusuri ruang dunia maya yang lalu menemukan deretan hadist yang membuatnya tertegun untuk ia selami. Ia pun segera mencetaknya dalam lembaran kertas untuk ia tunjukkan ke Pak Firdaus, boleh jadi beliau belum pernah membacanya.

Untuk Bapak Firdaus, semoga kita bisa saling mengingatkan akan eloknya mengingat mati. Saya lampirkan hadist berikut untuk kita renungkan bersama :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun