Mohon tunggu...
RAI Adiatmadja
RAI Adiatmadja Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Saya ibu rumah tangga yang gemar menulis. Memiliki fokus lebih dalam terhadap parenting dan kondisi generasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Noktah yang Menghancurkan Bangunan Keluarga

16 Oktober 2023   10:00 Diperbarui: 16 Oktober 2023   11:04 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Catchy_Britcliffe from Getty Images Signature


Keluarga adalah rumah yang menaungi penghuninya. Bukan sekadar menjaga dari panas terik, tetapi dari kejamnya arus kehidupan yang pelik.

Apa jadinya jika keluarga tak lagi menjadi tempat paling nyaman dan rumah ternyaman?

Tentu akan terjadi kerusakan dari fondasi. Jika fondasinya sudah lemah maka kehancuran akan semakin kuat menjamah.

Keluarga adalah sebuah benteng yang harus tangguh untuk menghalau runtuh. Tempat pertama untuk menguatkan jiwa dan ruang terakhir yang bisa melindungi ketika anak atau anggota keluarga lainnya terancam.

Dikutip dari Kompas.com–Muhamad Rauf (13), warga Desa Parigimulya, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Ia tewas di saluran irigasi atau sungai di Blok Sukatani, Desa Bugis, Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu, Rabu (4/10/2023). Rauf dibuang oleh ibunya dalam kondisi hidup setelah dianiaya.
 
Kemudian ditemukan oleh warga di pinggir sungai dalam kondisi berlumuran darah dengan tangan terikat ke belakang. Bocah malang ini dibunuh oleh sang ibu, Nurhani (40) yang ternyata dibantu oleh paman (24) dan kakeknya (70).

Setelah ditelusuri, seorang ibu depresi karena perceraian dan si anak selalu mengambil ponsel miliknya. Anak yang tidak dididik dengan benar, kemudian ia hidup di jalanan, dan sesekali mencuri untuk makan. Bahkan kotak amal pun berhasil ia bobol. Teramat mengenaskan.

Bocah 13 tahun seharusnya duduk di bangku sekolah, setidaknya menjadi generasi terdidik yang punya semangat juang untuk menggali ilmu kehidupan sebagai bekal masa depan. Namun, kehidupannya sudah suram sedari kecil karena kondisi mental sang ibu yang tidak stabil, digerogoti beban perekonomian, dan kondisi psikis yang labil.

Hari ini mayoritas emosi para ibu dilemahkan secara sistemis. Dari permasalahan ekonomi, beban hidup yang memuncak, ketidaksanggupan mengelola pola asuh, ketiadaan dukungan keluarga, dan banyak hal lainnya yang memicu kondisi kejiwaan kaum ibu.

Jika kita memetakan bangunan keluarga yang bisa diselaraskan dengan masyarakat dalam bentuk miniatur. Fungsi keluarga sejatinya memiliki delapan dimensi yang bisa memproteksi dari berbagai gangguan. Kedelapan dimensi ini memiliki urgensi tinggi.

Tentu keluarga berfungsi sebagai reproduksi, ekonomi, edukasi, proteksi, sosial, afeksi, rekreasi, dan religiositas. Semuanya bisa berfungsi dengan baik jika hubungan orang tua dan anak penuh kerja sama dalam kondisi yang kondusif.

Sangat disayangkan, kasus di atas membuktikan bahwa kedelapan dimensi yang berfungsi untuk menjaga keluarga itu tidak ada. Hanya sekadar reproduksi saja yang jelas nyata.

Saat si anak berani mencuri, berarti dia kehilangan fungsi keluarga dari sisi edukasi. Fungsi ekonomi pun tidak ada karena si anak putus sekolah dan hidupnya terlunta-lunta tanpa pegangan. Proteksi yang seharusnya diberikan sang ibu, malah ia berani menganiaya hingga nyawa sang anak hilang.

Bahkan yang paling menyedihkan adalah ketiadaan fungsi religiositas. Agama sangat jauh dari mereka. Pengendalian emosi yang tidak ada hingga gelap mata menghilangkan nyawa.

Pembunuhan yang dilakukan ibu kepada anaknya bukanlah kali pertama. Banyak terjadi bahkan terpampang di berita. Jumlahnya semakin banyak dan membuat kita teramat prihatin dengan kondisi tersebut.

Mau tidak mau harus kita akui bahwa akar dari segala permasalahan rusaknya mental seorang ibu karena pemahaman yang menjauhkan agama dari kehidupan (sekularisme). Gempuran pemahaman ini begitu kuat menghancurkan segala lini kehidupan, termasuk bangunan keluarga.

Kurangnya pemahaman benar dan salah. Pahala juga dosa. Halal maupun haram. Membuat setiap kondisi menjadi semakin rumit adanya. Nilai-nilai ketakwaan semakin samar, bahkan tidak dijadikan pijakan kehidupan.

Ditambah lagi dengan kondisi perekonomian kapitalisme yang mencuatkan kesenjangan sosial. Antara si miskin dan si kaya semakin kentara batasnya.

Lain halnya dengan Islam. Islam memiliki sistem yang membentuk fondasi keimanan dan ketakwaan menjadi pijakan paling kokoh dalam memandang kehidupan.

Ketaatan kepada Allah Swt. membentuk atmosfer takwa, termasuk di dalam biduk keluarga. Orang tua dan anak akan saling memahami peranan, kewajiban, dan hak masing-masing.

Negara dalam sistem Islam pun tidak menutup mata akan keberlangsungan fungsi keluarga. Negara yang akan menopang segala kebutuhan dan kesejahteraan rakyatnya. Memberikan fokus utama kepada keluarga agar lahir generasi-generasi terbaik yang bisa melanjutkan estafet peradaban.

Negara akan mengurus perekonomian dengan proporsional sehingga tujuan menyejahterakan masyarakat pun terwujud. Membangun sekolah dan balai-balai kesehatan agar segala kebutuhan masyarakat pun tertangani dengan baik. Memberikan mutu terbaik, terjangkau, dan bisa diberikan dengan cuma-cuma. Bagi yang tidak punya pekerjaan pun akan ditopang.

Fungsi keluarga hanya bisa dijaga dengan sistem Islam yang menjadi satu-satunya solusi agar keluarga bisa berkembang dengan semestinya dan tidak membunuh fitrah.

Wallahualam bissawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun