Buhtaanan dijelaskan dalam Al-Qur'an yang maknanya menuduh, melempar, tuduhan. Artinya makna buhtanaan adalah menuduhkan kesalahan kepada orang lain yang tidak bersalah atau disebut dengan tuduhan palsu. Makna lain adalah lempar batu sembunyi tangan, artinya bahwa pelaku tidak mengakui kesalahan justru menyembunyikan lalu melemparkan nya kepada orang lain.
- Tajassus (Mencari-cari kesalahan orang lain)
Wahbah az-Zuhalili memahami bahwa kata tajassus bermakna janganlah mencari-cari aib dan kekurangan orang-orang Islam, mengekspos sesuatu yang mereka tutup-tutupi, dan mengorek berbagai rahasia mereka. At-Tajassus adalah mencari-cari informasi dan mencuri pembicaraan suatu kaum sedangkan mereka tidak ingin mendengarnya, atau mencuri pembicaraan lewat pintu-pintu mereka. Abu Qilabah mengatakan, "Diceritakan kepada Umar bin Khaththab, Abu Mihjan ats-Tsaqafi mengadakan pesta miras bersama rekan-rekannya dirumahnya. Lalu Umar bergegas menemuinya, sesampainya disana, Umar tidak mendapati kecuali hanya satu orang yang bersama Abu Mihjan. Lalu ia berkata kepada Umar, "Sebenarnya langkah yang kau ambil ini tidak boleh, karena Allah SWT. telah melarangmu melakukan at-Tajassus (mencari-cari aib orang lain)". Umar pun langsung keluar dan meninggalkannya.[8]
- Lari dari Tanggung Jawab
Segala sesuatu yang kita lakukan pasti akan diminta pertanggungjawaban nantinya. Tentu, setiap manusia hanya akan mendapatkan balasan dari amal perbuatannya sendiri. Jika amal perbuatannya baik, maka dirinya akan menyelamatkan jiwa dan membebaskannya dari adzab. Begitupun sebalikanya, jika amal perbuatan yang dilakukannya buruk, maka ia akan menjerumuskan dirinya sendiri kedalam neraka.
Sosiologi hukum Islam mencerminkan suatu bentuk manipulasi sosial di mana individu atau kelompok berusaha memosisikan dirinya sebagai korban untuk mengalihkan perhatian dari kesalahan atau tanggung jawab yang sebenarnya. Dalam perspektif hukum Islam, playing victim bertentangan dengan prinsip keadilan yang ditegakkan oleh Allah, di mana setiap individu bertanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diperkenankan untuk menimpakan kesalahan kepada orang lain yang tidak bersalah.
Sosiologi hukum Islam, yang memadukan norma-norma hukum dengan realitas sosial, melihat fenomena ini sebagai upaya untuk mengubah persepsi sosial melalui narasi yang manipulatif. Dalam konteks ini, Al-Qur'an, seperti yang tercermin dalam Surah An-Nisa ayat 112, melarang keras tindakan menuduh orang yang tidak bersalah sebagai pelaku kesalahan, yang dapat merusak integritas dan mengarah pada ketidakadilan sosial.
Selain itu, playing victim dalam hukum Islam juga dapat dilihat sebagai pelanggaran terhadap prinsip kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab pribadi. Oleh karena itu, sosiologi hukum Islam mendorong agar masyarakat mengedepankan prinsip keadilan yang sejati, tidak terpengaruh oleh manipulasi emosional atau narasi yang tidak berdasar, dan selalu mencari kebenaran berdasarkan bukti yang sahih. Dengan demikian, playing victim tidak hanya berdampak pada sistem hukum, tetapi juga pada keharmonisan sosial dalam masyarakat.
Â
KESIMPULAN
Fenomena playing victim dalam sosiologi hukum Islam mencerminkan tindakan manipulatif yang bertujuan untuk menghindari tanggung jawab dengan memosisikan diri sebagai korban, meskipun pelaku sebenarnya bertanggung jawab atas kesalahannya. Dalam konteks hukum Islam, perbuatan ini bertentangan dengan prinsip keadilan yang menuntut setiap individu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dan melarang tuduhan palsu terhadap orang lain yang tidak bersalah. Ayat Al-Qur'an, khususnya Surah An-Nisa ayat 112, mengingatkan bahwa menimpakan kesalahan kepada pihak yang tidak bersalah adalah perbuatan yang buruk dan dapat merusak keadilan. Dalam perspektif sosiologi hukum Islam, playing victim dapat mengganggu integritas sistem hukum dan menciptakan ketidakadilan sosial, karena dapat memengaruhi pengambilan keputusan hukum yang tidak berdasarkan bukti yang sahih. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk selalu menjunjung tinggi prinsip kejujuran, kebenaran, dan tanggung jawab dalam setiap interaksi hukum dan sosial.
REFERENSI
 Az-Zuhaili, wahabah. Tafsir Al-Munir (Jakarta: Gema Insani, 2016.).