Akhir-akhir ini sedang viral dengan kemunculan Kiai Hafidin atau biasa dipanggil Coach Hafidin. Ia adalah seorang mentor yang mengkampanyekan tentang poligami. Pernyataan-penyataan yang ia keluarkan mengundang polemik di kalangan netizen Indonesia.
Seperti yang ia beberkan saat diwawancarai di kanal Youtube-Narasi Newsroom.
“Saya punya keyakinan bahwasannya apa, masalah poligami ini akan terus menguat, terus viral, sampai kedepan” ucapnya
Dalam wawancaranya bersama Narasi, ia mengakatakan bahwa ia pernah menikah sebanyak 6 kali, namun ia sudah bercerai dengan 2 istrinya. Ia bercerai dengan yang pertama karena sudah menopause. Ia menambahkan bahwa ia masih ingin mempunyai anak, oleh karena itu ia menceraikannya
Dan yang kedua ia mengaku menolong seorang janda, tapi ia ceraikan juga dengan alasan tidak layak untuk diteruskan.
Pernyataan-pernyataan dari Coach Hafidin ini mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan seorang public figure, Prilly Latuconsina turut mengomentari pernyataan Coach Hafidin di kolom komentar kanal Youtube Narasi Newsroom.
“di ceraikan karena menopause? berarti menikahi perempuan karena untuk reproduksi saja ya? Ya Allah semoga hamba tidak mendapatkan jodoh seperti ini yang meninggalkan hamba karena kodrat yang engkau tentukan, Aamiin.” Komentar Prilly Latuconsina dalam kolom komentar Narasi Newsroom
Terlepas dari itu semua, lalu bagaimanakah aturan dan hukum poligami dalam islam?
Secara etimologis (lughawi) kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari dua kata: poli atau polus yang berarti banyak dan gamein dan gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak (Nasution, 1996: 84).
Disebutkan dalam istilah kitab-kitab fiqih poligami disebut dengan Ta’addud Al-Zaujat yang berarti banyak istri, sementara itu secara istilah berarti suatu kebolehan mengawini perempuan dua, tiga, atau empat, jika orang tersebut dapat berlaku adil. Jumhur ulama membatasi poligami hanya sampai empat wanita saja.
Pendapat ulama bermacam-macam tentang hukum dan ketentuan dalam Poligami, meskipun dasar pijakan mereka adalah sama, yakni QS. an-Nisa‟ (4): 3.
وَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تُقۡسِطُوۡا فِى الۡيَتٰمٰى فَانْكِحُوۡا مَا طَابَ لَـكُمۡ مِّنَ النِّسَآءِ مَثۡنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنۡ خِفۡتُمۡ اَلَّا تَعۡدِلُوۡا فَوَاحِدَةً اَوۡ مَا مَلَـكَتۡ اَيۡمَانُكُمۡ ؕ ذٰ لِكَ اَدۡنٰٓى اَلَّا تَعُوۡلُوۡا
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”
Menurut jumhur (kebanyakan) ulama ayat di atas turun setelah Perang Uhud selesai. Banyak Muslim yang gugur menjadi syuhada. Akibatnya banyak anak menjadi yatim dan janda karena ditinggal mati ayah atau suaminya. Hal ini juga berakibat terabaikannya kehidupan mereka terutama dalam hal pendidikan dan masa depan mereka (Nasution, 1996: 85). Kondisi inilah yang melatarbelakangi disyariatkannya poligami dalam Islam.
Dalil maksimal empat istri juga termaktub dalam sebuah hadist :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَّنَ غٍَْلَاّنَ بْنَ سَلَمَتَ الّثَقَفًَِ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْىَةٍ فًِ الْجَاهِلٍَِتِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ الّنَبًُِ صَلَى اللَهُ عَلٍَْهِ وَسَلَمَ أَّنْ ٌَتَخٍََرَ أَرْبَعًا مِّنْهُنَ .) رواه ترمٍدي
“Dari ibnu Umar, bahwa Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam, sedangkan ia mempunyai sepuluh orang istri pada zaman jahiliyah, lalu mereka juga masuk Islam bersamanya, kemudian Nabi SAW memerintahkan Ghailan untuk memilih (mempertahankan) empat di antaranya.” (HR. Tirmidzi).
Al-Maraghi menyatakan dalam kitab tafsirnya bahwa kebolehan poligami adalah kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Artinya boleh dan dapat dilakukan dalam keadaan darurat dan dengan orang yang benar-benar membutuhkan. Ia kemudian mencatat kaidah fiqhiyah “dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih” (menolak yang berbahaya harus didahulukan daripada mengambil yang bermanfaat). Ia membuat catatan ini untuk dengan tujuan menunjukkan bahwa sangat penting kita harus berhati-hati dalam melakukan poligami. Alasan yang membolehkan poligami, beberapa menurut Al-Maraghi :
1) Karena istri mandul sementara keduanya atau salah satunya sangat mengharapkan keturunan.
2) Apabila suami memiliki kebutuhan seks yang tinggi sementara istri tidak mampu meladeni sesuai dengan kebutuhannya.
3) Jika suami memiliki kelebihan harta yang banyak untuk membiayai segala kepentingan keluarga, mulai dari kepentingan isteri sampai kepentingan anak-anak.
4) Jika jumlah perempuan melebihi jumlah laki-laki karena ditinggal mati akibat perang. Atau banyaknya anak yatim dan janda sebagai akibat dari perang juga membolehkan dilakukannya poligami
Al-Maraghi juga menegaskan hikmah pernikahan poligami yang dilakukan Rasullulah SAW. Beliau baginda melakukan poligami hanya untuk tujuan syiar islam. Karena, jika saja Rasullulah SAW pernikahannya dengan tujuan pemuasan nafsu, maka beliau baginda akan memilih gadis-gadis yang cantik dan masih muda. Sejarah membuktikan bahwa yang dinikahi oleh Rasul SAW semuanya janda kecuali Aisyah.
Secara kesimpulan dapat diambil bahwa hukum Islam membolehkan adanya poligami dengan persyaratan yang ketat. Islam tidak secara mutlak menhalalkan atau mengharamkan poligami ini, dalam islam hanya memberikan sebuah contoh berupa kejadian dan ayat sebagai dasar dalam melakukan poligami.
Boleh saja dalam melakukan poligami, asalkan dapat berlaku adil kepada semua istri, tidak memaksa dan dapat mewujudkan kemaslahatan bersama. Dan sangat ditentang apabila tujuan dari poligami ini hanya untuk memuaskan nafsu belaka dan bukan karena Allah SWT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H