Mohon tunggu...
Raihan Kurnia Ramadhan
Raihan Kurnia Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Saya merupakan mahasiswa gabut Ilmu Politik di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, saya memiliki hobi membaca dan mendengar.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kritik Pemikiran Teokrasi Klasik pada Konsep Bernegara di Era Modern

30 Juni 2024   18:36 Diperbarui: 30 Juni 2024   19:49 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya[1]. Kekuasaan dalam negara tidak terlepas dari apa yang disebut sistem politik. Berbagai pemikiran yang dicetuskan oleh para ahli terkait negara kemudian diimplementasikan menjadi sebuah pedoman dalam menjalankan sebuah negara. Sistem politik sangat erat kaitannya dengan faktor lingkungan, ekonomi, sosial budaya suatu negara.

 

Teokrasi merupakan salah satu pemikiran yang dicetuskan para filsuf pada abad pertengahan, baik filsuf islam maupun kristen. Teokrasi merupakan salah satu bentuk sistem pemerintahan atau sistem politik yang berpedoman kepada prinsip-prinsip ketuhanan. Jika dilihat secara sekilas, sistem teokrasi merupakan sistem yang sangat ideal yang dimana nilai-nilai ketuhanan berperan besar dalam menjalankan sebuah negara. Perlu disadari bahwa konsep negara teokrasi menurut para ahli sedikit berbeda dengan negara teokrasi pada saat sekarang. Dewasa ini, negara teokrasi tetap menggunakan kitab suci sebagai dasar negara dan konsep pemimpin yang tidak demokratis. Pembeda pentingnya adalah masa ini penguasa hanya bertindak sebagai penguasa bukan sebagai orang yang melegitimasi dirinya sebagai utusan Tuhan. Negara penganut teokrasi juga menjanjikan ketaatan pemerintah dan warganya sesuai aturan yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Segala pemberontakan, oposisi terhadap pemerintah, serta pertanyaan ideologis menjadi hal yang tabu di negara ini. Tetapi apakah realisasinya demikian adanya?.

 

Pada penerapannya konsep teokrasi tidak seideal apa yang dicetuskan. Karakteristik utama dalam sistem teokrasi adalah kehidupan warga maupun pemerintah harus sesuai dengan ketentuan dogma agama. Hal ini menjadikan spiritualitas lebih diutamakan dibanding fisik maupun material. Lantas bagaimana jika ada masyarakat yang tidak taat dengan agama, kita sepakat bahwa perjalanan manusia menuju Tuhan mempunyai awal dan akhir yang berbeda. Bahkan, bisa kita lihat dengan berkembangnya teknologi semakin terlihat gap antara manusia dan Tuhan. Jika kita memaksakan dogma agama diatas kebutuhan masyarakat, apakah mereka melakukan segala aktifitas untuk melaksanakan perintah Tuhan secara ikhlas atau hanya mengikuti aturan yang berlaku?

 

Kekuasaan dari negara penganut teokrasi dominan berpusat kepada satu orang ataupun sekelompok kecil orang yang kemudian mengontrol segala aktivitas negara. Hal ini patut dipertanyakan berdasarkan apa penguasa tersebut dipilih. Seperti halnya Arab Saudi, undang-undang dasar menegaskan bahwa raja harus dipilih dari kalangan putra raja pertama, dan keturunan pria mereka yang tunduk kepada persetujuan para pemimpin agama (ulama)[2]. Lantas bagaimana dengan masyarakat yang bukan termasuk anggota keluarga, apakah mereka tidak mempunyai kesempatan untuk memimpin tanah airnya sendiri. Potensi-potensi kepemimpinan yang dimiliki masyarakat terkesan tidak berguna jika mereka tidak tergabung ke dalam anggota keluarga serta tidak ada jaminan calon raja selanjutnya berhasil memimpin negaranya tersebut.

Tanda penting dalam negara teokrasi adalah adanya satu agama yang dominan. Dalam praktiknya, negara penganut negara teokrasi membuat aturan sesuai dengan dasar negara agama mereka. Hal ini tentunya pasti memberatkan umat agama lain, walaupun secara hubungan sesama manusia tiap agama menuntun kepada kebaikan bersama tetapi bagaimana dengan aturan yang sangat berciri dengan agama di negara tersebut. Bagaimana jika ada tindak pidana atau larangan di negara tersebut, yang kemudian justru diperbolehkan pada agama lain, tentu hal ini malah memberatkan umat agama lain.

Berbicara demokrasi pada negara teokrasi terkesan sangat tidak mungkin. Konsep penguasa dalam negara teokrasi sudah mencerminkan bagaimana demokrasi tidak ada disini. Warga negara tidak dapat memilih maupun mencalonkan sesama untuk menjadi pemimpin. Suara rakyat yang tidak sesuai dengan norma agama sudah pasti ditolak, bahkan tidak menutup kemungkinan akan mendapat pelanggaran. Seperti halnya pada abad kegelapan di Eropa, Berbagai hal diberlakukan demi kepentingan gereja, tetapi hal-hal yang merugikan gereja akan mendapat balasan yang sangat kejam. Contohnya, inkuisisi terhadap Nicolaus Copernicus (1473-1543) karena teori tata suryanya yang menyebutkan bahwa matahari pusat dari galaxy. Karena dianggap menyebarkan teori Heliosentrisme itu dalam bukunya Dialogo, dia dipanggil ke Roma, sampai akhirnya kemudian dihukum oleh inquisitor (Intelejen Gereja) dengan dicongkel matanya[3].

 

Pada sejatinya, konsep negara teokrasi merupakan sebuah konsep yang ideal, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa tidak menutup kemungkinan adanya penyelewengan-penyelewengan kekuasaan akan terjadi. Dengan semakin majunya teknologi, semakin sulit untuk menolak arus globalisasi. Hal ini berdampak kepada perubahan paradigma yang ada di masyarakat. Bagaimana setiap hidup dapat memandang hidup yang lain dalam kurun waktu sepersekian detik. Berbagai kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok sudah menjadi hal yang lumrah dalam bernegara. Dengan bantuan nilai-nilai HAM, kepatuhan mutlak kepada penguasa tidaklah lagi menjadi sebuah penghalang. Berubahnya sistem pemerintahan tiap negara menjadi bukti bahwa tidak semua negara cocok menggunakan satu sistem yang sama.

Daftar Pustaka

Brown, L. Carl, and Joseph A. Kechichian, 'Succession in Saudi Arabia', Foreign Affairs, 81.2 (2002)

Kappeler, Andreas, The Russian Empire: A Multi-Ethnic History (Routledge, 2014)

Saifullah, Saifullah, 'Renaissance Dan Humanisme Sebagai Jembatan Lahirnya Filsafat Modern', Jurnal Ushuluddin, 22.2 (2014)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun