Mohon tunggu...
Raihan DzakyFerdiansyah
Raihan DzakyFerdiansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

hobi saya sebenarnya adalah olahraga tetapi saya ingin keluar dari zona nyaman saya yaitu ingin mulai menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Implikasi Dinasti Politik Terhadap Demokrasi

22 Desember 2023   23:10 Diperbarui: 22 Desember 2023   23:10 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu manifestasi demokrasi di Indonesia adalah melalui pemilihan umum, suatu praktik dalam demokrasi yang bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan membentuk perwakilan di lembaga legislatif maupun eksekutif. Sejak pemilihan umum pertama hingga tahun 2019, Indonesia telah mengadakan pesta demokrasi sebanyak tiga belas kali. Kegiatan ini secara mendasar bertujuan mencari pemimpin untuk menduduki kursi di legislatif atau eksekutif, dan terpilihnya mereka sangat berpengaruh terhadap pembangunan sistem pemerintahan yang adil, dengan potensi membawa perubahan positif untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

Bentuk negara kesatuan yang tercantum secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia mengadopsi sistem demokrasi. Penempatan jabatan strategis dalam pemerintahan, seperti presiden, gubernur, bupati, dan wali kota, diisi melalui mekanisme pemilihan, menciptakan jabatan-jabatan politik yang memegang peranan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Meskipun demikian, pada masa Orde Baru, pemilihan jabatan politik dilakukan melalui perwakilan, seperti DPR RI yang memilih presiden, DPRD Provinsi yang memilih gubernur, dan DPRD Kabupaten/Kota yang memilih bupati dan wali kota. Sistem ini menghasilkan kesepakatan yang tidak selalu mencerminkan keadilan bagi masyarakat yang berdaulat dalam negara demokrasi.

Abraham Lincoln, seorang pakar politik terkemuka, menggambarkan demokrasi sebagai pemerintahan yang berpusat pada aspirasi rakyat. Dalam konteks ini, demokrasi merupakan pemerintahan yang berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat, dan untuk rakyat. Di Indonesia, pemerintahan dibentuk melalui pemilu dan pilkada sebagai mekanisme penyelenggaraan untuk memperkuat legitimasi kekuasaan. Namun, pada masa Orde Baru, proses pemilihan umum tidak selalu berjalan sesuai aturan, menyebabkan makna demokrasi yang sejati tidak terwujud dan merusak nilai-nilai luhur azas demokrasi.

Pemilu dan pilkada di Indonesia pada masa Orde Baru hingga saat ini tidak terlalu berbeda kondisinya. Pada masa Orde Baru, pemilihan untuk jabatan eksekutif dilakukan oleh anggota legislatif, sementara pasca reformasi, pemilihan dilakukan secara langsung oleh rakyat. Tujuan penyelenggaraan pemilu, menurut Jimmly Asshiddiqie, antara lain mencakup peralihan kepemimpinan secara tertib dan damai, pergantian pejabat yang mewakili kepentingan rakyat, implementasi prinsip kedaulatan rakyat, dan pelaksanaan hak-hak asasi warga negara.

Pemilu dan pilkada seharusnya menjadi alat untuk memilih orang-orang terbaik yang diusung oleh partai politik atau jalur perorangan, dengan harapan menghasilkan pemimpin yang memiliki kapasitas, kapabilitas, integritas, moralitas, dan kepedulian terhadap kepentingan masyarakat. Idealnya, pemilihan umum harus terhindar dari praktik politik dinasti yang lebih mengutamakan hubungan keluarga dan kekerabatan, serta kolusi kelompok yang dapat menghambat kader partai untuk berkompetisi secara adil dalam kontestasi politik. 

Fenomena politik dinasti dinilai memiliki konotasi negatif karena dapat menyebabkan penyimpangan kekuasaan, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, politik dinasti sering menjadi subjek perdebatan publik dan dapat menghasilkan apatis serta ketidakmampuan masyarakat dalam menentukan pilihan politik untuk pemimpin yang kredibel dalam pemerintahan.

Dalam konteks negara demokrasi, fenomena dinasti politik telah lama hadir, menciptakan kekhawatiran akan ketidaksetaraan dalam distribusi kekuasaan politik dan mengakibatkan cacat dalam representasi demokratis, yang dikenal sebagai kekuasaan yang melahirkan kekuatan. Amerika Serikat menghadapi prevalensi dinasti politik yang lebih tinggi di Kongres dibandingkan dengan sektor pekerjaan lainnya. Studi pemilihan paruh waktu di Filipina pada tahun 2013 menunjukkan bahwa 74 persen anggota dewan wakil rakyat yang terpilih berasal dari keluarga politik yang ikut serta dalam pemilihan.

Dengan merujuk pada kekhawatiran Mosca tentang cenderungnya setiap kelas menjadi turun temurun, bahkan dalam kondisi politik terbuka, dinasti politik telah menimbulkan kekhawatiran akan keuntungan yang diperoleh keluarga penguasa. Idealnya, negara demokrasi seharusnya memastikan keterlibatan aktif rakyat dalam proses politik, namun realitasnya, politik dinasti menghambat partisipasi masyarakat karena perbedaan status atau hak sosial dengan keluarga petahana. Politik dinasti merusak esensi demokrasi yang sejati, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Dalam dinamika politik, partai politik memainkan peran utama, terutama dalam penentuan calon dan pembentukan koalisi. Politik dinasti di Indonesia termanifestasi dalam oligarki partai politik, mempengaruhi mekanisme pencalonan dan kandidasi berdasarkan keinginan elit partai, bukan berdasarkan kualitas dan integritas calon. Dinasti politik tidak hanya memperkuat jaringan kekuasaan dalam partai, tetapi juga merugikan demokrasi di tingkat partai politik. Meskipun kontroversial, tumbuhnya dinasti politik dipersepsikan memiliki potensi penyalahgunaan kekuasaan, sementara beberapa berpendapat bahwa larangan bagi keluarga penguasa untuk terlibat dalam kontestasi politik melanggar hak asasi manusia dan konstitusi warga negara.

Dengan demikian, dinasti politik di Indonesia mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan, memperlemah institusi politik, dan merugikan keberagaman masyarakat. Diperlukan upaya untuk memperbaiki mekanisme dan ketentuan dalam proses politik, memastikan keberlanjutan partai politik yang kuat, dan mendorong rekruitmen berdasarkan kapabilitas dan integritas, bukan hubungan kekerabatan semata.

Sebagai penutup, saya berpendapat bahwa maraknya politik dinasti dengan kecenderungan kuat pada unsur kekerabatan berimplikasi pada dinamika partai politik di Indonesia. Partai politik seringkali hanya dianggap sebagai alat kendaraan politik yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan semata. Dalam konteks ini, rekruitmen kader partai politik tidak berjalan secara ideal, karena penilaian hanya didasarkan pada popularitas dan kekayaan calon untuk meraih kemenangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun