Mohon tunggu...
Rahmi Yanti
Rahmi Yanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pengalaman adalah cerita-cerita di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lampu-lampu Kota

30 November 2023   18:41 Diperbarui: 30 November 2023   18:42 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Phttps://www.pexels.com/id-id/foto/foto-bangunan-pada-malam-hari-2603464/

Kota mana yang tak bercahaya di kala malam? Bahkan kota kecil seperti kotaku ini. Selalu dihiasi kerlap-kerlip cahaya di saat malam. Siapa yang  menyangka jembatan di siang hari terlihat seperti tempat para dedemit  menjadi sebuah pemandangan menawan ketika malam. Hanya karena di jembatan itu dipasangi lampu-lampu warna-warni?

Ini kota Bung, di sini  arwah gentayangan hanya mitos belaka. Wanita tak boleh sendiri keluar malam di sini hanya cerita rakyat saja. 

Malam itu,  Aku tak melihat ada bulan. Mungkin bintang-bintang pun sedang enggan untuk keluar. Aku tengah sendiri di gedung pencakar langit yang amat sepi. Karena bosan Aku berjalan-jalan ke atap gedung yang punya 27 lantai ini. Dari atap kutatap nuansa kota yang terang benderang, kerlap-kerlip lampu kota dengan bermacam warna. Pantaslah kalau Nenekku dulu bilang kota tak pernah tidur. Mungkin jika Kau seorang penyair dan sedang berada di posisiku Aku yakin Kau akan duduk di rooftoop gedung, ditemani segelas kopi dan Kau mulai merancang bait-bait puisi. 

Aku memandangi cahaya-cahaya kota itu. Kemudian Aku teringat akan ucapan  Bundaku. 

“Mi, Kamu harus tahu kota itu adalah tempat yang bagus untuk pendidikan dan meraih kesuksesan. Tapi Kalau untuk pergaulan, di kota sulit menemukan teman yang sejalan,” ujar Bundaku. Aku baru saja mempertanyakan kenapa Bundaku tak pernah mengizinkanku keluar malam. “Rumi janji Bun, Rumi bakal jaga diri. Please satu malam ini aja. Teman- teman Rumi pasti kecewa kalau Rumi enggak ikut” Aku terus memaksa Bundaku untuk memberi izin.  “Bun, usiaku kan sudah 19 tahun. Sejak kecil Aku tak pernah diperbolehkan untuk keluar malam ke pusat kota. Aku juga ingin tahu Bun seperti apa kota kita di kala malam. Rumi mohon Bun sekali ini aja  boleh ya Bun. Kita rame- rame kok Bun.” Aku masih terus berusaha. 

“Rumi, teman- teman di kota susah untuk dipercaya Bunda gak mau terjadi apa-apa sama Kamu Mi" Ujar Bundaku. “ Rumi janji Bun, sekali ini aja. Please" Aku memohon dengan penuh pengharapan. “Terserah Kamu saja, jika Kamu mau pergi silakan tapi ingat hati- hati.  Di kota ini saat malam bisa terjadi apa saja,”  ucap Bundaku. Aku sangat senang, akhirnya Bundaku memberiku izin untuk keluar malam ke alun-alun kota. Aku pun memeluk Bundaku. “Terimakasih banyak  Bun,” ucapku gembira. Aku langsung bergegas ke kamar untuk bersiap- siap. Teman- temanku mungkin akan segera datang menjemputku.  15 menit kemudian Sarah, Adinda, dan Fandi datang menjemputku. 

“Ada laki-laki Mi?“ Bisik Bunda ke telingaku. “Cuma satu Bun, Dia juga cupu biasa main sama perempuan” Bisikku balik. Bundaku hanya diam, tapi raut wajahnya tentu menunjukkan kalau Bunda tak ingin anak gadisnya keluar dengan anak laki-laki. Padahal Aku sudah jelaskan kalau Fandi itu sudah biasa bergaul dengan perempuan. Aku menyalim Bunda dan berpamitan. Kemudian Aku dan teman-temanku pun berjalan menuju alun-alun kota untuk merayakan ulang tahun Sarah juga merayakan kesuksesanku menjadi juara umm berturut-turut selama 2 tahun ini. Betapa tidak saat kendaraan kami memasuki area jalan raya, Aku disuguhkan dengan pandangan kota yang begitu menawan. Lampu-lampu beraneka warna terpasang di setiap gedung, percetakan tempatku memfoto kopi tugas-tugas sekolah di sulap menjadi warung ayam penyet yang sangat ramai akan pengunjung, di pinggir jalan banyak remaja-remaja tanggung berkeliaran rata-rata mereka adalah laki-laki.

 Kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang  pun mengeluarkan lampu-lampu indah. Aku tak menyangka kalau kota akan seramai ini saat malam. Apa lagi setelah sampai di alun- alun kota. Berpuluh Pedagang berjualan di sana dengan berbagai macam dagangan. Ada yang menjual boneka-boneka lucu, sendal, mainan anak-anak, dan tentunya makanan-makanan siap saji yang begitu lezat. Aku terpukau dengan keindahan kotaku di malan hari. Saat ke sekolah Aku tak pernah melihat semua ini saat siang. Tak pula kulihat di rumahku saat malam. Aku terbiasa tidur setelah salat isha. 

Waktu kecil Aku sering memohon- mohon pada Ayah untuk mengajakku ke pasar malam atau setidaknya sekali saja mengajakku ke pusat kota. Tapi Bundaku melarang. Katanya  anak perempuan tidak bagus keluar malan apa pun itu alasannya. Palingan Bunda hanya memberi izin Aku keluar ke rumah tetangga sebelah, atau ke warung di sekitaran rumahku. Pokoknya kata Bunda tidak boleh jauh-jauh dari rumah. 

Teman- temanku sering menceritakan ini-itu soal malam, seperti Adinda Ia terbiasa nongkrong di cafe setiap malam dengan teman-teman satu club baskentnya.  Dia sering bilang kalau tidak ke cafe dunianya terasa hampa. Karena di sana kita bertemu orang-orang seusia kita, bisa diajak berteman, berdiskusi di tempat nyaman, di temani segelas kopi dan pemandangan kota yang berwarna-warni. Aku juga baru sadar kalau riuh pusat kota itu sama persis dengan riuhnya pasar tradisional. Para pengamen yang menyanyikan lagu-lagu, penjual boneka yang menjajaki dagangannya, dan remaja-remaja sebaya yang tertawa di sekeliling penjual makanan.  

Adinda mengajak kami antri membeli kebab, pembelinya begitu ramai. Ada pasangan muda yang menggendong bayi juga. Bayi itu melotot melihat keramaian ini. Bayi itu  sama sepertiku polos, tak pernah melihat pemandangan seperti ini. Aku tersenyum ke bayi yang mungkin masih berusia 6 bulan itu. Setelah membeli kebab, Adinda mengajak kami ke cafe dekat alun-alun kota. Tempat Dia sering nongkrong dengan teman-teman club basketnya. Karena Aku dan Sarah tak pernah ke cafe kami pun bersemangat dengan ajakan itu. Apalagi saat Aku punya kesempatan kenapa tidak. Sementara Fandi Dia malah sudah duluan kesana. Rupanya Fandi lebih bersemangat.

Saat Kami memasuki cafe itu, Ada segerombolan anak muda yang mungkin sebaya dengan kami duduk di meja pinggir. Jumlah mereka sekitar 5-7 orang. Kulihat ada dua perempuan berdandan-dan seperti dandanan preman dan 5 laki-laki itu seperti anak basket. Adinda mengajak kami kesana. Rupanya mereka adalah kawan- kawan club basketnya. Ia sengaja  pesta kecil-kecilan di cafe ini untuk merayakan ulang tahun Sarah sekaligus moment perpisahannya dengan club basketnya. Karena Ia sudah di terima di kampus luar negri. 

Mungkin satu atau dua minggu lagi Adinda akan berangkat ke Swiss. Ayahnya memintanya kuliah di sana.  Kami saling berkenalan dengan teman-teman club basketnya Adinda. “ Aku Kevin" ucap seorang bertubuh kekar. Laki-laki berkukit putih dengan rambut yang disisir dengan rapi mengulurkan tangannya ke hadapanku. Laki-laki itu begitu tampan membuat jantungku berdebar-debar. Kalau Bundaku tahu Aku di sini berkenalan dengan banyak laki-laki. Maka habis lah Aku. “Rumi" hanya itu yang keluar dari bibirku. 

“Mi, Kita keluar Yuk, Kita naik kereta kencana atau apa gitu. Aku gak nyaman di sini kayaknya makanannya mahal-mahal. Pun mereka kan anak orang kaya" Bisik Fandi ke telingaku.  Aku mengangguk setuju. “Din Aku dan Fandi keluar dulu, tadi Bunda memesan kebab Aku lupa membelikannya” “Loh, bukannya tadi kita sudah beli kebab?” sambung Adinda. “Iya, tapi yang buat bunda Aku lupa, “ ucapku.  Adinda mengangguk-angguk tanda menyilakan. “ Sar kamu mau ikut?” Ujarku sebelum keluar.  “ aku disini aja Mi sama Dinda,” jawab Sarah. Aku dan Fandi pun keluar dari cafe itu. Kami pergi ke warung-warung kaki lima, menaiki kereta kencana, mewarnai lukisan oleh pelukis jalanan, membeli gelembung dan memainkannya. Aku dan Fandi Bak sepasang kekasih yang dimabuk asmara. Kami menghabiskan waktu di tengah kota berdua saja, hingga larut pun tiba. Pedagang kaki lima mulai mengangkati dagangannya. Aku menelpon Sarah tapi hanphonenya tak aktif. Pun Aku menelpon Adinda, malah tak diangkat berkali-kali. Karena Aku takut Bunda marah Aku pun pulang diantar Fandi.

“Gimana tadi malam? Kamu senang” tanya Bunda. “ Iya Bunda, Aku baru tahu ternyata kota itu amat terang meski sudah malam. Lampu-lampu yang amat terang menghiasi kota. Kerlap-kerlip cahayanya ada dimana-mana. Andai saja Aku bisa melihat pusat kota di kala malam.”  Bundaku hanya diam. “ Bun, kenapa Rumi gak boleh sih keluar malam?” “Karena lampu kota itu" ucap Bundaku. “kok malah lampu kota Bun”  “ Karena lampu-lampu kota itu anak-anak perempuan berani keluar malam, lampu-lampu kota itu yang membuat para orangtua seolah tenang membiarkan anak perempuannya pergi bersama anak orang yang tak dikenal. Lampu-lampu kota itu pula yang membuat anak-anak desa yang merantau enggan untuk pulang" Ucap Ibuku dan pergi menunuju dapur. 

Keesokan harinya Aku dapat kabar Sarah bunuh diri. Ia hamil setelah dari cafe kemarin. Kawanya Adinda yang telah menodainya, si Kevin yang Aku sebut tampan tapi ternyata tak setampan perilakunya. Aku juga baru dapat kabar kalau Adinda ternyata adalah seorang perempuan penghibur, Ia menjual Sarah  ke Kevin . Aku betul-betul tak menyangka, yang Ia sebut club basket rupanya adalah club sekelompok orang bejat. Rupanya Adinda adalah anak yang kurang kasih sayang. Kedua orangtuanya bolak-balik keluar negri tanpa memperdulikan Adinda. Kasihan hidupnya.

Malam ini di atas rooptofe apartmemen milik pamanku Aku baru sadarn ternyata itu maksud Bundaku dengan lampu-lampu kota. Adanya cahaya di malam yang gelap memang membuat semua lega, setidaknya itu bisa mengurangi bahaya. Tapi, apa iya lampu-lampu kota yang harusnya jadi penerang jalanan di pusat kota menjadi penerang untuk para penjahat. Lihatlah di surat kabar. Setiap malam di kota ini ada kasus pemerkosaan, kasus tawuran anak remaja, atau suami-suami yang tengah selingkuh. Dari kejahatan kecil hingga besar hampir terjadi saat malam. Ini kota Bung, lampu-lampunya memang indah meskipun tak ada bulan atau bintang kota akan selalu hidup. Walau pun ini sudah larut malam, kota akan selalu riuh. Kecuali jika Tuhan memberi peringatan seperti saat wabah corona kemarin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun