"Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Waktu berbuka puasa sudah tiba. Selamat berbuka puasa"
 Suara itu terdengar dari sebuah masjid, di dekat tempatku turun dari angkot 02, berwarna kuning, tuan. Aku langsung mengambil botol minum yang kubawa di tasku. Meski gerimis telah membasahi pakaianku.Â
Namun, berbuka lebih penting untuk kudahulukan dibandingkan berlari mencari tempat berteduh. Aku membaca bismillah. Setelah itu, Kuminum air dari botol minum itu hingga menghilangkan dahaga di kerongkonganku. Aku pun membaca doa berbuka.Â
Setelah puasaku sudah kubatalkan, Aku berjalan cepat untuk pulang. Menurutku, ini hanya gerimis biasa. Aku masih bisa melewatinya. Sampai, Â saat aku berada di taman kota, hujan deras pun melanda.Â
"Nak, jangan di hujan-hujan itu. Nanti kamu sakit." Seorang bapak, penjual makanan kaki lima menegurku. Ia tengah berteduh di tenda birunya. Aku tersenyum,  sambil lari untuk mencari tempat untukku berteduh. Karena rupanya, hujan yang amat deras ini telah melemahkan langkahku. Aku  terlanjur kedinginan.Â
Aku berlari ke depan rumah makan yang sedang tutup. Â Namanya, rumah makan madina. Berseberangan dengan sebuah gereja katolik di depannya. Masih dekat taman kota yang baru dibangun pemprov.
Disampingku, ada seorang penjual bakso bakar yang juga berteduh, ia tengah menikmati  nasi dan lauk di sebuah kotak makan yang ia bawa dari rumah. Lalu, di sampingnya ada seorang laki-laki paruh baya yang sedang main game online sambil menunggu redanya hujan, sepertinya dia non muslim. Kemudian, disamping rumah makan itu, ada tiga ruko berhimpitan. Disana, banyak sekali terparkir motor listrik. Kulihat, ada beberapa orang disana sedang berbuka puasa.Â
Lantunan suara azan terdengar dari beberapa masjid.  Namun, hujan malah semakin deras. Suara desiran hujan yang mampir di atap seng rumah makan ini, membuat suasana semakin terasa sendu. Ditambah  lagi dingginya angin magrib. Membuatku memeluk kisah-kisah pahitku.  Membuatku hanyut dalam lamunaku tuan. Apalagi saat, kulihat penjual tukang bakso yang makan amat lahap.*
Aku teringat saat tadi aku berjualan. Â Iya, tuan. Aku memamg berjualan, aku berjualan es doger bandung di depan kampusku. Entah karena ramadan, atau aku akan menjadi penjual es doger bandung di depan kampus itu sampai aku wisuda nanti. Aku tak tahu tuan. Yang pasti, aku memang, sedang berjualan disana.Â
Itu bukan milikku, aku hanya menjualkannya. Bosku adalah seorang penjual lauk yang berjualan di sana juga. Mereka suami istri yang baik hati dan dermawan. Â Bila nanti es hanya laku sedikit, mereka tak enggan memberiku uang tambahan. Merekalah yang memasak dan menyiapkan semua es itu. Sementara Aku, aku hanya penjual saja.Â