Pernahkah kamu bertanya, mengapa banyak sekali masyarakat Indonesia yang menganggap kulit putih sebagai simbol kecantikan dan kesuksesan? Mengapa standar kecantikan dan status sosial sering kali diukur dari seberapa "putih" seseorang? Fenomena ini merupakan salah satu dampak kekuasaan kolonialisme Belanda yang masih hidup dalam benak kita hingga kini, membentuk cara pandang dan persepsi masyarakat terhadap diri sendiri dan orang lain.
Dalam artikel opini ini, kita akan menyelami bagaimana kekuasaan kolonial menciptakan hierarki sosial yang mengagungkan kulit putih, membentuk mentalitas bangsa yang masih berjuang melepaskan diri dari bayangan superioritas ras ini.
Sejarah Kolonialisme di Indonesia
Seperti yang kita ketahui, bahwa penjajahan Belanda selama 3,5 abad atau sekitar 350 tahun di Indonesia meninggalkan dampak yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat hingga hari ini. Penjajahan ini dimulai pada tahun 1596 dengan kedatangan Cornelis de Houtman serta kru kapalnya yang membawa misi pencarian rempah-rempah dan kekayaan alam di kepulauan Nusantara. Mendarat di Banten, Jawa Barat, kedatangan Belanda ini menandai awal dari kolonialisme yang akhirnya melibatkan eksploitasi besar-besaran sumber daya dan penduduk lokal.Â
Kedatangan Belanda ini tidak hanya mempengaruhi bidang ekonomi melalui penguasaan monopoli perdagangan rempah, tetapi juga menciptakan struktur sosial-politik baru di Nusantara. Lewat kebijakan seperti cultuurstelsel atau sistem tanam paksa, Belanda berhasil memaksa rakyat Indonesia untuk menanam komoditas yang menguntungkan pemerintah kolonial, sekaligus memperkenalkan sistem kapitalisme yang menguntungkan pihak asing dan menciptakan ketimpangan ekonomi.Â
Tetapi selain itu, pengaruh kekuasaan kolonial ini juga muncul dalam bentuk budaya dan mentalitas masyarakat Indonesia. Hingga saat ini, kita masih bisa melihat jejak-jejak pemikiran kolonial dalam sistem pemerintahan, pola pikir masyarakat terhadap status sosial, serta pandangan masyarakat terhadap otoritas.
Sejarah Munculnya "Kulit Putih" dan "Kulit Hitam" di Luar Negeri dan Indonesia
Pada awalnya, orang Eropa tidak melihat diri mereka sebagai "kulit putih" atau menjadikan keputihan mereka sebagai suatu keunggulan. Istilah "putih" pertama kali digunakan untuk menggambarkan orang Eropa oleh Thomas Middleton dalam drama The Triumph of Truth pada awal abad ke-15, di mana seorang raja Afrika yang berada di tengah orang Inggris mengomentari "keheranan di wajah orang-orang kulit putih ini."Â
Sebelum era tersebut, orang-orang berkulit gelap digambarkan berdasarkan ciri fisik seperti warna "hitam" atau "coklat keabu-abuan", tetapi deskripsi ini tidak bertujuan untuk membedakan atau merendahkan mereka dibandingkan dengan orang kulit putih. Bahkan, istilah kulit hitam merujuk pada berbagai kelompok, termasuk orang Spanyol, Arab, dan India.
Tetapi seiring berjalannya waktu, konsep ras berkembang, tetapi tidak didasarkan pada realitas biologis; ras hanyalah sebuah konstruksi sosial. Meskipun perbedaan warna kulit adalah fakta biologis, pembagian ras tidak berakar dari perbedaan fisik ini. Sebaliknya, ras adalah ide yang diciptakan, bukan kebenaran ilmiah.
Sementara di Indonesia, konstruksi ini kemudian diperkuat oleh sistem kolonial yang mengedepankan perbedaan rasial sebagai dasar hierarki sosial. Penjajah Belanda menggunakan warna kulit sebagai alat pembeda antara "kulit putih" dan "kulit gelap," dan membangun sistem yang menempatkan orang Eropa sebagai kelas superior.Â
Hierarki ini bertahan bahkan setelah kemerdekaan, sehingga persepsi bahwa warna kulit putih lebih baik atau lebih berkelas terus berpengaruh dalam standar sosial dan budaya di Indonesia, termasuk dalam standar kecantikan dan pandangan sosial. Pemahaman tentang sejarah ini penting untuk dekolonisasi pemikiran, sehingga masyarakat Indonesia dapat menerima keberagaman tanpa terjebak dalam persepsi lama yang diwariskan penjajah.
Pengaruh Kekuasaan Kolonial terhadap Mentalitas dan Budaya
Kolonialisme Belanda menciptakan struktur sosial yang sangat hierarkis, di mana warna kulit menjadi penanda utama untuk menentukan posisi seseorang dalam masyarakat. Orang Eropa ditempatkan di puncak hierarki sosial, sementara penduduk pribumi dengan kulit gelap berada di posisi terendah. Sistem ini tidak hanya menciptakan ketimpangan ekonomi tetapi juga membentuk cara pandang masyarakat terhadap status sosial.
Konsep "kulit putih" yang diasosiasikan dengan keunggulan dan kemajuan menjadi landasan standar kecantikan dan kesuksesan di Indonesia. Hingga kini, kita masih melihat jejak kolonialisme ini dalam industri kecantikan yang memasarkan produk pemutih kulit sebagai simbol kesempurnaan. Mentalitas ini juga mempengaruhi cara masyarakat melihat kepemimpinan, di mana sering kali orang dengan penampilan atau pendidikan yang "berstandar Barat" dianggap lebih tinggi derajatnya.
Dekolonisasi Pikiran dan Pentingnya Kesetaraan
Dekolonisasi pikiran adalah upaya untuk membebaskan cara berpikir masyarakat dari warisan mentalitas kolonial yang masih melekat, seperti hierarki sosial berbasis ras dan warna kulit. Di Indonesia, warisan kolonialisme tidak hanya tertanam dalam struktur ekonomi dan politik, tetapi juga dalam nilai-nilai budaya dan standar sosial. Supremasi kulit putih adalah salah satu contoh nyata dari konstruksi sosial yang mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kecantikan, status sosial, dan bahkan kemampuan individu.
Dekolonisasi pikiran penting karena persepsi tentang "keunggulan kulit putih" yang diwariskan oleh kolonialisme terus menciptakan ketidaksetaraan. Mentalitas ini tidak hanya menghambat penghargaan terhadap keberagaman, tetapi juga memperkuat diskriminasi internal di antara masyarakat Indonesia sendiri. Contohnya adalah pandangan yang menganggap kulit gelap sebagai tanda status sosial rendah, yang terlihat dalam tren produk pemutih kulit dan narasi media yang mengagungkan kecantikan berkulit terang.
Dekolonisasi membantu membongkar hierarki sosial yang tidak relevan dengan nilai-nilai modern, seperti demokrasi dan kesetaraan. Ini juga memungkinkan masyarakat untuk mengapresiasi identitasnya tanpa harus mengadopsi standar yang diberlakukan oleh penjajah.
Bagaimana Kedepannya?
Dampak kolonialisme Belanda masih membayangi cara masyarakat Indonesia memandang status sosial dan kecantikan. Hierarki sosial berbasis warna kulit menjadi akar dari diskriminasi internal yang melemahkan penghargaan terhadap keberagaman. Untuk melangkah maju, penting bagi masyarakat Indonesia untuk melepaskan diri dari standar kolonial dan membangun kesetaraan sejati.
Untuk mengatasi dampak kekuasaan kolonial yang masih melekat dalam persepsi masyarakat Indonesia, edukasi dan peningkatan kesadaran sejarah menjadi langkah awal yang penting. Institusi pendidikan harus memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana kolonialisme membentuk struktur sosial dan budaya, sehingga generasi muda dapat mengidentifikasi dan mengkritik warisan ini.Â
Media dan industri kecantikan juga memiliki peran besar untuk memainkan narasi baru yang merayakan keberagaman, menghentikan glorifikasi terhadap standar kecantikan berbasis kulit putih. Selain itu, kampanye publik dapat menjadi sarana efektif untuk mendorong perubahan pola pikir kolektif masyarakat, khususnya dengan menekankan bahwa keindahan dan nilai seseorang tidak bergantung pada warna kulit.Â
Lebih jauh lagi, peluang yang sama harus diberikan kepada pemimpin dari berbagai latar belakang untuk menunjukkan bahwa kompetensi seseorang tidak seharusnya diukur berdasarkan atribut fisik atau standar Barat, tetapi dari kemampuan dan kontribusi nyata mereka.Â
Melalui upaya kolaboratif ini, masyarakat Indonesia dapat melepaskan diri dari bayang-bayang kolonialisme dan membangun fondasi sosial yang lebih setara dan inklusif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H