Indonesia dikenal dengan prinsip politik luar negerinya yang "bebas dan aktif." Prinsip ini telah menjadi landasan diplomasi sejak era kemerdekaan dan terus dipertahankan hingga saat ini. Secara sederhana, "bebas" berarti Indonesia tidak memihak pada kekuatan besar mana pun, sedangkan "aktif" berarti Indonesia secara aktif berpartisipasi dalam menciptakan perdamaian dan stabilitas internasional. Namun, di tengah perubahan geopolitik global dan meningkatnya ketegangan di kawasan Asia-Pasifik, banyak pihak mulai mempertanyakan relevansi prinsip bebas-aktif ini. Apakah bebas-aktif hanya sekadar slogan yang diulang-ulang, atau benar-benar masih diterapkan dalam strategi diplomasi Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat langkah-langkah Indonesia dalam beberapa isu strategis di kawasan.
Politik kawasan Asia-Pasifik, khususnya Asia Tenggara, semakin dipengaruhi oleh persaingan kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok. Persaingan ini tercermin dalam ketegangan di Laut China Selatan, pengaruh ekonomi melalui proyek-proyek infrastruktur Belt and Road Initiative (BRI) dari Tiongkok, serta tekanan militer melalui kehadiran armada militer AS di kawasan tersebut. Di sisi lain, konflik internal di Myanmar dan ketidakpastian politik di beberapa negara ASEAN juga menambah kompleksitas situasi di kawasan. Negara-negara di Asia Tenggara menghadapi dilema untuk memilih posisi, apakah lebih condong ke Tiongkok, AS, atau mempertahankan posisi netral.
Dalam konteks ini, Indonesia berada di tengah-tengah arus besar tersebut. Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki peran sentral dalam menentukan arah kebijakan regional. Namun, di sinilah pertanyaan besar muncul: Apakah prinsip bebas-aktif Indonesia masih relevan?
Strategi Diplomasi Indonesia: Masih Bebas dan Aktif?
Untuk menjawab apakah prinsip bebas-aktif hanya slogan atau masih diupayakan, kita perlu melihat langkah konkret Indonesia dalam beberapa isu berikut:
Krisis Myanmar
Indonesia memainkan peran kunci dalam krisis politik Myanmar pasca kudeta militer pada Februari 2021. Melalui ASEAN, Indonesia mendorong penyusunan "5-Point Consensus" yang bertujuan mengakhiri kekerasan dan memulai dialog politik di Myanmar. Sebagai negara yang tidak memihak kepentingan militer Myanmar maupun kekuatan eksternal, Indonesia berperan aktif dalam mediasi dan mendesak pemimpin militer Myanmar untuk mematuhi kesepakatan tersebut. Ini menunjukkan bahwa prinsip bebas-aktif masih diterapkan dengan serius.Sengketa Laut China Selatan
Indonesia menghadapi tantangan besar di wilayah perbatasannya, terutama di sekitar perairan Natuna, yang sering kali diklaim oleh Tiongkok melalui "sembilan garis putus-putus" (nine-dash line). Meski Indonesia bukan pihak langsung dalam sengketa ini, pemerintah kerap terlibat dalam upaya mediasi di ASEAN dan menyerukan penghormatan terhadap UNCLOS (Konvensi Hukum Laut PBB). Di sisi lain, Indonesia juga memperkuat pertahanan militernya di sekitar Natuna dengan memperkuat patroli dan memperkuat pangkalan militer di wilayah tersebut. Ini menunjukkan bahwa Indonesia tetap "bebas" dari pengaruh Tiongkok, namun "aktif" dalam memperjuangkan kedaulatan wilayahnya.Keterlibatan di ASEAN dan RCEP
Sebagai anggota utama ASEAN, Indonesia memainkan peran dalam memperkuat RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership), perjanjian perdagangan bebas terbesar di dunia. Di sini, Indonesia berusaha menjaga keseimbangan kepentingan antara Tiongkok dan negara-negara lain seperti Jepang, Australia, dan Korea Selatan. Dengan tidak memihak satu kekuatan dominan, Indonesia menunjukkan bahwa prinsip bebas-aktif tetap relevan dalam perdagangan dan kerja sama ekonomi kawasan.Peran di Forum G20 dan Indo-Pasifik
Sebagai presidensi G20 pada 2022, Indonesia mencoba memperjuangkan isu-isu netral seperti transisi energi, pemulihan ekonomi pasca-pandemi, dan pengelolaan keuangan global. Posisi Indonesia dalam pertemuan G20 menunjukkan bahwa Indonesia tetap menjaga prinsip bebas-aktif dengan tidak terlalu berpihak pada kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, atau Rusia. Bahkan dalam konteks Indo-Pasifik, Indonesia mempromosikan konsep "ASEAN Outlook on the Indo-Pacific" sebagai alternatif dari konsep Indo-Pasifik versi AS dan Jepang yang lebih condong pada penguatan aliansi militer.
Kritik terhadap Prinsip Bebas-Aktif
Meskipun Indonesia berusaha mempertahankan prinsip bebas-aktif, tidak semua pihak puas dengan implementasinya. Beberapa kritik yang muncul terkait kebijakan ini adalah:
Terlalu Hati-Hati dan Lamban
Indonesia sering kali dianggap lamban dalam merespons krisis kawasan. Misalnya, dalam krisis Myanmar, banyak yang menganggap Indonesia terlalu bergantung pada mekanisme ASEAN yang cenderung "tidak efektif." Kritik ini menilai bahwa Indonesia seharusnya mengambil sikap yang lebih tegas dan lebih cepat dalam mengutuk tindakan militer Myanmar.Ambiguitas dalam Sengketa Laut China Selatan
Di satu sisi, Indonesia memperkuat militernya di Natuna, tetapi di sisi lain, Indonesia tetap membangun hubungan ekonomi yang kuat dengan Tiongkok. Beberapa pengamat melihat ini sebagai sikap yang "abu-abu" dan kurang tegas. Ada pendapat bahwa Indonesia seharusnya lebih keras menolak klaim Tiongkok di perairan Natuna agar memperjelas posisinya.Ketergantungan Ekonomi dengan Tiongkok
Sebagian pengamat menilai bahwa prinsip bebas-aktif sulit dipertahankan karena ketergantungan Indonesia terhadap investasi dan pinjaman dari Tiongkok. Melalui proyek-proyek seperti kereta cepat Jakarta-Bandung, Tiongkok memiliki pengaruh ekonomi yang cukup besar. Banyak yang mempertanyakan, apakah Indonesia benar-benar "bebas" dalam konteks ini, ataukah secara diam-diam sudah "tergantung" pada Tiongkok.
Apakah Bebas-Aktif Masih Relevan?
Melihat dari langkah-langkah Indonesia dalam diplomasi kawasan, prinsip bebas-aktif tampaknya bukan sekadar slogan kosong. Indonesia tetap mempraktikkannya dalam sengketa Laut China Selatan, konflik Myanmar, dan kerjasama perdagangan RCEP. Namun, relevansi prinsip ini dipengaruhi oleh perubahan geopolitik dan tantangan yang semakin kompleks.
Beberapa pengamat menganggap bahwa prinsip bebas-aktif perlu diperbarui. Saat ini, dunia telah berubah, dengan persaingan AS-Tiongkok yang semakin ketat dan ketergantungan ekonomi yang semakin besar terhadap kekuatan besar. Oleh karena itu, beberapa pihak berpendapat bahwa bebas-aktif harus dipadukan dengan pendekatan baru yang lebih realistis dan responsif.
Kesimpulan
Prinsip bebas-aktif Indonesia masih diupayakan dalam percaturan politik kawasan, meskipun penerapannya menghadapi tantangan besar. Indonesia tetap berusaha menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan dengan tidak memihak blok mana pun, tetapi aktif dalam mendorong perdamaian, stabilitas, dan kerja sama ekonomi.
Kendati demikian, Indonesia perlu lebih tegas dan responsif dalam menangani isu-isu strategis seperti sengketa Laut China Selatan dan krisis Myanmar. Jika tidak, prinsip bebas-aktif hanya akan dipandang sebagai slogan politik yang kehilangan relevansinya.
Untuk menjaga prinsip ini tetap hidup, Indonesia harus mampu beradaptasi dengan dinamika global dan memperkuat pengaruhnya di ASEAN serta forum-forum internasional. Di sinilah peran kepemimpinan nasional dan diplomasi yang cerdas akan diuji. Apakah bebas-aktif akan tetap menjadi prinsip yang nyata, atau hanya sekadar jargon politik? Waktu yang akan menjawabnya.
Untuk alternatif ChatGPT terbaik, kunjungi hix.ai/id/chat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H