Lagi-lagi curhatan yang membuat diri ini semakin malas untuk berempati. Selanjutnya tak ada lagi chat dari nya, tetapi ada sms , bahwa kotanya habis.Â
"Pulsa abis , kirimin pulsa yank "
"Iya kalau sempat"
" Ough gitu , g usah kalo g niat mah"
Mungkin sudah rezekinya, diri bertemu teman yang sedang nagi- bagi pulsa. Ga adalahnya sedekah.Â
"Tuh...udah, monggo di cek, kabari kalau udah sampe" sapaku. Hitungan detik balasannya mengabarkan sudah terkirim.Â
*Maaf lahir batin"
Dan untuk beberapa puluh menit, chatnya berkisar kembali di dumay.
Obrolan seputar kebakaran dan perayaan maulid Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wassalam. Â Sebagai ummatNya diri terus menyiarkan apa yang sudah diri peroleh dari rutiniitas di sepertiga malam. Jawabannya seperti tak ingin tahu terkesan masih seperti dulu.Â
Ada bahasa bahasa kedekatan yang dia sampaikan di chat demi chatnya. Â Entah kesengsaraan atau keceplosan, Â diri berupaya untuk berada di di tempat dasar, bahwa dirinyaasih simpang saur, dan jauh dari rasa pada diri, lebih sering basa-basi dari pada curhatan ketulusan dan kejujuran yang selama ini diri harapkan. Cukup sadar diri, bahwa dia tak ada sedikitpun rasa peduli. Perih, pedihnya jiwa, hanya sampai pada keadaan sesaknya dada, dan letihnya diri dalam linangan air mata, hingga puisi "Kerinduan Yang Tak Berujung " tercetus menjadikan jiwa lebih lapang. Â
Jerawat yang menggangu, Â ku sampaikan padanya. Responnya sempat sedikit menggelitik. Sudah terbiasa dengan basa-basi mu. Karena lama sekali membalas chat rintihanku, Â akhirnya ku delete, Â responnya hanya tanda titik (, ). Dan itu terasa terpukul, hatinya seperti tak berharap kehadiran diri, karena kesempatan menzolimi diri sudah terbuka atas izinkan Maha Segalanya.Â