Mohon tunggu...
Rahmi Yanti
Rahmi Yanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pengalaman adalah cerita-cerita di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Izin Bicara Pak!

6 Februari 2024   21:26 Diperbarui: 6 Februari 2024   21:26 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Barangkali, orang-orang miskin sepertiku memang tidak diperbolehkan untuk bernapas dengan leluasa. Aku dikekang dan ditekan sesuka orang-orang yang punya jabatan.  

Sialnya,  Aku malah tersesat di komplek orang-orang kaya. Yang kalau pagi, mereka mulai hari dengan segelas kopi atau jus buah dengan nutrisi tinggi. Sementara,  kami bahkan terkadang tidak makan seharian.  

Kalau orang sepertiku tersesat di tempat orang-orang kaya berada. Maka akan jadi apa aku? Aku disini hanya sebagai tumpukan debu. Mereka pikir Aku tak berguna.  Mereka mungkin ingin sekali menyapuku,  atau menghempaskan aku keluar tempat itu. 

Aku ditempatkan disebuah sekolah elit, sekolah anak-anak pejabat   berada. Semua hal di sekolah ini, punya kelas dan selera yang tinggi. Aku bukan siapa siapa disini. Barang kali, karena Aku mengajar dengan baik, anak-anak senang denganku. Hanya itu yang ku bisa disini. 

 Ini sekolah impianku waktu masih remaja. Namun, ku hapus dalam-dalam keinginan untuk sekolah disini. Karena  aku tak mungkin sanggup, untuk sekolah disini.  Sekarang, Allah menempatkanku disini. Tidak sebagai siswa. Tapi sebagai mahasiswa magang. 

Aku menyesal, dan sangat tertekan ditempatkan di tempat ini. Terlebih para petinggi di sekolah ini, suka sekali berbuat semaunya. Mereka membuat suatu kebijakan kepada kami mahasiswa nagang. Kebijakan itu sama sekali tak masuk di akalku. 

"Ini gak betul! Bagaimana mungkin kita harus membayar uang sebanyak itu. Kita kan masih mahasiswa. Kita masih beban keluarga " kataku. Semuanya hanya diam, bahkan tak ada yang melihat ke arahku. Apa suaraku kurang kuat? 

"Guys, kita jangan mau membayar uang sebanyak itu. Setahuku mahasiswa magang itu tidak diperkenankan diberikan beban finansial. Apalagi sampai sebanyak itu. Ini pemerasan! " kataku lagi. Kali ini suaraku agak kutinggikan volumenya. 

Tapi, Mereka seperti tidak mendengar apa pun yang keluar dari mulutku. Jangankan mendengar atau menyimakku bicara.  Menatap ke arahku pun mereka enggan.

Sembilan temanku itu pun bersamaan pergi dari tempat itu. Meninggalkanku ku sendirian. Sialan memang, sudah tersesat di tempat yang salah. Aku pun salah punya teman kelompok.  Teman-temanku ku enggan dan sangat cuek kepadaku. 

Barang kali,  mereka masih mengingat-ngingat kejadian satu tahun yang lalu. Waktu Aku melawan seorang koruptor, dan Aku kalah. Sialnya, Malah aku yang disalahkan oleh semua pihak. Sejak itu, Aku tidak disukai banyak orang. Barangkali  teman-teman sekelompokku juga demikian. Mereka  enggan untuk mendengarkanku bicara.  

Kadang-kadang kurasa dunia tidak adil. Aku hanya ingin menyampaikan pendapatku. Tapi entah kenapa di tempat ini Aku seolah dibungkam oleh banyak keadaaan. Seolah mereka mematikan mikrofonku.  Tak mereka bolehkah, suara itu terdengar kemana pun. 

"Guys, coba deh pertimbangan lagi. Duit segitu banyak banget loh. Kita gak mungkin sanggup. Apalagi dalam waktu 2 pekan." Ucapku lagi. Kali ini kami berada di ruang guru. Guru-guru sudah berpulangan.  

"Terus mau gimana, itu kan perintah kepala sekolah. Nanti kalau gak kita turutin nilai kita diapa-apain gimana?" Sahut Azura.  Setidaknya,  kali ini mereka mendengarkanku. 

"Kita kan masih bisa menawar, setidaknya jangan sampai segitu banyak." Kataku. 

"Mau menawar apa mau melawan? Kamu jangan banyak tingkah Fa, kamu gak ingat gimana kejadian kamu tahun lalu? Kamu kan yang kalah" tiba-tiba Siti bicara dengan nada menggas.

"Lagian 700 ribu gak mahal-mahal banget sih. Kita masih bisa buat bayar itu. Jadi kamu siapin aja uangnya" Sambung Ashila. 

Aku memang konyol, Aku lupa mereka sembilan kan anak orang kaya. Ya, meskipun beberapa orang gak kaya-kaya amat. Seenggaknya mereka berkecukupan. Uang segitu mah, masih kecil buat mereka. 

Sementara Aku? Duit segitu udah bisa untuk bayar SPPku.  Maklum, Aku anak beasiswa pengurangan ukt. Uang kuliahku adalah yang termurah. Hanya sekitar lima ratus ribu. Meski uang kuliahku murah, tapi bukan berarti Aku tidak puyeng. Aku hanya anak seorang pengepul rongsokan yang bertahan mati-matian demi mendapatkan gelar sarjana.  Berharap suatu hari nanti, Aku bisa menaikan derajat keluargaku. 

Duit segitu. Bagiku bukan hal yang murah. Apalagi dikumpulkan hanya dalam dua pekan. Ini tak masuk logikaku.  Ditambah lagi, Aku suka baca artikel tentang tindakan pemerasan. Kukira kasus itu, sama dengan kasus yang kualami. 

Mahasiswa sepertiku, tak seharusnya mendapatkan tuntutan itu. Karena jika kepala sekolah ingin kontribusi.  Bukankah Aku dan teman-teman sudah banyak berkontribusi disini?

Kami mengajar seharian tanpa digaji.  Kami menggantikan guru piket, kami menjadi guru Invalen,  dan kami juga membantu para guru terkait teknologi yang berkembang di keguruan. Lantas apakah itu bukan kontribusi?

Kenapa bagi orang-orang elit, hanya uang yang bisa menjadi kontribusi? Kami sudah banyak rugi,melakukan magang ini. Rugi diwaktu, rugi di dompet juga. Semtara ilmu yang kami dapat, hanya hasil otodidak. 

Kenapa tak ada simbiosis mutualisme,  di sekolah ini? Kenapa hanya pihak sekolah elit ini yang diuntungkan.  Sementara kami, ditekan habis-habisan. Eh, maksudnya Aku. Sembilan temanku mungkin tidak tertekan, karena uang segitu bagaikan uang sepuluh ribu di mata mereka.  

"Maaf Bu, Uang itu dibuat untuk apa?" Kataku, waktu di ruang kepala sekolah seminggu yang lalu. 

"Untuk buat walpaper ruangan ini" jawab kepala sekolah. 

"Bukannya..." belum siap Aku bicara Sembilan temanku melototi ku dengan tajam. Mereka memberikan kode agar aku tidak melawan.  

"Ma, ini itu gak wajar tahu nggak. Masa uangnya buat walpaper ruang  pribadinya. Emannya sekolah tak punya dana. Sampai harus diminta sama mahasiswa magang?" Ucapku dengan kesal. Waktu itu aku dan Salma,  sedang berdua di kantin.

Diantara sembilan teman sekelompok magang ini Aku hanya di dengar oleh Salma. Itu pun jika, Aku dan dia hanya berdua saja. Jika kami sepuluh bergabung,  Salma sama saja dengan yang lain. 

"Sabarin aja Ya, nanti kalau kita mempertanyakan. Malah kita yang disalahkan" Ujar perempuan itu. 

Aku terdiam kesal, memikirkan kenapa Tuhan harus mengirimku ke  tempat ini? Aku tidak cocok sama sekali disini, rasanya napasku sesak setiap hari berada di tempat ini. 

"Kalian bayangin deh, kalau kita yang buatin walpaper pribadinya.  Terus, uang dana alokasi buat sekolah dikemanakan? Berarti kepala sekolah itu kan berpotensi buat korupsi " Aku terus-terusan bicara dengan sembilan temanku itu. Tak peduli, mereka mau mendengar atau tidak. 

"Mau dia korupsi atau apa pun. Itu bukan urusan kita. Kita diam saja. Terutama kamu Fa, kamu jangan buat masalah" kata Ashimi.

"Tapi ini harus jadi urusan kita. Kita yang dijadikan alat mereka,  buat korupsi. Kita berhak untuk melawan. Itu hak kita" kataku lagi. 

"Fa, kamu bisa gak sih diam aja. Biarin mereka mau ngelakuin apa pun. Kamu gak usah sok-sok jadi orang benar." Celoteh Isma. 

"Tapi teman-teman aku gak bakal sanggup kalau bayar uang segitu, apalagi dalam waktu dua pekan.  Apalagi aku pun masih belum bayar uang kuliah" kataku,  suaranya agak merendah dan meminta dikasihani.  

"Kalau kamu masih mau aman kuliah, kamu usahin aja uangnya. " Sambung Isma lagi. 

Rasa-rasanya Aku ingin memanjat keluar dari sangkar elit ini. Mereka membatasiku dengan sesuka hati. Aku bicara sedikit saja, mata sembilan orang itu selalu melototiku.  Mereka tampak merasa kalau aku hanya seorang pembuat masalah. Tak pantas untuk bicara. 

Atau barang kali, mereka sebenarnya tak menganggapku ada di dunia ini. Nyesek sekali berada disini.  Kenapa Tuhan menempatkan Aku disini? Aku hanya ingin hidup tenang. Ingin diberikan kebebasan kalau bicara. 

Lantas karena Aku kalah melawan koruptor. Apakah aku yang salah? Sedang koruptor itu yang membuat masalah? Ia menang karena uang dan jabatan yang ia punya. Tapi ia sama sekali tak menang di hati Tuhan. Setidaknya Aku tahu mana yang baik dan mana yang buruk. 

....................

Siang itu, kudengar utusan dari menteri pendidikan akan berkunjung ke seolah elit ini. Ini kesempatanku untuk meminta keadilan. Setidaknya jika menag Aku harus memberi sumbangan kepada sekolah orang kaya ini. Uangnya tidak terlalu mahal. Mungkin kalau tiga ratus atau dua ratus. Aku masih bisa mengusahakan. Walau pun tindakan kepala sekolah itu tetap sebuah pemerasan.  

Coba katakan padaku. Apa ada peraturan yang membuat kebijakan kalau mahasiwa magang harus memberikan uang pada pihak sekolah, baru diberikan nilai? atau pernah kamu dengar, undang-undang tentang kontribusi anak magang adalah uang? 

"Uang 700 ribu. Itu bukan hal yang murah, guru honorer saja gajinya hanya 200-300. Gimana kita mahasiswa yang belum kerja. Kita semua tanggungan orangtua" kataku. Terus-terusan aku bicara, meski mereka tak mau mendengarkannya.  

Aku sebetulnya kerja sebagai penulis lepas. Namun, kutahu sembilan kawanku itu semua adalah tanggungan orangtu aku hanya ingin mereka sadar. Kalau mereka menyetujui kebijakan itu. Orangtua mereka lah yang menjadi korban. Lagi-lagi perkara sekolah, orangtua yang harus menanggungnya. 

Tapi mereka memang tidak peduli. Biar bagaimana pun yang magang kan mahasiswa. Kenapa orangtua mereka yang harus dilibatkan? Terlepas dari apa pun pekerjaan orangtuanya. Kalau orangtuanya yang bayar. Itu namanya kontrubusi orangtua, bukan mahasiswanya. Meskipun, Aku tidak percaya kontribusi harus selalu berbentuk uang. 

"Utusan dari kementrian pendidikan sudah datang. Silahkan semua guru dan mahasiswa magang ke Aula" kata security.  

Aku langsung pergi ke Aula, kulihat bapak-bapak utusan mentri itu. Aku harus bicara padanya. Seperti biasa, sembilan temanku melototiku dengan tajam mereka ingin membungkamku lagi. Tidak kali ini Aku harus mengeluarkan pendapatku.  Meskipun aku orang miskin, Aku harus hidup di komplek orang kaya ini. Aku harus bisa bernapas dengan leluasa. 

"Izin Bicara Pak!" Kataku pada utusan menteri itu. Sembilan temanku itu melototi ku dengan tajam terus-terusan.  Kali ini wajah mereka memerah.  Dan sekujur tubuh mereka dibasahi keringat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun