Kenaikan drastis tarif air Perumda Batiwakkal Kab. Berau membuat Warga Tanjung Redeb terkejut di awal tahun 2025 lalu. Kenaikan tarif air yang tidak terduga ini membuat beberapa pelanggan harus membayar tagihan hingga Rp1,7 juta, padahal biasanya hanya Rp300 ribu. Tidak sedikit pelanggan di berbagai wilayah di empat kecamatan kota mengeluh lantaran tagihannya melonjak hingga berkali-kali lipat.
Keluarga Pelajar Mahasiswa Kabupaten Berau (KPMKB) di Samarinda pun menggelar aksi di Kantor Gubernur Kaltim terkait kenaikan tarif air yang dilakukan Perumda Batiwakkal, Senin (6/1/2025). Mereka menyoroti SK Bupati Berau Nomor 705 Tahun 2024 Tentang Penetapan Tarif Air Minum pada Perusahaan Umum Daerah Air Minun Batiwakkal Berau Tahun 2024-2025. Pasalnya, SK tersebut ditandatangani Bupati Sri Juniarsi Mas pada 29 September 2024 di saat cuti Pilkada.
Ditegaskan Bupati Berau Sri Juniarsih termasuk Pjs pun tidak tahu dan tidak menandatanganinya. Selanjutnya dipihak direktur Perumda Air Minum Batiwakkal, Saipul Rahman, menyampaikan permintaan maaf atas kenaikan tarif air minum yang membuat banyak pelanggan terkejut. Dikatakannya bahwa langkah tersebut diambil untuk menghindari kerugian yang mengancam operasional perusahaan.
Kabar terbaru tarif air bersih di sana sudah kembali seperti semula berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Berau Nomor 10 Tahun 2025 tentang Penetapan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Air Minum Batiwakkal Berau per tanggal 14 Januari 2025. Dengan terbitnya surat keputusan tersebut, maka keputusan yang mengatur hal yang sama dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
Kapitalisasi Air Bersih
Kenaikan tarif air dikatakan karena Perumda setempat mengalami kerugian. Meski sekarang tarif air sudah seperti semula. Namun tidak dapat dipungkiri terjadi permainan regulasi dan kapitalisasi air bersih. Sistem kapitalis yang diterapkan saat ini, melihat layanan masyarakat (salah satunya kebutuhan air bersih) sebagai komoditas dagang sehingga hanya berfokus pada ekonomi dan regulasi.
Dari sudut pandang ekonomi, pemerintah memposisikan dirinya sebagai pedagang yang berbisnis kebutuhan rakyat (air), sedangkan dari sisi regulasi adalah negara dibatasi oleh uu/ peraturan untuk menyediakan layanan gratis.
Krisis air bersih hingga harganya naik drastis tidak seharusnya terjadi. Sistem kapitalisme meniscayakan kondisi demikian. Negara dalam sistem ini mengabaikan perannya sebagai raa'in (pengurus rakyat). Alih-alih memberikan air secara gratis atau murah, negara malah bertindak sebagai pedagang yang turut mencari untung dari kebutuhan rakyat, termasuk air.
PDAM dengan segala biaya operasional seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Tidak dapat dipungkiri semakin berkembangnya populasi dan industri berimbas semakin defisitnya kebutuhan air bersih. Upaya pemerintah tentu sangat dinantikan warga, namun sayang masih lamban sedangkan air bersih kebutuhan mendesak.
Pemerintah harus segera memenuhi kebutuhan akan air bersih, jangan sampai pemenuhan kebutuhan air terkalahkan dengan progam lain yang masih bisa ditunda. Akibatnya krisis air bersih akan dijadikan peluang komoditi bagi pihak lain, artinya masyarakat akan terkuras pendapatannya. Pemenuhan air pun beralih kepada pihak lain, bukan pemerintah.
Para kapital menguasai hajat hidup akan kekayaan SDA negeri ini di antaranya air. Air yang semula bisa mudah murah didapat dari PDAM atau sungai justru diprivatisasi oleh air kemasan. Konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi kapitalis membuat air pun dikomersilkan.