Mohon tunggu...
Rahma Ahmad
Rahma Ahmad Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Travel Blogger

Lulusan arsitektur yang pernah melenceng jadi jurnalis dan editor di Kompas Gramedia. Pengarang buku 3 Juta Keliling China Utara dan Discovering Uzbekistan. Penata kata di www.jilbabbackpacker.com.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Antara Legenda Tonu Wujo, Maria Loretha, dan Perempuan Pejuang Ketahanan Pangan Flores Timur

20 Juni 2024   19:06 Diperbarui: 20 Juni 2024   19:08 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkenalan Mama Loretha dengan sorgum diawali tahun 2007 ketika tetangganya memberi ia sepiring bubur sorgum, makanan yang belum pernah ia coba sebelumnya. “Waktu itu saya disuguhkan sepiring sorgum yang di atasnya diberi parutan kelapa. Saya makan dan rasanya enak. Betul-betul sangat enak, saya sampai minta tambah,” ceritanya bersemangat.

Mama Loretha yang jatuh cinta pada sorgum ini mencoba menanam sendiri sorgum di lahan miliknya. Namun ternyata, sangat sulit mendapatkan benih sorgum di tempat kelahiran suaminya ini. Tetangga yang memberinya bubur sorgum pun tidak memilikinya karena ternyata beliau mendapat sorgum dari kakaknya.

“Padahal sorgum ini adalah makanan yang sudah ada dari dulu di sini, tapi saya bertanya-tanya kenapa sulit sekali mendapat sorgum bahkan benihnya juga sulit didapatkan,” tukasnya mengenang.

Pengalaman tersebut membuat Mama Loretha terdorong untuk mendapatkan benih-benih sorgum, bukan hanya untuk ia konsumsi dan tanam sendiri, tapi untuk lestarikan. Ia pun memulai “ziarah sorgum”, berburu benih sorgum bersama sang suami dan kemudian menanamnya.

Biji sorgum. Sumber: National Geographic Indonesia
Biji sorgum. Sumber: National Geographic Indonesia

Menangis Karena Nostalgia

Perjuangan Mama Loreta untuk memberdayakan kembali sorgum di bumi NTT tidaklah mudah. Walaupun sorgum adalah bahan pokok lokal yang sudah ada dari lama, tidak semua petani mau menanam sorgum. Mereka lebih memilih menanam padi karena sarananya sudah ada dan lengkap.


“Mengubah mindset masyarakat itu memang tak gampang. Saya sering berdebat soal sorgum ini. Sering dapat omongan negatif ini itu dari sana-sini, tapi saya tutup mata dan telinga. Pokoknya saya harus terus maju,” tukas Mama yang bergerak bersama Yaspensel Keuskupan Larantuka ini.

Walaupun harus bolak balik naik perahu kayu dari Pulau Andonara ke Flores dan pulau-pulau di sekitarnya, Mama tidak pernah merasa lelah dan putus asa. Karena ia merasa ada dorongan kuat yang membuatnya selalu bersemangat. Apalagi menurut ceritanya, makin ke sini, masyarakat makin mau menanam sorgum.

“Pernah ada salah satu warga yang menangis ketika berhasil menanam sorgum; menangis bahagia karena teringat waktu dulu mereka sering memakan ini,” ceritanya.  

Tawa bahagia masyarakat Desa Nurabelen, Flores TImur, seusai memanen sorgum. Sumber: dok. pribadi Maria Loretha.
Tawa bahagia masyarakat Desa Nurabelen, Flores TImur, seusai memanen sorgum. Sumber: dok. pribadi Maria Loretha.

Semangat pantang menyerah Mama Loretha dan Yaspensel Keuskupan Larantuka membuahkan hasil. Dari yang awalnya hanya menanam di lahannya sendiri, kini ia telah membina petani di 22 desa di 14 kecamatan di Kabupaten Flores Timur.  Lahan-lahan di bawah binaannya pun seringkali didatangi para peneliti dan orang-orang dari daerah lain yang ingin belajar mengenai sorgum. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun