Adinda mengajak kami antri membeli kebab, pembelinya begitu ramai. Ada pasangan muda yang menggendong bayi juga. Bayi itu melotot melihat keramaian ini. Bayi itu sama sepertiku polos, tak pernah melihat pemandangan seperti ini. Aku tersenyum ke bayi yang mungkin masih berusia 6 bulan itu. Setelah membeli kebab, Adinda mengajak kami ke cafe dekat alun-alun kota. Tempat Dia sering nongkrong dengan teman-teman club basketnya. Karena Aku dan Sarah tak pernah ke cafe kami pun bersemangat dengan ajakan itu. Apalagi saat Aku punya kesempatan kenapa tidak. Sementara Fandi Dia malah sudah duluan kesana. Rupanya Fandi lebih bersemangat.
Saat Kami memasuki cafe itu, Ada segerombolan anak muda yang mungkin sebaya dengan kami duduk di meja pinggir. Jumlah mereka sekitar 5-7 orang. Kulihat ada dua perempuan berdandan-dan seperti dandanan preman dan 5 laki-laki itu seperti anak basket. Adinda mengajak kami kesana. Rupanya mereka adalah kawan- kawan club basketnya. Ia sengaja pesta kecil-kecilan di cafe ini untuk merayakan ulang tahun Sarah sekaligus moment perpisahannya dengan club basketnya. Karena Ia sudah di terima di kampus luar negri.
Mungkin satu atau dua minggu lagi Adinda akan berangkat ke Swiss. Ayahnya memintanya kuliah di sana. Kami saling berkenalan dengan teman-teman club basketnya Adinda. “ Aku Kevin" ucap seorang bertubuh kekar. Laki-laki berkukit putih dengan rambut yang disisir dengan rapi mengulurkan tangannya ke hadapanku. Laki-laki itu begitu tampan membuat jantungku berdebar-debar. Kalau Bundaku tahu Aku di sini berkenalan dengan banyak laki-laki. Maka habis lah Aku. “Rumi" hanya itu yang keluar dari bibirku.
“Mi, Kita keluar Yuk, Kita naik kereta kencana atau apa gitu. Aku gak nyaman di sini kayaknya makanannya mahal-mahal. Pun mereka kan anak orang kaya" Bisik Fandi ke telingaku. Aku mengangguk setuju. “Din Aku dan Fandi keluar dulu, tadi Bunda memesan kebab Aku lupa membelikannya” “Loh, bukannya tadi kita sudah beli kebab?” sambung Adinda. “Iya, tapi yang buat bunda Aku lupa, “ ucapku. Adinda mengangguk-angguk tanda menyilakan. “ Sar kamu mau ikut?” Ujarku sebelum keluar. “ aku disini aja Mi sama Dinda,” jawab Sarah. Aku dan Fandi pun keluar dari cafe itu. Kami pergi ke warung-warung kaki lima, menaiki kereta kencana, mewarnai lukisan oleh pelukis jalanan, membeli gelembung dan memainkannya. Aku dan Fandi Bak sepasang kekasih yang dimabuk asmara. Kami menghabiskan waktu di tengah kota berdua saja, hingga larut pun tiba. Pedagang kaki lima mulai mengangkati dagangannya. Aku menelpon Sarah tapi hanphonenya tak aktif. Pun Aku menelpon Adinda, malah tak diangkat berkali-kali. Karena Aku takut Bunda marah Aku pun pulang diantar Fandi.
“Gimana tadi malam? Kamu senang” tanya Bunda. “ Iya Bunda, Aku baru tahu ternyata kota itu amat terang meski sudah malam. Lampu-lampu yang amat terang menghiasi kota. Kerlap-kerlip cahayanya ada dimana-mana. Andai saja Aku bisa melihat pusat kota di kala malam.” Bundaku hanya diam. “ Bun, kenapa Rumi gak boleh sih keluar malam?” “Karena lampu kota itu" ucap Bundaku. “kok malah lampu kota Bun” “ Karena lampu-lampu kota itu anak-anak perempuan berani keluar malam, lampu-lampu kota itu yang membuat para orangtua seolah tenang membiarkan anak perempuannya pergi bersama anak orang yang tak dikenal. Lampu-lampu kota itu pula yang membuat anak-anak desa yang merantau enggan untuk pulang" Ucap Ibuku dan pergi menunuju dapur.
Keesokan harinya Aku dapat kabar Sarah bunuh diri. Ia hamil setelah dari cafe kemarin. Kawanya Adinda yang telah menodainya, si Kevin yang Aku sebut tampan tapi ternyata tak setampan perilakunya. Aku juga baru dapat kabar kalau Adinda ternyata adalah seorang perempuan penghibur, Ia menjual Sarah ke Kevin . Aku betul-betul tak menyangka, yang Ia sebut club basket rupanya adalah club sekelompok orang bejat. Rupanya Adinda adalah anak yang kurang kasih sayang. Kedua orangtuanya bolak-balik keluar negri tanpa memperdulikan Adinda. Kasihan hidupnya.
Malam ini di atas rooptofe apartmemen milik pamanku Aku baru sadarn ternyata itu maksud Bundaku dengan lampu-lampu kota. Adanya cahaya di malam yang gelap memang membuat semua lega, setidaknya itu bisa mengurangi bahaya. Tapi, apa iya lampu-lampu kota yang harusnya jadi penerang jalanan di pusat kota menjadi penerang untuk para penjahat. Lihatlah di surat kabar. Setiap malam di kota ini ada kasus pemerkosaan, kasus tawuran anak remaja, atau suami-suami yang tengah selingkuh. Dari kejahatan kecil hingga besar hampir terjadi saat malam. Ini kota Bung, lampu-lampunya memang indah meskipun tak ada bulan atau bintang kota akan selalu hidup. Walau pun ini sudah larut malam, kota akan selalu riuh. Kecuali jika Tuhan memberi peringatan seperti saat wabah corona kemarin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H