Sedang asyik-asyiknya diri fokus di grup guru inspirator, Â tiba muncul chat dari nya, yang isinya tidak lain seputar keresahan dan kerapuhan saja.Â
Diri baru tersadar, ternyata diri salah kirim video tentang kasih sayang seorang ibu yang diperuntukkan untuk beberapa sahabat yang masih memiliki seorang ibu.
"Hmmm....ternyata masih  simpan nomor watsapp ku toh " Benakku berkata. Selanjutnya kami saling sahut di watsapp. Â
"Kamu masih di Jawa ?"
"Kamu g kangen ?"
"Rahmi.."
Itulah chat nya menyapa, walaupun sudah ku buka namun otakku berpikir, pantas saja tak bisa hilang bayangannya. Tetap saja diri ini sudah terlanjur kurang respect, sejak pertengahan Agustus lalu. Sehingga kubalas dengan video aktivitas menulis yang sedang ku perjuangan. Tak lupa doa agar dirinya baik-baik saja.
"Kita lihat  saja kalau ketemu " Balasnya memancing dan selalu memancing kebaperan. Dalam hati, sudah tahu benang merahnya tentangmu. Sebenarnya dirimu sedang menderita penyakit yang lumayan berbahaya secara psyikis,  dan bahkan terlihat dari fisikmu juga.
Masih kasar dalam bahasa, dikirimnya foto-foto kesedihan dan kesusahan serta kesepian nya, trik memancing empatik diri untuk berbagi.
"Laper" chatnya di hari ketiga,Â
Lagi-lagi curhatan yang membuat diri ini semakin malas untuk berempati. Selanjutnya tak ada lagi chat dari nya, tetapi ada sms , bahwa kotanya habis.Â
"Pulsa abis , kirimin pulsa yank "
"Iya kalau sempat"
" Ough gitu , g usah kalo g niat mah"
Mungkin sudah rezekinya, diri bertemu teman yang sedang nagi- bagi pulsa. Ga adalahnya sedekah.Â
"Tuh...udah, monggo di cek, kabari kalau udah sampe" sapaku. Hitungan detik balasannya mengabarkan sudah terkirim.Â
*Maaf lahir batin"
Dan untuk beberapa puluh menit, chatnya berkisar kembali di dumay.
Obrolan seputar kebakaran dan perayaan maulid Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wassalam. Â Sebagai ummatNya diri terus menyiarkan apa yang sudah diri peroleh dari rutiniitas di sepertiga malam. Jawabannya seperti tak ingin tahu terkesan masih seperti dulu.Â
Ada bahasa bahasa kedekatan yang dia sampaikan di chat demi chatnya. Â Entah kesengsaraan atau keceplosan, Â diri berupaya untuk berada di di tempat dasar, bahwa dirinyaasih simpang saur, dan jauh dari rasa pada diri, lebih sering basa-basi dari pada curhatan ketulusan dan kejujuran yang selama ini diri harapkan. Cukup sadar diri, bahwa dia tak ada sedikitpun rasa peduli. Perih, pedihnya jiwa, hanya sampai pada keadaan sesaknya dada, dan letihnya diri dalam linangan air mata, hingga puisi "Kerinduan Yang Tak Berujung " tercetus menjadikan jiwa lebih lapang. Â
Jerawat yang menggangu, Â ku sampaikan padanya. Responnya sempat sedikit menggelitik. Sudah terbiasa dengan basa-basi mu. Karena lama sekali membalas chat rintihanku, Â akhirnya ku delete, Â responnya hanya tanda titik (, ). Dan itu terasa terpukul, hatinya seperti tak berharap kehadiran diri, karena kesempatan menzolimi diri sudah terbuka atas izinkan Maha Segalanya.Â
Hari Jum at ini, harusnya diri seperti biasa, Jum at barokahNya. Namun sudah tak berharap lagi, rasanya bertemupun sudah tak mungkin lagi. Seandainya di pertemukan oleh Yang Maha Betkehendak. Â Allah Subhanahu Wata'ala Tahu tentang pedihnya jiwa ini. Cukup salam saja, dan menjauh dan menghindar sejauh- jauhnya.Â
Namun semua kembali pada skenario dan kehendakMu yaa Robb. Hamba hanya ingin dia berubah, itu saja. Apapun itu, hanya Engkaulah Yang Maha Bijaksana. Aamiin ( Selesai )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H