Mohon tunggu...
Rahsya NigitamaMuhammad
Rahsya NigitamaMuhammad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Padjadjaran

Tertarik dengan isu gender, politik, dan pertentangan ideologi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Reproduksi Sosial dan Kekerasan Domestik: Analisis Ekonomi Politik terhadap Budaya Kekerasan dalam Rumah Tangga

29 Desember 2023   14:00 Diperbarui: 29 Desember 2023   14:06 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka dari itu, dapat dipahami bahwa ada sebuah keterhubungan antara kultur patriarki dengan kekerasan domestik. Dengan adanya kultur patriarki di mana laki-laki berada di dalam posisi dominan di keluarga, perempuan pun pada akhirnya menjadi kaum yang tersubordinasi. Dengan adanya subordinasi ini, orang yang dominan di dalam keluarga---yaitu laki-laki dewasa---dapat berbuat semau mereka untuk mengekspresikan kekesalan mereka. Dengan adanya kekesalan ini yang berdasar dari ketidakmampuan laki-laki menjadi seorang tulang punggung keluarga yang baik, yang ditanam oleh budaya bahwa sebagai laki-laki misalnya, orang tersebut harus menafkahi keluarga dengan baik, dan berbagai macam stereotipe lainnya, pada akhirnya laki-laki bisa melaksanakan kekerasan karena stigma budaya patriarki tersebut. Pada intinya, ketika laki-laki melihat perempuan sebagai insan yang tidak setara dibanding dirinya---yang divalidasi oleh kultur patriarki---akan memiliki kecenderungan untuk terjadinya kekerasan domestik.

Reproduksi Ketidaksetaraan dalam Keluarga

Terdapat beberapa alasan kenapa keluarga nuklir selalu ada dan berlipat ganda. Salah satu alasannya adalah kapitalisme. Kepentingan kapital ada dalam populasi, di mana populasi hadir agar bisa diserap tenaga kerjanya ke dalam sekrup kapital. Untuk kapital, keluarga merupakan sebuah unit ekonomi yang hadir untuk memproduksi dan mereproduksi tenaga kerja (Dixon, 1977). Kepentingan kapital untuk keluarga adalah seorang ibu yang hadir untuk dapat memproduksi sebuah komoditas manusia, yaitu tenaga kerja potensial di kemudian hari kelak. Tenaga kerja baru itu hadir untuk dieksploitasi setelahnya oleh kaum kapitalis. Populasi kemudian diregulasi sedemikian rupa karena keterbatasan kapital untuk menghidupi keluarga dengan hak kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan sebagainya. Hal tersebut dibebankan kepada keluarga nuklir, dan oleh karena itu, anak-anak yang dilahirkan disesuaikan dengan kemampuan kepala keluarga untuk mengelola keluarganya. 

Selain populasi, terdapat juga ketidaksetaraan yang terus menerus dipertahankan, dan untuk mengkaji hal tersebut, dibutuhkan sebuah kerangka pemikiran yang berbasis pada teori reproduksi sosial. Weiss (2021) menyebutkan bahwa reproduksi sosial merupakan sebuah lensa untuk menganalis ketahanan masyarakat dari waktu ke waktu, meskipun manusia dan berbagai komponen materil lainnya terus berubah. Konsep mengenai reproduksi sosial menurut Mohandesi dan Teitelman dalam Bhattacharya(2017), mendefinisikan kembali bagaimana cara kita berpikir mengenai hubungan dari gender, seksualitas, ras, dan kelas; pengertian yang lebih baik mengenai sumber dari ketertindasan perempuan; mengetahui dependensi kapitalisme kepada kerja domestik yang tidak di bayar; dan menekankan diversitas dari perjuangan kelas, dan sebagainya. Dalam Bab Buku tersebut, ditekankan bahwa fungsi rumah tangga dalam corak produksi kapitalis merupakan hal penting dalam keberlangsungan reproduksi sosial.

Di dalam corak produksi kapitalis, keberadaan rumah tangga memiliki kontradiksi dalam fungsinya. Di satu sisi, kapitalisme sangat bergantung kepada rumah tangga untuk mengembalikan tenaga kerja dan mereproduksi hierarki gender.  Di sisi lain, rumah tangga merupakan sebuah hal yang penting untuk bertahannya kelas pekerja. Intinya, rumah tangga sangatlah esensial untuk reproduksi kapital dan kerja (Bhattacharya 2017).

Jeanne Boydston dalam Bhattacharya (Ibid) menunjukkan bahwa dalam sejarahnya, laki-laki dan perempuan membawa sumber daya mentah ke pada rumah tangga dan memprosesnya dengan lama menjadi barang yang berguna, dan keduanya melakukan berbagai kegiatan yang penting untuk mengisi sumber daya dari keluarga. Akan tetapi, dengan berkembangnya industrialisasi, muncul pemisahan dari tempat kerja dan tempat reproduksi sosial, sebuah pemisahan yang berkontribusi dalam pemikiran bahwa terdapat dua ruang aktivitas yang berbeda. Dengan adanya ketergantungan rumah tangga terhadap gaji, memberikan kuasa yang lebih kepada laki-laki yang mempercayai bahwa mereka merupakan orang yang menafkahi keluarga. Ini menyebabkan pemisahan lebih lanjut dalam kehidupan sosial dari kerja yang didominasi oleh laki-laki, dan rumah yang merupakan domain perempuan.

Artikel jurnal yang ditulis oleh Leli Ruspita (2012) membahas mengenai posisi ekonomi dan keputusan perempuan dalam keluarga. Menurut Marx dalam Ruspita (2012), perempuan seringkali dibebankan oleh kerja reproduksi. Kerja reproduksi sendiri merupakan kerja yang dilakukan untuk memproduksi pekerja agar mempunyai kapasitas untuk bekerja. Perempuan di dalam artikel ini untuk menjaga stabilitas ekonomi, melakukan kerja produksi dan reproduksi secara bersamaan. Dengan adanya pembagian kerja yang terlalu banyak, perempuan tidak bisa mengaktualisasi diri yang diakibatkan oleh alienasi sehingga mereka kehilangan kesadaran mereka sebagai dampaknya.

Reproduksi ketimpangan atau ketidaksetaraan sosial yang ada---termasuk ketimpangan di dalam hierarki gender---merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kepentingan kapital. Jika kita melihat secara luas, terdapat relasi sosial timpang yang memang selalu dijaga keberadaannya karena hal tersebut merupakan sesuatu yang menguntungkan untuk kaum yang berkuasa. Seperti misalnya, kapital dalam kajian marxis bukan hanya berarti modal yang dibutuhkan untuk mempertahankan terjaganya komoditas yang bisa selalu diproduksi, akan tetapi kapital dalam kajian marxis menekankan pada relasi sosial, di mana terdapat ketimpangan kuasa secara materil di mana kelompok kapitalis bisa membuat para kelas pekerja bisa hadir dan bekerja di pabrik atau tempat kerja. Hal tersebut hadir karena kelompok proletariat tidak mempunyai alat produksi yang menyebabkan mereka mengkomodifikasi tenaga kerja mereka sendiri. Relasi sosial tersebut juga hadir dalam keluarga sebagai institusi terkecil di masyarakat, di mana relasi sosial antara seorang tulang punggung keluarga---yang biasanya adalah laki-laki atau suami---dan seorang pekerja rumah tangga---yang biasanya adalah perempuan atau istri---menyebabkan pekerja rumah tangga tetap tersubordinasi. Alasan hal ini terjadi salah satunya adalah karena ketimpangan materil yang ada. Laki-laki sebagai tulang punggung keluarga bisa pulang ke rumah dengan gaji yang dia dapat dari bekerja di luar, sedangkan perempuan sebagai ibu rumah tangga tidak bisa menghasilkan materi ketika dia terpaksa bekerja hanya di rumah. Dengan ketimpangan materil tersebut, perempuan sebagai ibu rumah tangga harus bergantung ke pada gaji yang didapatkan oleh suami sebagai tulang punggung keluarga.

Subordinasi Perempuan untuk Ketahanan Kapital

Subordinasi perempuan juga hadir untuk kepentingan kapital. Melalui moralitasi borjuis, menurut Dixon (I977), moralitas borjuis hadir sebagai justifikasi kontrak pernikahan, di mana hal tersebut merupakan kesepakatan legal di mana suami diberikan hak untuk kuasa produksi dan reproduksi perempuan. Dengan adanya kesepakatan ini, seorang istri dibentuk untuk bergantung pada suaminya. Kerja-kerja reproduksi yang dilakukan oleh seorang istri tidaklah dianggap sebagai sebuah kerja. Kerja-kerja reproduksi dianggap sebagai sebuah kompensasi atas lelahnya seorang suami bekerja di luar dari pagi sampai malam. Kemudian, budaya patriarki dibuat sebagai justifikasi atas penindasan ini. Berbagai konsep seperti kodrat dan kehendak Tuhan dimanfaatkan untuk menjustifikasi tidak dibayarnya kerja reproduksi yang dilakukan oleh perempuan.

Subordinasi perempuan ini tidak hadir dari ruang hampa, melainkan sesuatu yang terus menerus direproduksi oleh sistem. Dengan adanya subordinasi perempuan, perusahaan-perusahaan bisa memiliki berbagai banyak alasan untuk tidak membayar buruh perempuan secara layak. Suatu sarana-sarana afirmatif seperti cuti hamil dan cuti haid pun dihindari agar mendapatkan sokongan pekerja yang murah. Hal ini pun terjadi kepada para ibu rumah tangga, di mana ibu rumah tangga tidak bisa mendapatkan upahnya sendiri, melainkan harus bergantung ke pada suami yang menjadi tulang punggung keluarga di rumahnya untuk membawa gaji yang mereka bawa dari pabrik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun