Setelah menyelesaikan tugasku. Aku tergopo-gopo mengembalikan lembar kertas yang berisi tugas kepada Kak Mira. Begitu pula saat kusalim Bu Lalila. Sejujurnya, Aku takut kalau aku tak dapat tumpangan untuk pergi ke simpang. Karena jarak antara tempat ini dan simpang amat jauh. Apalagi, di tempat ini tak ada kendaraan umum sama sekali.Â
Dengan cepat, Aku keluar dan mencari  tumpangan. Kulihat, Teman-teman yang lain sudah siap-siap pulang dengan tumpangan masing-masing. Harapanku tinggal Ken, adik kak Mira. Aku menunggu dia keluar. Agar, aku bisa nebeng di sepeda motornya. Namun, sebelum aku mengahmpirinya. Dua bocah berusia 18 tahun menyerobot dan langsung mengajak Ken pulang. Mereka akhirnya bonceng tiga.Â
Tinggal Aku sendiri di luar ini, bila aku menunggu kak Mira rasanya percuma juga. Aku tak akan dapat tumpangan juga. Karena di dalam, masih ada dua orang lagi yang sangat dekat dengan kak Mira. Pastilah kak Mira, akan mendahulukan mereka. Dengan perasaan sedikit kecewa. Aku melangkah kan kakiku. Hujan turun dengan rintik-rintiknya. Menggambarkan perasaan sendu yang kurasakan.Â
Kadang, aku berpikir kenapa aku ini amat pendiam sehingga aku tak punya teman akrab disini. Bila aku bisa akrab dengan salah satu mereka yang membawa kendaraan barangkali aku akan selalu di dahulukan. Seperti, Mawar dan Melati yang selalu di dahulukan oleh Kak Mira dan Bu Laila. Atau, seperti Wilda yang selalu didahulukan oleh Ardhi atau seperti dua bocah tengil, Sopia dan Isna yang selalu didahulukan Ken.Â
Aku juga mulai merenungi nasibku yang sedari kecil selalu berjalan dari jarak jauh. Akibat ketidak mampuan ekonomi untuk membeli kendaraan atau untuk sekedar ongkos naik becak. Disini naik becak mahal, aku ke mana-mana selalu naik angkot. Tapi naik angkot kan terbatas. Hanya melewati rute-rute tertentu. ***
Aku sudah keluar dari gerbang tempat itu, kutatap ke depanku. Ada kolam ikan yang amat indah. Airnya hijau namun tetap bening. Sakin beningnya dari air itu ada terlihat cerminan bahwa di pingir-pinggirnya ada pohon kelapa. Dan rumput-rumput hijau yang memanjakan mata. Kolam itu amat indah, lukisan Tuhan yang tiada tara. Bahkan meski langit telah ditutupi awan hitam. Keindahannya tetap terlihat.Â
Kuambil ponselku, lalu ku buka kameranya. Kujebret lukisan Tuhan ini. Seketika pemandangan ini amat estetik di kamera ponselku. Rasa kecewa yang menyelimuti hatiku perlahan hilang. Aku mulai ikhlas dengan kondisiku yang begitu malang.Â
Aku berhenti menjebret, saat mobil berwarna putih menutupi kolam itu. Akhirnya, aku melanjutkan perjalananku lagi. Namun, mobil berwarna putih itu tampaknya sedang mengikutiku.Â
Aku berhenti, dan benar mobil putih  itu, juga berhenti. Kaca mobilnya terbuka, kulihat seorang kakek tua dengan kacamata menatapku dengan tatapan yang begitu hangat.Â
"Nak, mau ke simpang? "
Aku menganggukkan kepala.Â
"Bareng saya saja" Ucap kakek itu.Â
"Naik mobil" Kataku.Â
"Iya."
"Boleh Kek? " Tanyaku terheran.Â
"Iya, kasihan loh. Ke simpang kan masih jauh. Nanti kamu kelelahan" Kata Kakek itu.Â
Tanpa Basa-basi aku mengiyakan kakek itu. Lalu, masuk ke dalam mobilnya. Saat di dalam mobil, aku diajak berbincang oleh kakek tua itu.
"Dari tempat itu sedang apa Nak" Tanyanya.Â
"Kursus Kek" Jawabku.Â
"Oooo... Jadi itu tempat kursus. "Â
"Iya kek, kebetulan dibiayai oleh pemerintah" Balasku.Â
"Oh iya, adik kakek juga dulu ikut kursus yang diselenggarakan pemerintah itu. Dia ikut kursus komputer, dan sekarang dia sudah jadi guru komputer"
"Iya kek, lumayan. Mumpung gratis. Hehehe..."Â
"Kamu ini orang mana? " Tanya kakek itu lagi.Â
"Orang Losung kek"Â
"Oooh... Iya.. Iya"
"Kalau kakek mau kemana? " Kataku.Â
"Mau pulang, tadi habis dari kolam Bebek."Â
"Kolam ikan yang didepan tempat kursus itu punya kakek? "Â
"Iya Nak"
Entah kenapa perasaan bahagia menyeluruh hatiku. Tampak sekali dari senyuman dan cara berbicara kakek itu bahwa dia orang yang baik hatinya. Bahkan saat dia bicara mampu menyejukkan menyejukkan jiwaku.Â
Ternyata hujan semakin deras, kami sudah tiba di simpang. Tapi saat aku hendak turun. Kakek itu, tak membolehkannya.
"Nanti aja, kan masih deras" Kata kakek itu.Â
"Ooohh.. Iya kek" Kataku.Â
"Emangnya kakek orang mana? " Tanyaku.Â
"Jalan merdeka "Â
"Oooh... Iya kek"
"Tadi, pas kakek ngajak, kamu takut gak? " Tanya kakek itu.Â
Aku baru sadar, iya yah. Aku dari tadi tak punya prasangka buruk apa-apa. Bahkan sampai sekarang, kami sudah melewati simpang dan sudah masuk jalan merdeka. Aku sama sekali tak curiga. Pikiranku seolah diselimuti oleh ke positifan auranya kakek itu.Â
"Nggak lah kek, Aku gak ada perasaan apa-apa. Rasanya biasa aja. Hehehe.. " Kataku.Â
"Wah, kakek sering mengajak orang yang pulang sendirian dari jalan itu. Tapi banyak yang pada takut. Itu wajar, karena kan mereka belum kenal kakek." Kata kakek itu.Â
"Iya kek, kalau Aku sih merasa tak ada yang perlu dicurigai. Kadang dari tatapan seseorang kita bisa melihat apa niatnya" Ucapku.Â
Kakek itu tertawa. Bahkan, tertawanya sangat berwibawa. Apa mungkin  kakek ini adalah malaikat yang menjelma jadi manusia untuk membantuku?Â
Mobil ini terus melaju, sudah melewati jalan merdeka.Â
"Lah, jalan merdeka udah lewat Kek" Kataku.Â
"Iya, biar kakek antar kamu saja sampai rumah"Â
Perasaan senang campur aduk Aku rasakan. Ya Allah nikmatMu begitu besar, sehingga aku bisa bertemu dengan kakek baik hati ini.Â
Sesampai di Losung aku turun dari mobil. Aku berterimakasih kepada kakek tua itu. Tak lupa, aku mendoakannya agar rezekinya dilimpahkan oleh Allah.Â
Maha baiknya Allah, padahal aku baru saja mengumpat atas nasibku. Tapi, saat Aku mulai ikhlas dan bersyukur atas setiap ketentuan-Nya. Allah malah memberikanku kejutan. Bukan hanya tumpangan ke simpang aku dapat tumpangan gratis hingga ke kampungku. Yang artinya menghemat ongkos dan tenagaku berlipat-lipat.Â
"Ternyata masih ada orang baik di dunia ini  bahkan meski tidak dikenalnya sama sekali"Benakku sambil senyum saat aku tiba di kamar.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H