"Kacanya kenapa bisa pecah? " Setahuku kaca yang ada di lemari itu masih erat dan kuat. Kalau jatuh tidak mungkin! Kecuali ada yang melepas bautnya secara sengaja. Tapi jika aku lihat dari pecahan kacanya. Sepertinya itu tidak jatuh tapi sengaja dipecahkan. Pasti dia yang sudah memecahkan kaca itu.
Belakangan dia suka playing victim demi mendapatkan perhatian orang-orang di sekitarnya dan beraksi di depan orang yang dibencinya. Mungkin ini efek karena ayah meninggal. Aku juga tak menyangka bahwa Anistia begitu membenciku sehingga hanya aku yang tahu kalau dia hanya akting saja.
"Aku tidak tahu, bautnya lepas sendiri dan kacanya jatuh" Katanya sambil menangis.
"Halah.. Bilang saja kamu yang sudah memecahkan kacanya! Kamu gini buat caper kan? Kamu jangan pura-pura deh. Itu kayu buat apa? Terus baju-baju yang ibu suruh kau masukin ke lemari. Kenapa malah berantakan di kasur?  Ini artinya kamu memang sengaja memukul kaca itu kan? " Ujarku, sangat kesal.Â
Tangisannya semakin menjadi-jadi. Ia lari ke kamarnya dan menutup pintu karena tak tahan kumaki-maki. Tapi suara tangisnya itu amat mendalami peran. Lakonnya luar biasa. Seolah-olah dia sedang memikul sebuah penderitaan yang sangat besar di pundaknya.Â
Ibu memarahiku dan menyuruhku meminta maaf kepadanya. Aku tidak mau, tapi ibu terus memaksaku dan memarahiku habis-habisan. Akhinya dengan hati yang penuh dengan rasa terpaksa. Aku pergi menemuinya ke kamar. Aku menarik napas dalam-dalam. Sebelum kubuka pintu kamarnya dengan perlahan.Â
Ketika kakiku melangkah ke dalam kamar Anistia. Bulu kudukku merinding seketika, hawa yang tak biasa kurasakan di kamar ini. Suara tangisnya pun semakin menghilang. Kamar itu semakin gelap sehingga aku tak bisa melihat apa pun kecuali kegelapan. Aku memutuskan untuk membuka pintu dan keluar. Tapi, pintunya malah terkunci dengan rapat.Â
Aku memanggil Anistia. Tapi tak ada sahutan apa pun. Yang kudengar adalah suara angin yang begitu kencang berhembus di daun telingaku. Lampu kamar Anistia tiba-tiba Berkedip-kedip. Aku tetap menenangkan kepala. Mungkin saja bola lampunya sudah rusak. Apa Anistia sengaja mengunciku di kamarnya ketika melihat aku masuk? Anistia pasti sedang mengerjaiku.Â
Aku kembali ke belakang pintu. Mengetok-ngetok  pintu kamar dan memanggil Anistia atau ibu. Tapi sepertinya tak ada tanda-tanda orang di luar kamar. Lampu kamar tiba-tiba menyala. Aku bersyukur dan mengucapkan "Alhamdulillah."
Tapi aku kaget tiba-tiba kulihat Anistia di depanku. Ia duduk dengan tertunduk tanpa bersuara. Aura yang kurasakan semakin negatif. Kalau Anistia di depanku. Siapa yang telah mengunci pintu kamar ini? Perlahan aku mendekat ke Anistia.Â
"Aku minta maaf kak. Mungkin tadi aku terlaluan" Ucapku dengan sinis dan nada yang terpaksa.Â