Andi Arief, menjadi satu dari tiga 'bintang' di saat pentas pencawapresan menyesaki ruang publik pekan kemarin. Dua nama lain, pastinya adalah para cawapres dari masing-masing capres, KH Ma'ruf Amien, di kubu Jokowi serta Sandiaga Uno, di kubu Prabowo Subianto.
Malam hari 8 Agustus, tiba-tiba Wakil Sekjen Partai Demokrat itu mengeluarkan pernyataan menggelegar pada tweetnya, di saat nama Sandiaga Uno, sudah hampir dipastikan menjadi cawapres Prabowo Subianto.Â
Malam itu, dan nama Sandi, memang menjadi kulminasi dari pencarian Prabowo atas siapa calon pendampingnya, setelah beberapa waktu terakhir prosesnya sangat alot dan melelahkan akibat tarik-menarik kepentingan partai pengusung.
Pada tweetnya, Andi Arief menumpahkan amarah dan kekesalan atas keputusan Prabowo memilih Sandiaga Uno, bukan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagaimana --disebut Andi Arief---telah dijanjikan kepada Demokrat.
 "Prabowo ternyata kardus. Malam ini kami menolak kedatangannya ke Kuningan (rumah SBY). Bahkan keinginan dia menjelaskan lewat surat sudah tidak perlu lagi. Prabowo lebih menghargai uang ketimbang perjuangan. Jenderal Kardus. Jenderal Kardus punya kualitas buruk, kemarin sore bertemu Ketum Demokrat dengan janji manis perjuangan. Belum 24 jam mentalnya jatuh ditubruk uang Sandi Uno untuk mengentertein PAN dan PKS." Bahkan kemudian disebutkan mahar politik untuk kedua partai itu masing-masing Rp 500 milar.
Sontak, malam itu terutama jagat dunia maya geger. Sebutan Jenderal Kardus menjadi perbincangan seru. Isu itu terus menggelinding dan membebesar bak bola salju. Apalagi, tak lama setelah itu kader Gerindra membalas, dengan langsung menyerang Ketum Demokrat, SBY, dengan sebutan jenderal baper. PAN dan PKS juga membantah isu itu, dan ada yang berniat membawa Andi Arief, ke ranah hukum.
Belakangan, Sandiaga Uno, awalnya hanya menjawab dengan bahasa tubuh dengan mengelus dadanya, ketika dikonfirmasi tentang isu mahar politik itu. Tetapi, pada Sabtu malam lalu, kepada media, ia menyebut dana itu untuk kebutuhan kampanye. Meski kemudian pada besoknya, ia membantah telah memberikan keterangan seperti itu dan menuding media memelintir pernyataannya. Â
Meski sempat diwarnai isu panas itu, deklarasi dan pendaftaran pasangan Prabowo Subianto -- Sandiaga Uno, sangat gempita dan Demokrat tetap memberi dukungan. Tetapi sejumlah pengamat politik menilai, dukungan yang diberikan oleh Demokrat, atau SBY, bersifat setengah hati.
Benarkah? Â Bisa jadi pendapat pengamat itu mengandung kebenaran, jika kita melihat beberapa hal termasuk bahasa simbolik yang ditunjukkan SBY. Pertama, atas tweetnya, tidak ada kabar bahwa Andi Arief ditegur oleh petinggi Demokrat, apalagi SBY. Tidak terdengar juga pengurus Demokrat membantah pernyataan Andi Arief.
Bisa jadi, lewat Andi Arief lah kemarahan dan kekecewaan SBY terhadap Prabowo diungkapkan. Jika pun tidak demikian, bisa jadi Andi Arief menuangkan sendiri unek-uneknya itu, tanpa disuruh atau dilarang oleh SBY. Â Â Â
Kedua, Prabowo harus bolak-balik menghadap ke SBY di Mega Kuningan. Bahkan tak seperti partai lain, penandatangan dukungan Demokrat pun dilakukan SBY di rumahnya. Bagi saya, ini sebuah simbol, bagaimana kerjasama itu dilakukan 'terpaksa' atau minimal tercederai. Terpaksa, karena di saat yang sangat mepet dan tak ada pilihan, Demokrat harus mendukung Prabowo, jika pada 2024 tak ingin kena sanksi tidak diperbolehkan mencalonkan capres.
Ketika pendaftaran Prabowo-Sandi ke KPU pun, Demokrat hanya mengutus AHY dan Eddy Baskoro, tanpa SBY. Padahal, dari partai pengusung lain,lengkap, ketua umum berikut jajaran pengurus. Pada saat mengiringi pun wajah AHY maupun Eddy Baskoro, tampak tidak terlalu happy. Bahkan, AHY tampak kurus dan kuyu, sedikit mengurangi kegantengannya tepat di hari ulang tahunnya ke 40 hari itu.
 SBY adalah orang Jawa, dan kental dengan bahasa simbolik dalam menjalankan komunikasi politik. Pada hari itu, ia tampakkan bahasa simbol. Dan, Andi Arief lah yang memverbalkan bahasa simbol itu...
Akankah kader Demokrat solid mendukung Prabowo? Kalau klaim dari para pengurusnya, akan seperti itu. Tetapi, dalam kontestasi politik pemilihan langsung, sebenarnya korelasi antara memilih partai dengan memilih capres/cagub/cabup/cawalkot, tidak menunjukkan angka signifikan. Kecuali partai tertentu dengan massa pendukung yang sangat militan.
Pada pemilihan secara langsung, figur calon sangat menentukan. Partai politik, kadang sebatas kendaraan, pemberi stempel atau pemberi tiket bagi calon untuk dapat mengikuti kontestasi politik. Di sinilah biasanya praktik transaksional terjadi berupa mahar politik.
 Meski begitu, kita (rakyat) harus menerima keputusan (siapa calon) yang didiktekan oleh partai politik. Selebihnya, sebatas jadi tim "hore-hore" untuk jadi pendukung calon ini, calon itu.  Just it!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H