Sore itu,  setelah lelah memasak mie untuk buka puasa bersama adik-adik di masjid muhajirin. Aku, tengah menunggu orang yang akan menjemput mie ini. Sebab, mie  dengan satu kantong plastik besar ini, tak bisa kubawa sendiri.  Apalagi berjalan dari jarak jauh.Â
Ifan dan Asman yang akan menjemput mie ini ke rumah. Karena dari ketujuh teman kelompokku itu, Â hanya Asman yang tahu rumahku. Dia pernah datang ke rumah waktu aku sakit dan kehilangan suaraku. Ia bersama teman-teman pengurusan di organisasiku, datang menjengukku.Â
Akhirnya, kedua orang itu tiba. Asman mengangkat palstik mie. Dan membawanya ke sepeda motor yang disopiri Ifan.Â
"Terus, kamu gimana?" Tanya Ifan.Â
"Ya, gak gimana-gimana" kataku.Â
"Loh, ini ke simpang. Jalannya, super jauh Zahra" ucapnya.Â
"Udah...aman" kataku.Â
"Ciee.." Adik-adikku nyengar-nyengir.Â
Maklum, adik-adikku akan sensitif  kalau, aku bicara dengan laki-laki. Sebab, Aku sangat jarang sekali berinteraksi dengan laki-laki.  Kecuali ayah, adik laki-lakiku, dan para dosen. Ya, kalau ada interaksi palingan karena ada urusan pendidikan, atau jual beli.Â
Ifan menoleh ke adik-adikku. Lalu, ia lihat wajahku  yang terlihat kesal.Â