Mohon tunggu...
Raihan Akbar
Raihan Akbar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Adalah Mahasiswa Hukum Keluarga Islam Universitas Negeri Raden Intan Bandar Lampung

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjaga Kelestarian Lingkungan Alam dengan Pendekatan Teori Maqashid Syariah

5 Oktober 2024   14:38 Diperbarui: 5 Oktober 2024   14:38 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Alam adalah sesuatu yang mencakup segala yang ada di bumi ini secara alamiah baik hidup atau tidak, semakin memburuknya kondisi alam mengharuskan manusia untuk terus menjaga kelestariannya, terutama pelestarian lingkungan merupakan suatu kewajiban bagi manusia yang diberi Allah sebagai pemimpin di muka bumi ini , sehingga perlu adanya campur tangan manusia yang bersifat kosmosentris.

 Menjaga lingkungan itu merupakan suatu kewajiban bagi seluruh umat manusia. Maka tidak sepatutnya kita sebagai manusia untuk merusak lingkungan yang bertentangan dengan ajaran umat islam.

salah satu bencana yang sering terjadi dikarenakan adanya perusakan lingkungan yang dilakukan oleh tangan manusia yaitu seperti Longsor, banjir kebakaran hutan,dll.
 Bencana banjir di ibu kota Jakarta merupakan masalah yang sering terjadi dan belum bisa dipecahkan hingga saat ini.

 Upaya-upaya telah dilakukan untuk mengatasinya, seperti membangun saluran penghubung dan waduk, tetapi banjir masih terus melanda Jakarta karena ekosistem lingkungannya telah punah.

 Dr. Agus Hermanto, M.H.I Dalam bukunya yang berjudul Fikih Ekologi Menyatakan bahwa Islam memberikan tatanan pada setiap hal dalam kehidupan kita dalam bentuk syariah, syariah adalah mata air atau jalan menuju mata air, maksudnya adalah bahwa jalan menuju kehidupan atau jalan menuju kebahagiaan, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena tujuan pada setiap syariah adalah li jalbi al-mashalih wa li daf'i al-ma-fasid (mengambil kemaslahatan dan meniadakan kemudaratan). 

Hal ini mencakup hal luas termasuk ekologi (lingkungan hidup).

 Kasus-kasus bencana yang kerap terjadi di Indonesia tidak terlepas dari permasalahan lingkungan, sehingga bukan hanya tanggung jawab individu saja, melainkan tanggung jawab kita bersama sebagai masyarakat. Indonesia juga termasuk negara 166 yang menjadi paru-paru dunia sehingga setiap orang harus memiliki kewajiban untuk melestarikan lingkungan dan menjaganya dari orang-orang yang merusak.

 Dalam konsep Fikih Ekologi, menjaga kelestarian lingkungan berkaitan dengan maqasid syariah, yaitu lima tujuan utama hukum Islam. Salah satu dari lima maqasid syariah tersebut adalah menjaga keberlangsungan makhluk hidup lainnya melalui upaya menjaga lingkungan. 

Oleh karena itu, penjagaan terhadap lingkungan merupakan tujuan syariat dan harus dilakukan untuk memastikan kelangsungan hidup yang berkelanjutan. Karena hakikat maqasidus syari'ah adalah menjaga kedamaian bagi manusia sebagaimana adanya perlindungan lingkungan, jelas sangat bermanfaat bagi manusia, karena jika kita berbicara tentang lingkungan, maka harus berhubungan dengan manusia untuk lingkungan yang baik mempengaruhi orang dan sebaliknya, kerusakan lingkungan memiliki efek buruk bagi orang.

A. Pengertian Fiqih Ekologi (fiqh al bi'ah)

 ekologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu 'oikos' yang berarti rumah atau tempat tinggal, dan 'logos' yang berarti ilmu. Sedangkan fikih berasal dari kata 'Faqiha-Yafqahu-Fiqhan' yang artinya pengetahuan tentang suatu hal, yang meliputi pemahaman dan pengertian. Secara umum, fiqih adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah yang bersifat praktis dan diambil dari dalil-dalil tafsili (terperinci).

 Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa fiqh al-bi'ah atau Fikih Ekologi adalah seperangkat aturan yang mengatur perilaku ekologis manusia ditentukan oleh peneliti yang memenuhi syarat berdasarkan pertimbangan rinci Tujuannya untuk mencapai kemanfaatan bagi kehidupan yang bergradasi ekologis.

 Fiqih Ekologi adalah sebuah cara berpikir yang positif dan konstruktif yang dimiliki oleh umat Islam untuk memahami lingkungan alam sekitar mereka yang menjadi tempat tinggal mereka.
 Oleh karena itu, mengabaikan keberadaan lingkungan setara dengan melakukan tindakan yang dilarang oleh agama dan dapat dianggap sebagai perbuatan tercela. 

Pelaku yang melakukan hal tersebut jelas melanggar aturan Sunnatullah, menyangkal keberadaan makhluk dan kemanusiaan, serta merusak harmoni yang telah diciptakan oleh Allah SWT.

 Adapun Rukun Fikih Ekologi sendiri adalah yang terkandung dalam Islam, ada Istilah "Khalifah" yang digunakan oleh Allah SWT untuk mengayomi atau menjalankan kewenangan Allah SWT melindungi atau mengayomi melindungi dan mengembangkan alam untuk kemaslahatan umat manusia. 

Artinya, manusia memiliki Tanggung jawab atas kelestarian lingkungan yang Allah Swt ciptakan dengan cara demikian.

 Allah SWT menciptakan alam semesta dengan sempurna dan mengikuti perhitungan yang matang. Allah tidak menciptakan alam secara main-main atau tanpa tujuan yang jelas. Alam merupakan bagian dari kehidupan dan memiliki kehidupan sendiri. 

Isi dari alam seperti udara, air, tanah, dan tumbuhan juga memuji Allah dengan cara mereka sendiri. Allah selalu mengingatkan kita untuk menjaga keseimbangan alam dan ekosistem dunia dengan tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan. Manusia juga dilarang untuk merusak ekosistem lingkungan dan mengganggu keseimbangan alam. Kita harus berhati-hati dan menjaga alam dengan skala konservasi.

B. Urgensi Fikih Ekologi

 Al-Qur'an sebagai pengetahuan spiritual untuk Berbaik hatilah pada bumi, karena bumi adalah tempat bertahan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Dengan adanya hal tersebut itu memberikan sinyal bahwa manusia harus selalu menjaga dan melestarikan bumi dan lingkungannya agar tidak akan rusak, tercemar atau bahkan punah dikarenakan alam merupakan titipan dari Allah SWT kepada manusia.

 Sebagai disiplin ilmu yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan orang lain, hubungan orang dengan lingkungan Perumusan peraturan perundang-undangan lingkungan menjadi penting untuk memastikan hal tersebut Pencerahan dan paradigma baru dalam penerapan pengelolaan lingkungan hidup Pendidikan agama menurut hukum syara. 

formulasi dan Pengembangan fiqh ekologi (fiqh al-bi'ah) menjadi keputusan yang mendesak di tengah krisis ekologi yang disebabkan oleh keserakahan dan pengabaian manusia penggunaan teknologi.

 Dalam menyusun fikih ekologi ini , ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, Pertama, Rekonstruksi makna Khilafah, Allah Swt menegaskan dalam Al Quran bahwa seseorang yang menjadi Khalifah di dunia ini tidak untuk melakukan kerusakan dan pertumpahan darah. Akan tetapi Allah Swt menjadikan mereka sebagai Khalifah itu untuk membangun kedamaian, sejahtera dan menegakan keadilan untuk umat manusia. Maka secara otomatis seseorang yang melakukan perusakan di muka bumi ini telah mencoreng almamater manusia sebagai Khalifah.  

 Pada hakikatnya Allah Swt menciptakan alam ini untuk kepentingan manusia tetapi kita tidak diperbolehkan menggunakannya secara berlebihan. Karena perilaku yang berlebihan tersebut akan terjadi perusakan terhadap alam merupakan bentuk pengingkaran terhadap perintah Allah Swt yang dijelaskan dalam Q.S Al A'raf ayat 56.

 Kedua, Ekologi Sebagai Doktrin ajaran Seperti yang dijelaskan Yusuf Qaradhawi dalam Ri'ayah al- Bi'ah fiy Syari'ah al-Islam bahwa perlindungan lingkungan sama dengan Menegaskan maqashid al-syari'ah yang lima. Karena untuk mendukung Lingkungan itu sama dengan hukum Maqashid al-Syari'ah. Dalam aturan Ushul Fiqh menyebutkan, ma la yatimmul-wajibu illa bihi fahuwa wajib (sesuatu menimbulkan suatu kewajiban, maka sesuatu itu mengikat secara hukum).

 Ketiga, Perusak lingkungan adalah kafir ekologis (kufr al-bi'ah) Merusak lingkungan itu bukanlah cerminan seorang yang mempunyai sifat amanah maka jika seseorang telah melakukan kerusakan sama halnya dia telah ingkar dengan kebesaran Allah Swt.
 Dalam Q.S Shaad Ayat 27 dijelaskan bahwa pendapat bahwa memahami alam itu sia-sia hanya berasal dari pandangan orang-orang kafir. Lebih buruk lagi, mereka merusak lingkungan dan alam secara keseluruhan. Penting untuk diingat bahwa kata 'kafir' tidak hanya merujuk pada mereka yang tidak beriman kepada Allah, tetapi juga mencakup orang-orang yang mengabaikan nikmat dan keberadaan alam semesta yang diberikan oleh Allah SWT.

C.Pemeliharaan Lingkungan dalam Fikih. Ekologi

 Memahami dan menangani terkait lingkungan (fiqh al-Bi'ah). (Keselamatan dan Pelestarian) harus ditempatkan pada landasan moral untuk mendukung semua upaya yang dilakukan dan dibina hingga saat ini Itu gagal menghilangkan kerusakan lingkungan yang sudah ada dan terus terjadi. Fiqh Lingkungan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pelestarian dan perlindungan alam sebagai anugerah dari Sang Pencipta Sebagai tempat tinggal manusia yang paling pengasih dan penyayang Selama hidup di bumi ini, manusia harus melakukan dua hal Lingkungan dan alam tidak lagi dirugikan.

Pertama, Penguatan Nilai Intelektual dan Spiritual Kesadaran intelektual dan spiritual merupakan 2 aspek keberhasilan dalam pelestarian alam. Dengan 2 aspek ini dapat mendorong tindakan seorang manusia dan menentukan kualitas akan kesadaran terhadap lingkungan.

 Kedua, Penguatan konsep Maslahah dalam Fikih Ekologi para cendekiawan muslim telah merumuskan rancangan Fikih Ekologi yang mencerminkan dinamika fiqih yang berkaitan dengan perubahan situasi konteks. Dalam membangun Fikih Ekologi, digunakan dua cara formulasi yaitu Maslahah dan Maqasid Ash-Shari`ah.

 Konsep Maslahah memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan Maqashid Asy-Syariah karena pada intinya, Maslahah digunakan sebagai alat untuk menjaga terpeliharanya Maqashid Asy-Syariat. Suatu contoh konkret dari prinsip kebaikan (maslahah) ini adalah melindungi atau memelihara secara menyeluruh salah satu dari lima kebutuhan utama (ushul al-khamsah), yaitu (1) melindungi agama (2) melindungi jiwa, (3) melindungi akal , (4) melindungi keturunan, dan (5) melindungi harta. Ke-5 hal tersebut adalah tujuan syariah yang harus dijaga.

D. Relevansi Maqashid Syariah dengan Lingkungan Hidup

 Menurut Ar-Raysuniy, Maqhasidus Syariah terdiri dari dua bagian yaitu Maqhasid Al Khimab dan Maqhasid Al Ahkam. Maqhasid Al Khidmah mengacu pada ketentuan hukum yang diambil dari dalil Al Quran dan Hadis, yang harus dipatuhi oleh orang mukallaf sesuai dengan syariat. Sementara Maqhasid Al Ahkam mencakup tujuan, hasil, dan hikmah dari penerapan aturan-aturan hukum syariah oleh mukallaf.  Dalam hal ini, Syariah merujuk pada semua ketentuan dan kewajiban yang telah ditetapkan dalam Islam.

 Dalam rangka memahami konsep Maqhasidus Syariah, dapat disimpulkan bahwa Maqhasidus Syariah adalah Haluan syariat yang berkaitan dengan Khitob Syar'i yang menurut orang mukalaf untuk diikuti dan dicapai sampai pada tujuan tersebut. 

Konsep ini sudah ada sejak zaman Al-Juwaini dan Al-Ghozali, serta disusun secara teratur oleh As-Syatibi dalam karyanya yang berjudul Al-Muwafaqot fi Ushulil Ahkam. Menurut As-Syatibi, Maqashid Syariah ditetapkan untuk memenuhi kemaslahatan seseorang baik di dunia dan akhirat, serta menjadi dasar pengertian Maqosid Syariah sebagai kemaslahatan , baik yang bersifat menyeluruh atau sebagian. Oleh karena itu, dari pandangan As-Syatibi, Maqhasidus Syariah terdiri dari 5 kemaslahatan utama yaitu menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta. 

 Pelestarian lingkungan hidup memiliki keterkaitan yang erat dengan Maqhasidus Syariah. Allah menciptakan segala sesuatu di bumi ini dengan tujuan yang berguna untuk menjaga kemaslahatan bersama, sehingga kita harus menjaga lingkungan dan tidak merusaknya sebagai bentuk rasa syukur atas ciptaan Allah. Yusuf Al-Qhordowi mengistilahkan lingkungan sebagai al-bi`ah dan pemeliharaannya sebagai ri`ayah al-bi`ah. Artinya, pemeliharaan lingkungan harus dilakukan dari sisi keberadaannya, baik dari sisi positif maupun negatifnya, demi menjaga keseimbangan dan kelangsungan hidup di bumi ini. 

 Maqasid syariah memiliki keselarasan dan keterkaitan yang erat dengan lingkungan hidup. Pertama, Relevansi Hifdzu Din (menjaga agama)dengan lingkungan hidup Hifdzu Din atau menjaga agama memiliki keterkaitan yang erat dengan lingkungan hidup. 

 Agama memberikan panduan dan tuntunan bagi manusia untuk hidup seimbang dan harmonis dengan alam sekitar. Hal ini terlihat dari ajaran-ajaran Islam yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam, menghormati makhluk hidup lainnya, serta menjaga kelestarian lingkungan.

 Sebagai contoh, dalam agama Islam terdapat aturan tentang tidak merusak alam atau membuang sampah sembarangan. Jika manusia menjaga dan melaksanakan tuntunan agama dengan benar, maka akan membantu menjaga keberlangsungan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Dengan demikian, Hifdzu Din (menjaga agama) memiliki implikasi penting dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup. 

 Kedua, Relevansi Hifdzu Nafs (menjaga jiwa) dengan lingkungan hidup pelestarian lingkungan hidup sangat berhubungan dengan menjaga jiwa manusia, karena kerusakan lingkungan dan pengurasan sumber daya alam dapat membahayakan keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Kedua hal tersebut saling berinteraksi dan harus dijaga agar dapat tercapai keseimbangan yang bersifat positif dalam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al-Maidah ayat 32. 

 Ketiga, Relevansi Hifdzu Nasl (menjaga keturunan) dengan lingkungan hidup Menjaga nasab sama dengan menjaga generasi yang akan datang, dalam hal ini dengan menjaga terhadap lingkungan, generasi muda di masa depan akan terjamin amannya. Jika seseorang tidak memperhatikan lingkungan, akan berdampak pada keberlangsungan hidup generasi mendatang. 

 Lingkungan dapat dibagi menjadi dua bagian oleh Yusuf al-Qhordlowi, yaitu lingkungan hidup dan mati. Manusia, hewan, dan tumbuhan termasuk dalam lingkungan hidup, sedangkan lingkungan mati meliputi benda-benda yang tidak bernyawa. Hal-hal ini saling melengkapi satu sama lain dan diciptakan bukanlah hal yang sia-sia karena masing-masing memiliki kelebihan. Jika salah satu benda atau unsur lingkungan terganggu atau rusak, maka akan berdampak pada unsur lingkungan yang lainnya.

 Kita harus menjaga keberlangsungan hidup makhluk hidup dan lingkungan sekitar agar dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Jika lingkungan hidup kita rusak, maka akan berdampak pada kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya, termasuk keturunan kita. Oleh karena itu, menjaga lingkungan hidup adalah salah satu bentuk menjaga keturunan kita agar tetap dapat hidup di bumi yang sehat dan lestari. Jika tidak, dampak buruknya akan dirasakan oleh generasi yang akan datang. 

 Keempat, Relevansi hifdzu aql (menjaga akal) dengan lingkungan hidup manusia telah diciptakan Allah lebih istimewa daripada makhluk-Nya yang lain karena memiliki kemampuan pikiran. Kemampuan ini memungkinkan manusia untuk membedakan antara hal yang benar dan yang salah, serta antara apa yang baik dan buruk. Namun, jika seorang yang memiliki akal tetapi melakukan hal-hal buruk atau terlarang, maka dapat dikatakan bahwa pikirannya rusak. Oleh karena itu, seseorang yang merusak lingkungan perlu memperbaiki pikirannya.
 Kelima, Relevansi hifdzul mal (menjaga harta) dengan lingkungan hidup Kekayaan bukan hanya terkait dengan uang dan emas, tetapi semua harta di negeri ini termasuk dalam kategori properti. 

Jika lingkungan dan alam rusak, maka akan berdampak pada kelangsungan pencarian harta dan merusak lingkungan dengan dalih mencari harta tersebut sangatlah salah karena hal itu sama saja dengan menutup lubang dan menggali lubang yang baru. Dalam hal ini, kita dapat menyimpulkan bahwa maqosid syariah dan lingkungan memiliki hubungan yang sangat erat dan perlu dilindungi untuk menjaga keharmonisan. 

 Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjaga lingkungan kita dan tidak merusaknya, karena melakukan tindakan tersebut sama dengan melanggar tujuan dari syariah. Disini kita mengetahui bahwa maqosid syariah dan lingkungan sangat erat hubungannya dan keharmonisan, itulah sebabnya kita menjaga lingkungan kita, bukan merusaknya, karena melanggar tujuan syariah. 

 Menjaga Lingkungan merupakan kewajiban seluruh umat manusia yang dijadikan sebagai khalifah di muka bumi ini. Di samping itu menjaga lingkungan itu termasuk ajaran agama islam dan juga memiliki korelasi dengan Maqhasidus Syariah yang merupakan tujuan syariat islam. Maka jika seoramg muslim melakukan kerusakan terhadap alam maka secara tidak langsung dia telah merusak terhadap agamanya sendiri begitu pula sebaliknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun