Mohon tunggu...
Rahma Ahmad
Rahma Ahmad Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Travel Blogger

Lulusan arsitektur yang pernah melenceng jadi jurnalis dan editor di Kompas Gramedia. Pengarang buku 3 Juta Keliling China Utara dan Discovering Uzbekistan. Penata kata di www.jilbabbackpacker.com.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Antara Legenda Tonu Wujo, Maria Loretha, dan Perempuan Pejuang Ketahanan Pangan Flores Timur

20 Juni 2024   19:06 Diperbarui: 20 Juni 2024   19:08 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dok. pribadi Maria Loretha

Di tengah masyarakat etnis Lamaholot yang mendiami daratan Flores Timur, Pulau Adonara, Lembata, hingga Alor, terdapat sebuah legenda perjuangan perempuan yang masih terus dibicarakan hingga hari ini. Kisah ini mengenai Tonu Wujo, perempuan yang rela mengorbankan nyawanya agar anggota keluarganya tidak mati kelaparan di tengah ancaman paceklik yang melanda Flores Timur dan sekitarnya.

Saat itu Flores Timur sedang menghadapi musim kering hebat. Ubi-ubian tak tumbuh, binatang buruan menghilang akibat panas yang berkepanjangan, ikan di sungai pun tak ada. Kelaparan menghantui masyarakat, termasuk Tonu Wujo dan keluarganya.

Saat musim tanam tiba, Tonu Wujo dan keenam saudaranya pergi k­e ladang. Di atas batu di tengah ladang, ia duduk, meminta para saudaranya lelakinya membunuhnya, lalu menyebarkan darah dan potongan tubuhnya ke seantero ladang. Dengan berat hati, keenam saudaranya itu mengabulkannya. Ajaibnya, seminggu kemudian, di ladang tersebut tumbuh benih-benih padi, jagung, sorgum dan aneka bahan pangan lainnya.

Dari Tonu Wujo ke Maria Loretha

Legenda rakyat Lamaholot ini membuat saya teringat dengan seorang perempuan masa kini yang tengah berjuang untuk mengembalikan kejayaan sorgum di tanah Flores Timur dan sekitarnya. Dialah Maria Loretha, perempuan asal Kalimatan yang tinggal di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur. ­

Mama Loretha atau Mama Letha—begitu ia meminta saya memanggilnya—berupaya menanam kembali sorgum yang pernah menjadi bahan makanan utama di bumi Nusa Tenggara Timur puluhan tahun silam. Program penanaman dan konsumsi tanaman padi di seantero Indonesia sejak tahun 1970-an membuat sorgum terpinggirkan dan lama-kelamaan terlupakan oleh masyarakat Nusa Tenggara, khususnya di kabupaten Flores Timur tempat Mama Loretha tinggal.


Bentuk sorgum yang cantik juga salah satu hal yang membuat Mama Loretha jatuh cinta pada tanaman ini. Sumber: dok. pribadi Maria Loretha.
Bentuk sorgum yang cantik juga salah satu hal yang membuat Mama Loretha jatuh cinta pada tanaman ini. Sumber: dok. pribadi Maria Loretha.

Padahal, sorgum­ sangat cocok ditanam di NTT. Tanaman yang termasuk dalam rumpun tanaman serealia (biji-bijian)  ini  tidak memerlukan banyak air sehingga pas untuk NTT yang memiliki tanah kering berbatuan. Batang sorgum pun mampu menyimpan air lebih lama dan pada daunnya terdapat lapisan lilin yang berfungsi untuk mencegah penguapan.

“Kekeringan hebat, curah hujan rendah dan gelombang panas bukan halangan bagi sorgum untuk bertumbuh. Perawatannya lebih gampang dan lebih mudah ditanam dibanding padi.  Dan sekali tanam, sorgum bisa juga dipanen lebih satu kali. Jadi produktivitasnya terbilang tinggi,” tukas perempuan tangguh berusia 55 tahun ini.

Dari segi kesehatan, sorgum juga baik. Seperti yang ditulis Kompas.com, kandungan gula pada sorgum juga rendah sehingga aman dimakan oleh penderita diabetes melitus sekalipun. Dan karena mengandung serat yang tinggi—lebih tinggi dibandingkan beras dan jagung—sorgum sangat mengenyangkan. Serat ini juga punya penting dalam menjaga kesehatan pencernaan dan membantu mengikis kolesterol berbahaya, sehingga dapat menjaga kesehatan jantung dan mencegah stroke.

“Gue makan ini pagi, sampe malam gue masih kenyang,” begitu cerita Didi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia yang menjadi jembatan penghubung saya dengan Mama Loretha. ­

Jatuh Cinta Pada Suapan Pertama

Perkenalan Mama Loretha dengan sorgum diawali tahun 2007 ketika tetangganya memberi ia sepiring bubur sorgum, makanan yang belum pernah ia coba sebelumnya. “Waktu itu saya disuguhkan sepiring sorgum yang di atasnya diberi parutan kelapa. Saya makan dan rasanya enak. Betul-betul sangat enak, saya sampai minta tambah,” ceritanya bersemangat.

Mama Loretha yang jatuh cinta pada sorgum ini mencoba menanam sendiri sorgum di lahan miliknya. Namun ternyata, sangat sulit mendapatkan benih sorgum di tempat kelahiran suaminya ini. Tetangga yang memberinya bubur sorgum pun tidak memilikinya karena ternyata beliau mendapat sorgum dari kakaknya.

“Padahal sorgum ini adalah makanan yang sudah ada dari dulu di sini, tapi saya bertanya-tanya kenapa sulit sekali mendapat sorgum bahkan benihnya juga sulit didapatkan,” tukasnya mengenang.

Pengalaman tersebut membuat Mama Loretha terdorong untuk mendapatkan benih-benih sorgum, bukan hanya untuk ia konsumsi dan tanam sendiri, tapi untuk lestarikan. Ia pun memulai “ziarah sorgum”, berburu benih sorgum bersama sang suami dan kemudian menanamnya.

Biji sorgum. Sumber: National Geographic Indonesia
Biji sorgum. Sumber: National Geographic Indonesia

Menangis Karena Nostalgia

Perjuangan Mama Loreta untuk memberdayakan kembali sorgum di bumi NTT tidaklah mudah. Walaupun sorgum adalah bahan pokok lokal yang sudah ada dari lama, tidak semua petani mau menanam sorgum. Mereka lebih memilih menanam padi karena sarananya sudah ada dan lengkap.

“Mengubah mindset masyarakat itu memang tak gampang. Saya sering berdebat soal sorgum ini. Sering dapat omongan negatif ini itu dari sana-sini, tapi saya tutup mata dan telinga. Pokoknya saya harus terus maju,” tukas Mama yang bergerak bersama Yaspensel Keuskupan Larantuka ini.

Walaupun harus bolak balik naik perahu kayu dari Pulau Andonara ke Flores dan pulau-pulau di sekitarnya, Mama tidak pernah merasa lelah dan putus asa. Karena ia merasa ada dorongan kuat yang membuatnya selalu bersemangat. Apalagi menurut ceritanya, makin ke sini, masyarakat makin mau menanam sorgum.

“Pernah ada salah satu warga yang menangis ketika berhasil menanam sorgum; menangis bahagia karena teringat waktu dulu mereka sering memakan ini,” ceritanya.  

Tawa bahagia masyarakat Desa Nurabelen, Flores TImur, seusai memanen sorgum. Sumber: dok. pribadi Maria Loretha.
Tawa bahagia masyarakat Desa Nurabelen, Flores TImur, seusai memanen sorgum. Sumber: dok. pribadi Maria Loretha.

Semangat pantang menyerah Mama Loretha dan Yaspensel Keuskupan Larantuka membuahkan hasil. Dari yang awalnya hanya menanam di lahannya sendiri, kini ia telah membina petani di 22 desa di 14 kecamatan di Kabupaten Flores Timur.  Lahan-lahan di bawah binaannya pun seringkali didatangi para peneliti dan orang-orang dari daerah lain yang ingin belajar mengenai sorgum. 

Bukan hanya itu. Lahan-lahan tidur yang tadinya tidak termanfaatkan, bisa dimanfaatkan kembali sehingga lambat laun, eksodus pemuda ke luar Flores Timur untuk mencari pekerjaan semakin berkurang. 

Tak heran jika berderet penghargaan pun ia raih, mulai dari Kehati Award, Kartini Award, Ashoka Award, dan lain sebagainya. Ia pun kini dikenal dengan nama "Mama Sorgum dari NTT".

Perempuan Memegang Peranan dalam Pembangunan Berkelanjutan

Keberhasilan Mama Loretha menjadi bukti bahwa perempuan dapat berperan aktif dalam menjaga ketahanan pangan di lingkungannya. Dalam kasus Mama Loretha, ketahanan pangan ini ia wujudkan melalui keragaman pangan dan pelestarian pangan lokal.

Karena, menurut cerita Mama Loretha, awalnya petani di NTT menghadapi berbagai persoalan seperti gagal panen, musim yang tidak menentu, hingga kekurangan air. Apalagi mereka menggantungkan hidup dari jagung dan padi saja, padahal mereka punya sorgum yang lebih cocok untuk NTT.

“Ketika diskusi soal sorgum ini, saya tidak bilang mereka tidak boleh menanam padi, tapi saya mengajarkan mereka untuk juga menanam sorgum di ladang mereka sebagai upaya menjaga lumbung keluarga,” tuturnya lagi.

Ya, setiap daerah, termasuk NTT memiliki kondisi lingkungan yang unik. Pemilihan tanaman yang sesuai dengan lingkungan lokal dapat membantu mencapai pertanian dan  berkelanjutan. Tanaman yang sesuai dengan iklim dan tanah setempat memerlukan lebih sedikit input seperti air dan pupuk, mengurangi jejak karbon dan dampak lingkungan secara keseluruhan. Pemilihan varietas tanaman yang tahan terhadap iklim setempat juga dapat meningkatkan produktivitas dan ketahanan tanaman.

Dan perlu diingat, salah satu tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang tercantum dalam SGDS-20 adalah mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan peningkatan nutrisi, serta mendorong pertanian berkelanjutan, salah satunya melalui ketahanan sistem pangan lokal.

Dalam dokumen itu juga tercantum anjuran untuk meningkatkan investasi dalam penelitian, pengembangan dan demonstrasi teknologi untuk meningkatkan keberlanjutan sistem pangan di mana pun, mengingat sekarang ini kerap terjadi perubahan suhu, curah hujan dan hama yang terkait dengan perubahan iklim.

Maria Loretha telah memulainya dengan melestarikan sorgum di Flores Timur.

Sumber: National Geographic Indonesia
Sumber: National Geographic Indonesia

Dalam skala yang lebih mikro, perempuan juga peranan krusial dalam menjaga ketahanan pangan keluarga. Di NTT misalnya, selain menentukan jenis makanan yang ia dan keluarganya makan di rumah, para perempuan ini juga punya pengaruh dalam menentukan jenis tanaman yang akan ditanam di ladang mereka. 

“Suara mereka bisa memengaruhi para suami untuk menanam sorgum,” ungkap Mama Loretha.

Rencana Besar: Sorgum dan ­Handsanitizer­

Mama Loretha tak berpuas diri. Ia masih memimpikan suatu hari nanti sorgum ada di seluruh Nusa Tenggara dan menjadi makanan pokok masyarakat.  Ia ingin sorgum ini setara dengan beras dan bukan hanya sebagai makanan alternatif.

Ia juga mulai mengembangkan sorgum menjadi produk lain, salah satunya adalah sebagai bioetanol. Melansir dari jurnal yang ditulis oleh M. Arsyad Biba dari Balai Penelitian Tanaman Serealia Sulawesi Selatan, sorgum manis dapat dijadikan bahan baku bioethanol.

Sebagai informasi, bioetanol adalah etanol yang berasal dari sumber hayati yang mengandung glukosa, karbohidrat, dan selulosa,  seperti tebu, nira, sorgum, ubi kayu, garut, ubi jalar, jagung, jerami, dan kayu.

Bioetanol ini nantinya akan Mama Loretha kembangan menjadi hand sanitizer yang ramah lingkungan. Saat ini masih semuanya masih dalam proses pengembangan dan bukan tak mungkin dalam satu atau dua tahun mendatang hand sanitizer dari sorgum akan merajai pasar Indonesia. 

Sumber:

***

Artikel ini diikutsertakan dalam lomba Perempuan dan Energi Berkelanjutan sebagai upaya Oxfam untuk mewujudkan Transisi Energi Adil

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun