Mohon tunggu...
Raihana Fauzyya
Raihana Fauzyya Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar

gatauk

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penyesalan yang Terlambat

30 Oktober 2024   19:49 Diperbarui: 30 Oktober 2024   19:51 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yana adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Kini, Yana menjadi harapan satu-satunya didalam keluarga. Bagaimana tidak, saudara-saudaranya sudah bekerja bahkan ada yang telah menikah. Jarak usia Yana dengan saudaranya cukup jauh.

Yana adalah anak yang pintar, rajin dan penurut pada orang tua. Tak heran jika ia menjadi anak kesayangan kedua orang tuanya. Dulu di SD, ia selalu mendapat juara kelas. Bahkan ia lulus dengan nilai rata-rata tertinggi. Ia juga terkenal sebagai anak yang ramah dan sopan. Teman-teman dan gurunya pun senang padanya. Ayah dan ibunya sangat bangga akan prestasi dan sikapnya yang mulia. Tak pernah sekalipun ia membantah perkataan orang tuanya.

Namun, lama kelamaan Yana merasa tertekan dengan harapan yang terlalu tinggi dari keluarganya. Kini orang tuanya menuntut Yana untuk selalu mendapat juara kelas. Semenjak masuk ke tingkat SMP, ayah dan ibunya menekan Yana untuk terus belajar dan tidak memperbolehkan Yana untuk berkeluyuran di luar rumah. Bahkan hanya sekedar bermain di hari Minggu bersama teman, orang tuanya tak mengizinkan.

Suatu hari, ketika Yana duduk di bangku kelas IX, ia mulai merasa jenuh dan tertekan dengan semua tuntutan yang diberikan orang tuanya. Orang tuanya selalu menuntutnya untuk menjadi sempurna.

"Kamu harus belajar agar selalu menjadi juara, kalau kamu keluyuran nilaimu akan hancur, Yana!" ucapan ini selalu keluar dari mulut ibunya saat Yana meminta izin untuk pergi bermain.

Dari sinilah ia mulai bergaul dengan teman-teman yang hidupnya bebas. Mereka sering mengajak Yana keluar untuk pergi bersenang-senang sampai larut malam. Awalnya Yana takut untuk ikut dengan mereka, tapi Yana sangat ingin hidup bebas seperti mereka.

"Duh, kayanya seru juga ya. Apa aku ikut aja sama mereka?
Ah cuma sekali-sekali aku begini, lagipun aku udah capek di rumah terus."

Jam telah menunjukkan pukul 21.00 WIB. Ayah dan ibu Yana baru tiba di rumah. Tak biasanya ayah dan ibunya baru pulang jam segini. Itu karena     ada beberapa masalah di kantor. Rumah terlihat sunyi, tak terdapat tanda-tanda keberadaan Yana. Ayah mencari Yana di sekeliling rumah.

"Tak ada! Yana tidak ada di rumah. Kemana dia?" tanya ayah panik.

"Sudah jam 9, tak mungkin Yana masih berada di luar rumah! Kemana dia jam segini?" ibunya balas bertanya, juga panik.

"Kita harus segera mencari Yana, HPnya juga tak aktif. Jangan-jangan dia dalam bahaya!" ayah menarik tangan ibu dan berlari menuju mobil

Sudah pukul 23.00 WIB, Yana tak kunjung ketemu. Ayah dan ibunya sudah lelah mencari di sekeliling kota. Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang, berharap Yana sudah berada di rumah.

Ternyata benar, baru saja mobil terparkir sang ibu langsung berlari menghampiri Yana yang terlihat termenung di depan rumah. Ibu segera memeluk Yana dengan erat.

"Kemana saja kamu Yana? Kamu tak tau ini sudah larut malam? Bahaya jika kamu masih di luar jam segini, Nak." ibu menangis seraya memeluk Yana.

Yana melepas pelukan ibunya. "Bu, tadi aku hanya mengerjakan tugas kelompok dengan teman-temanku. Jangan terlalu berpikiran yang berlebihan." Yana menjawab ketus. Lalu ia masuk ke dalam rumah meninggalkan ayah dan ibunya.

Ayah dan ibunya bingung. Dia kemana dari tadi? Kenapa Yana seperti itu? Ada apa dengannya? Banyak sekali pertanyaan yang berputar dikepala ayah dan ibunya.

"Biarkan saja, mungkin dia lelah. Besok kita tanyakan padanya. Sekarang ayo kita masuk, sudah larut malam." ayah membujuk ibu untuk masuk.

Sebenarnya pikiran Ibu tak tenang. Ibunya merasa ada yang tak beres dengan anaknya akhir-akhir ini. Tak hanya hari ini saja Yana bertingkah aneh. Kemarin-kemarin Yana sering telat pulang, alasannya kerja kelompok. Yana juga sering mengurung diri di kamar.

Paginya, ayah memanggil Yana. Terlihat raut wajah ayahnya itu menahan amarah. "Yana, jawab jujur pada ayah. Ayah tau ada yang tidak beres denganmu. Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari ayah dan ibu. Kamu kenapa akhir-akhir ini? Dan untuk apa uang itu kamu pergunakan?" ayahnya terlihat bicara serius

Yana terkejut mendengar ucapan ayah barusan. "U-uang apa yang di maksud Ayah? Apa Ayah tau aku mengambil uang simpanan Ayah?" ucapnya dalam hati.

Tapi Yana tak mengeluarkan sepatah katapun. Ia hanya menunduk, diam, berharap ayahnya akan pergi meninggalkannya dan tidak mengungkit masalah ini lagi.

"Terserah lah Yana, Ayah tak tau apa yang sebenarnya terjadi padamu. Lebih baik kamu ceritakan saja apa masalahmu pada ibumu. Dari pada kamu terus memendamnya." ayah berbicara sambil berjalan meninggalkan Yana.

Yana lagi-lagi terdiam. Ia tau sebenarnya apa yang dia lakukan salah. Tapi dia juga ingin seperti teman-temannya. Dia yakin, kalau ia jujur pada orang tuanya pasti mereka tak akan mengizinkan Yana bebas. Mereka juga pasti akan marah setelah tau Yana mencuri uang simpanan dan mempergunakannya untuk hal yang tidak baik.

Semakin lama, Yana semakin terpengaruh. Ia lalai dalam mengerjakan tugas, sering bolos sekolah, dan mencoba hal-hal yang tak seharusnya ia lakukan.

Karna melihat Yana yang sangat berubah, ibunya mengajak Yana berbicara dengan lembut. "Yana sebenarnya apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu sangat berubah? Apa yang salah denganmu? Atau ibu yang salah?" ibunya berbicara dengan lembut.

Akhirnya Yana mengakui semua perbuatannya. Mulai dari bolos sekolah, mencuri uang ayahnya, berbohong, dan semua sikap buruk lainnya. Ia mengaku kesal karna ibu dan ayahnya terlalu menuntutnya dan mengekangnya.

Ibunya mendengar semua celotehan dari putri kecilnya itu. Ibunya tersadar, ternyata sebagai orang tua ia terlalu berlebihan dan terlalu mengekang anaknya. Ia terlalu menuntut anaknya hingga merasa terbebani. Ibunya meminta maaf atas semua tekanan yang dia berikan dulu pada Yana.

"Ibu begitu juga demi masa depanmu, Nak. Ibu takut kamu tidak jadi apa-apa dikemudian hari. Tapi ibu juga berlebihan dalam mendidikmu. Tidak seharusnya ibu berlebihan seperti itu." ucap ibunya.

Yana juga meminta maaf atas semua sikap nakalnya dulu.
Ia berjanji akan berubah menjadi lebih baik. Ia akan memperbaiki nilai-nilainya yang jelek itu dan akan berusaha masuk ke SMA yang ia impikan.

Namun, terlambat. Ketika hari pengumuman  seleksi, namanya tak terdaftar di sana. Ia merasa gagal dan kecewa pada diri sendiri. Ia tak bisa memakai seragam sekolah impiannya.

Ia baru menyesali perbuatannya dulu. Yana merasa putus asa. Tapi ibu dan ayahnya memberi dukungan dan semangat pada Yana.

"Mau disesali pun, tak bisa mengubah takdir, Nak. Nah kamu bisa mengambil pelajaran dari sikapmu kan? Sebenarnya yang ibu dan ayah lakukan itu untuk kebaikanmu, Nak. Namun ibu juga salah. Kita sama-sama belajar di sini. Ibu belajar menjadi orang tua yang baik. Kamu belajar menjadi anak yang baik." ucap ibu sambil mengelus kepala Yana.

"Cobalah jalani dulu sekolahmu yang baru. Mungkin di sini nasibmu akan baik. Jangan terlalu memikirkan SMA itu. Sekarang kamu sudah berada di tempatmu. Jalanilah dengan ikhlas, Nak." tambah ibunya.

Yana pun berjanji pada dirinya, bahwa ia akan berubah setelah kejadian itu. Ia tak lagi bergaul dengan teman-temannya yang membawanya ke jalan yang salah. Ia sekarang fokus belajar dan kembali seperti Yana yang dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun