Mohon tunggu...
Rahma Ahmad
Rahma Ahmad Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Travel Blogger

Lulusan arsitektur yang pernah melenceng jadi jurnalis dan editor di Kompas Gramedia. Pengarang buku 3 Juta Keliling China Utara dan Discovering Uzbekistan. Penata kata di www.jilbabbackpacker.com.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Antara Drama Korea, Ada Apa dengan Cinta, dan Promosi Wisata Likupang

23 Februari 2022   15:33 Diperbarui: 23 Februari 2022   15:37 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pisang Gorogo dan Sambal Roa (sumber: adira.co.id)

Apa hubungan antara Descendant of The Sun, AADC dan promosi wisata Likupang? 

Pernahkah kalian menonton sebuah sinema dan kemudian menjadi sangat tertarik untuk datang ke sana? Saya pernah. Seusai menonton The Mummy Return, saya bersikeras ingin datang ke semua kuil yang ada di film tersebut. 

Begitupun saat melihat keindahan bebatuan di Pantai Tanjung Tinggi di Film Laskar Pelangi. Dua bulan setelah menonton film tersebut, saya langsung memesan tiket ke Belitung dan datang ke semua lokasi syuting film Laskar Pelangi.

Ya, sebuah film ternyata mampu menjadi magnet untuk menarik wisatawan. Akademisi pariwisata menyebutnya sebagai film-induced tourism alias wisata yang disebabkan oleh kehadiran suatu film.

Banyak negara yang menjalankan  film-induced tourism. ini. Misalnya Korea Selatan. Negari Ginseng ini mampu menyedot banyak wisatawan melalui drama-drama korea yang booming di banyak negara, termasuk Indonesia.

Salah satunya adalah serial Descendant of The Sun (DoTS). Drama percintaan antara tentara Korea Selatan dan dokter ini mampu melahirkan  paket wisata ke beberapa wilayah di Taebak. Padahal dahulu, tak banyak yang tahu soal potensi wisata Tabaek. Namun, semenjak menjadi lokasi syuting drama DoTS, wilayah Taebaek menjadi lokasi wisata yang ramai dikunjungi.

Film dan Promosi Wisata Indonesia

Hal serupa juga mulai terjadi di Indonesia. Film Laskar Pelangi, yang membuat saya secara impulsif membeli tiket ke sana, bisa mempromosikan Belitung dan mengangkat citra pariwisata di sana, dari yang sebelumnya hanya sebuah daerah tambang timah menjadi sebuah destinasi wisata unggulan di Indonesia.  Bahkan, kemudian muncul branding Belitung sebagai Negeri Laskar Pelangi.

Yogyakarta juga mengalami hal yang sama semenjak kemunculan film Ada Apa Dengan Cinta 2 (AADC2). Film yang mengangkat kisah Rangga dan Cinta ini membuat para milenial berbondong-bondong datang ke sana. Sama seperti di Tabaek dan Belitung,  muncullah paket wisata yang tujuannya menikmati tempat-tempat yang ada di film AADC2, yang sebelumnya jarang dijamah wisatawan. Ada Candi Ratu Boko, pertunjukan Papermoon Puppet, hingga Gereja Ayam Bukit Rhema.

Kedatangan Rangga dan Cinta ke daerah-daerah tidak populer ini membuat destinasi tersebut langsung kebanjiran pengunjung. Gereja Ayam misalnya, yang awalnya hanya sebuah bangunan mangkrak, kini berfungsi kembali menjadi objek wisata.

Luar biasa memang pengaruh sebuah film. 

Film Bisa Angkat Pesona Likupang

Lalu, apakah Likupang bisa dingkat ke dalam film? Ya, tentu saja. Terlepas apapun ceritanya nanti, daerah yang dikenal dengan julukan “The Hidden Paradise of North Sulawesi” ini punya sederet tempat indah untuk dijadikan lokasi syuting film.

Sebagai informasi, bagi Anda yang belum tahu, Likupang adalah nama sebuah daerah di Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Letaknya sekitar 48 km dari Manado. Dan sejak 2019, pemerintah Indonesia menetapkan Likupang sebagai salah satu dari 5 Destinasi Super Prioritas (DSP) bersama dengan Danau Toba, Borobudur, Mandalika, dan Labuan Bajo .

Nah, ini deretan “surga” di DSP Likupang yang cocok dijadikan setting film.

Pulau Lihaga 

Pulau tidak berpenghuni ini dikenal karena keindahan alamnya yang masih asli. Hamparan pasir putih membentang di sepanjang pantai, ditambah pohon-pohon yang setengahnya mulai mengering, bersanding kontras dengan langit yang biru dan air laut yang sebening kristal. Benar-benar surga di Wonderful Indonesia

Dan enaknya di Lihaga, wisatawan tak perlu jauh-jauh berenang karena beberapa meter dari bibir pantai sudah bisa menyaksikan ribuan ikan hilir mudik. Ditambah lagi airnya sangat tenang sehingga tak perlu susah payah berenang melawan arus.

Pulau Gangga

Sunset di Pulau Gangga. Sumber: agoda.com
Sunset di Pulau Gangga. Sumber: agoda.com

Pulau ini terletak tak jauh dari Lihaga. Alamnya pun sama cantiknya, berpasir putih lembut dengan bawah laut yang memesona. Namun berbeda dengan Ligaha yang tak punya penginapan, di pulau seluas 14.5 km ini sudah ada resor dan bungalow dan restoran berkelas internasional.

Sangat cocok dijadikan syuting film drama romantis , kan?

Pantai Pulisan dan Bukit Savana

Pantai Pulisan dilihat dari Bukit Savana. Sumber: pegipegi.com
Pantai Pulisan dilihat dari Bukit Savana. Sumber: pegipegi.com

Berada di teluk, Pantai Pulisan memiliki air laut yang tenang berwarna biru. Ombaknya tidak besar sehingga wisatawan bisa berenang dengan tenang atau bermain permainan air seperti banana boat. Berenang di pantai ini tergolong aman karena dasar lautnya tidak curam dan bersih dari bulu babi. 

Pantai ini diapit oleh sebuah bukit; Bukit Savana namanya. Sesuai namanya, bukit ini terdiri atas padang savana yang membentang luas. Memang harus sedikit mendaki untuk mencapai savana itu, namun akan terbayar saat melihat pemandangan indah dari atas bukit: Pantai Pulisan di sebelah kiri serta Pantai Paal di sebelah kanan.

Pantai Paal

Pantai Paal. Sumber: Instagram @_aaaallll 
Pantai Paal. Sumber: Instagram @_aaaallll 

Pantai Paal yang terletak di Desa Marinsow ini punya gradasi indah: paduan warna putih, biru muda, hingga biru tua yang super cantik. Pantai yang juga jadi tempat favorit untuk menikmati sunrise ini telah dilengkapi dengan toilet, musala, dan gazebo untuk menikmati kuliner khas Minahasa. Di pantai ini juga tersedia berbagai permainan olahraga air seperti voli pantai dan banana boat.

Desai Bahoi

Hutan Mangrove di Desa Bahoi. Sumber: tiket.com
Hutan Mangrove di Desa Bahoi. Sumber: tiket.com

Desa yang letaknya sekitar 1,5 jam dari bandara Sam Ratulangi ini bukan hanya menawarkan keindahan alam bawah lautnya, namun juga ekosistem hutan bakaunya. Ada jembatan kayu yang membelah hutan bakau, yang rasanya cocok dijadikan tempat ber-selfie. Atau setting movie.

Film Bisa Pamerkan Budaya Likupang

Dalam banyak drama Korea, mereka menyisipkan scene tentang budaya supaya penonton tahu budaya Korea. Kadang hanya sekadar scene makan bersama, baju korea, hingga ada scene berat soal sejarah Korea masa lampau.

Likupang kental akan budaya yang bisa diangkat atau disisipkan ke film. Salah satunya adalah Mapalus, budaya gotong royong yang masih dipertahankan di sebagian besar wilayah di Minahasa, termasuk di Likupang. 

Jika beruntung, saat mendatangi perkampungan penduduk di Desa Bahoi kita bisa melihat budaya Mapalus ini. Misalnya saja saat ada warga yang pindah. Warga lainnya akan bahu-membahu menggotong rumah panggung ke tempat barunya. 

Para penyanyi Masamper bersiap sebelum pertunjukan di Desa Bahoi. Sumber: Beritamanado.com
Para penyanyi Masamper bersiap sebelum pertunjukan di Desa Bahoi. Sumber: Beritamanado.com

Ada pula budaya Masamper, bernyanyi berberkelompok dan saling berbalas-balasan. Uniknya, kegiatan bernyanyi ini dilakukan sambil menari bersama mengikuti irama sehingga suasana lebih ramai dan hidup. 

Bayangkan, jika ada scene soal Mapalus dan Masamper ini. Tentu bisa jadi pembelajaran dan pengetahuan soal budaya Minahasa untuk para penonton.

Film Bisa Mengenalkan Kuliner Likupang

Dalam beberapa drama Korea, sang aktor memakan hidangan khas Korea. Ini menyebabkan makanan korea menjadi begitu populer di banyak tempat, termasuk di Indonesia. Begitupun di film AADC2, Rangga menyantap sate klatak Pak Bari dan ini menyebabkan kenaikan pesat terhadap jumlah konsumen tempat tersebut.

Seminggu setelah AADC 2 tayang, sebuah situs berita melaporkan betapa makin ramainya sate klathak Pak Bari. Konsumen barunya tentu mereka yang baru saja menonton AADC 2. Dari yang biasanya baru habis menjelang subuh, kini sate kambing di warung yang buka mulai jam 9 malam ini sudah ludes dalam waktu satu jam saja.

Nah, Likupang punya banyak makanan khas yang bisa “disisipkan” ke dalam film. Salah satunya adalah pisang gorogo. Jenis pisang silangan yang hanya tumbuh di Sulawesi Utara ini berbentuk panjang dan ramping. Banyak ragam olahan pisang ini, mulai dari direbus, digoreng dengan baluran tepung, atau diiris tipis lalu digoreng, mirip dengan keripik pisang.

Selain rasanya yang khas, yang membedakan pisang ini dengan di daerah lain adalah cara memakannya. Ya, bagaimanapun bentuk olahannya, pisang ini selalu dimakan dengan cara mencocolnya ke sambal roa khas Minahasa.

Pisang Gorogo dan Sambal Roa (sumber: adira.co.id)
Pisang Gorogo dan Sambal Roa (sumber: adira.co.id)

Likupang juga punya Panada dan Lalampa, cemilan yang mungkin sudah dikenal banyak orang. Panada berbentuk seperti pastel namun terbuat dari roti. Isiannya adalah daging ikan, sayuran, dan rempah-rempah.  Sementara Lalampa adalah penganan yang mirip dengan lemper, terbuat dari ketan dan diisi dengan tuna cincang, bumbu dapur, dan rempah-rempah.

Lalampa. Sumber: fimela.com
Lalampa. Sumber: fimela.com

Untuk makanan “berat” Likupang punya milu siram, yakni sup jagung yang dibuat dengan udang atau daging ikan. Cita rasa asam dari jeruk nipis dan pedas dari cabai, jadi kombinasi rasa yang unik untuk melengkapi eksplorasi para wisatawan di Likupang.

Ah, menulisnya saja membuat saya langsung tergiur dan menelan ludah. Sehingga saya percaya, kalau ada film yang menyisipkan makanan ini ke dalam salah satu scene-nya, banyak orang yang ikutan tergoda menyantapnya. 

Bagaimana Fasilitas Likupang?

Saya pernah bertemu seorang film maker yang syuting film Piala Presiden di Raja Ampat. Dari hasil obrolan singkat, tercetuslah bahwa selain keindahannya, yang membuat para sineas mau membuat film adalah kemudahan fasilitas dan dukungan pemerintah daerah.

Tampaknya Likupang sudah punya itu. Paling tidak soal kemudahan akses. Sejak dinobatkan sebagai DSP, pemerintah terus membenahi akses ke DSP Likupang. Jalan diperbaiki sehingga lebar dan mulus,  serta akan ada jalan tol antara Manado-Bitung sehingga perjalanan menuju Likupang yang tadinya butuh waktu lebih dari dua jam akan menjadi 1 jam 40 menit dan dari bandara menuju ke Likupang hanya 30-35 menit saja.

Bandara Internasional Sam Ratulangi pun makin rapi. Terminal yang ada diperluas dan diperindah, gedung terminal baru dibuat, infrastruktur bandara ditambah untuk menunjang kenyamanan wisatawan. Kabarnya, peningkatan fasilitas bandara ini akan rampung pada akhir Februari 2022.

Air bersih, internet dan listrik pun sudah dipenuhi pemerintah. Pun dengan fasilitas untuk menunjang kenyamanan wisatawan seperti toilet, tempat duduk, dan penginapan. Bekerja sama dengan masyarakat setempat, pemerintah juga sudah mulai menyediakan homestay dengan harga 200 ribu rupiah di tiga Desa yaitu Marinsow, Pulisan, Kinunang dan satu Kelurahan di Pulau Bunaken. Ini akan melengkapi resor-resor yang telah ada sebelumnya di DSP Likupang.

Semoga saja, film yang berlatarbelakang keelokan Likupang, kekentalan budayanya, serta kenikmatan kulinernya bisa segera terwujud sehingga nama Likupang akan semakin bergema di bukan hanya di Indonesia aja, namun juga ke seluruh dunia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun