"Iya Bu."Â
"Kamu itu manja, yang lain itu pulang punya uang. Kamu malah gak punya modal," katanya.
Seolah-olah Aku pernah  mengemis agar ia memberikan uang 10 ribu itu. Padahal kemarin saat menghadiri kajian rutin di rumahnya,  memang dia  berjanji memberikan ongkos pulang kepada kami. Ia menjanjikan itu kepada kakak tingkat yang dekat denganku. Namanya Kak Mulan, karena Kak Mulan merasa perempuan tua itu sudah berjanji maka dia memaksanya untuk menepati janjinya. Aku sudah tak peduli dengan janji itu, tapi karena paksaan kak Mulan, Aku jadi harus menerima uang itu. Padahal perempuan tua itu tidak ikhlas memberikannya.
Dulu, kukira sosok perempuan tua ini adalah teladan. Namanya terpampang  di cover-cover buku di perpustakaan, di spanduk-spanduk seminar, Ia juga sering dipuji-puji oleh  moderator saat seminar ilmiah atau bedah buku. Sosoknya yang diagung-agungkan saat itu. Membuatku ingin mengenalnya lebih dalam.  Maka Aku putuskan untuk memilih dirinya, menjadi salah satu dosen mata kuliahku.
Sialan, ternyata aku terjebak. Â Dia tidak sebaik apa yang Aku pikirkan selama ini. Aku tertipu oleh cover dan namanya yang besar. Aku tertipu oleh kata-kata manis yang mengangkat-ngangkat dirinya di acara seminar atau bedah buku. Aku betul-betul terjerat disini.
Perempuan itu haus akan pujian dan paling penting apa pun yang ia perintahkan kepada mahasiswa harus dilaksanakan. Semuanya, tak peduli itu berkaitan dengan perkuliahan atau hanya kepentingannya. Jika kami tak menaatinya maka dia akan mengancam memberi nilai D. Dia memaksa kami datang ke kajian rutin yang ia buat di rumahnya, mungkin dia ingin cari muka karena disana, dia selalu mengundang orang-orang penting. Para dosen, istri rektor, dan para istri pejabat diundangnya disana. Bila ia memberi sambutan maka ia akan memuji-muji dirinya sendiri. Agar orang pikir, dia hebat karena sudah bisa mengajak banyak mahasiswa mengikuti kajian. Padahal kami semua disini dipaksa dan diancam. Jika kami tak datang maka, dia akan menandai namanya dan akan ia jadikan bahan bulan-bulanan di kelas.
Parahnya lagi, dosen yang satu ini suka melanggar janji. Aku ingat betul saat kontrak kuliah. Ia mengatakan tidak mewajibkan para mahasiswanya untuk membeli bukunya. Meskipun ia menganjurkan membelinya, tapi ia menyematkan semua kembali kepada mahasiswa. Tapi, saat dua minggu perkuliahan akan berakhir. Ia tiba-tiba mengeluarkan kebijakan bahwa mahasiswanya wajib membeli buku karyanya. Â Jika buku karyanya itu tidak dibeli, lagi-lagi ia mengatakan nilai tidak akan aman.
Aku tidak habis pikir dengan pemikiran dosen yang satu ini. Ternyata Ia begini, sudah sejak lama. Bahkan sudah bertahun-tahun. Aku tahu itu dari beberapa kating yang pernah diajarnya. Selama bertahun-tahun tidak ada yang melakukan protes, tidak ada yang berani. Karena tak ada yang mau mengambil risiko, jika sampai nilai diberikannya D maka mahasiswa akan mengulang, dan memperlambat kuliah para mahasiswa. Â
Aku tidak mau membeli bukunya. Bukan karena aku tak punya uang, tapi aku tak berselera karena semua tindakanku serasa ada dalam paksaan. Aku seperti orang munafik jika selalu mengikuti perintah perempuan tua itu. Padahal jika kuhitung, dia sangat sering tidak masuk ke kelas. Tak seharusnya ia memberikan kewajiban pada mahasiswa, sedangkan kewajibannya ia lalai. Dia sering tidak masuk dengan alasan karena hujan, atau kecapean, tidak ada yang jemput dari ruangannya, atau ketika moodnya tidak bagus. Semua alasannya tidak punya logika. Yang berlogika hanya saat ia pergi untuk tugas keluar kota, itu pun hanya satu kali.
Suatu hari, sebelum masuk kelas Aku mendengar kawan-kawanku mengeluhkan pembayaran buku yang mahal. Semua tidak ada yang suka dengan tekanan yang diberikan perempuan tua itu. Tapi mereka tidak mau menentangnya, mereka hanya bisa mengeluhkan semua keluhan saat perempuan tua itu tidak ada. Dan Aku, mendengar semua keluhan teman-teman sekelasku. Dengan rasa geram, Aku berniat ingin bicara pada perempuan tua itu.
Dia datang, ia langsung duduk. Meletakkan tas dan laptopnya ke atas meja. Mengejutkan, yang pertama ia tanya adalah siapa yang tak mau membeli buku? Ia mengulangi pertanyaan itu hingga tiga kali. Kemudian dia menyampaikan bahwa kami tak perlu takut untuk angkat tangan. Â Karena itu, Aku langsung angkat tangan. "Apa alasan kamu tidak mau membeli buku?"Â
"Aku tak punya uang Bu," ucapku. Padahal bukan itu alasanku yang sesungguhnya.Â