Padahal kita hidup di wilayah rawan bencana, kita hidup berdampingan dengan bencana-bencana alam tersebut.
Saya ingat dalam salah satu pertemuan yang saya ikuti terkait kebencanaan, ada seorang pejabat dari badan kebencanaan mengaku beberapa waktu sebelum terjadinya bencana besar di salah satu wilayah di bagian timur Indonesia, dia sudah melakukan pendekatan dengan pemerintah setempat agar dilakukan simulasi untuk menghadapi bencana.
Tapi jawaban pemerintah daerahnya saat itu mengatakan tidak menghendaki, karena bisa jadi menakut-nakuti masyarakat.
Tapi itulah kita. Pemerintah daerah dan masyarakat cederung merasa tak ada yang perlu ditakutkan dengan bencana yang akan datang---karena itu persoalan takdir semata. Parahnya, ada yang menganggap bencana alam sebagai murka tuhan.
Sebagaimana juga di Aceh dan juga banyak daerah bencana lainnya. Masyarakat korban bencana acap kembali ke tanah mereka---meski sudah dikatakan tidak layak untuk dihuni karena merupakan daerah 'merah' bencana.
Pemerintah daerahnya juga setali tiga uang, tak pernah punya perencanaan yang matang dan baik jika bencana datang.
Hal ini dapat dilihat dari kesiapsiagaan gedung-gedung yang disebut sebagai 'escape buidling'. Tak jarang ditemui jika escape building malah jadi 'tempat sampah' dan dibiarkan mangkrak.
Akhir tahun lalu, saya ke Aceh bersama seorang peneliti gempa dan tsunami dari Jepang.
Salah satu yang kami lakukan adalah melihat tiang yang dibangun Jepang di beberapa tempat di kota Banda Aceh.
Tiang-tiang dari beton ini dibuat tingginya sama dengan tinggi air ketika tsunami menjamah daerah-daerah tersebut. Tiang-tiang ini dibuat sebagai tugu 'ingatan'.Â
Tapi apa yang terjadi? Sebagian tiang telah lenyap karena warga membangun rumah di sekitar tiang yang pernah dibangun.