Nah, karena tak bisa dibantu internet sepanjang perjalanan, mau tak mau persiapan saya harus matang sebelum berangkat. Itenerary harus dibuat selengkap mungkin, disertai dengan cara menuju ke sana dari titik ke titik.
Yang repot, kalau pergi beramai-ramai dan terpisah. Janjiannya susah, paling murah pakai SMS yang tarifnya sekali SMS sekitar 10 ribu rupiah. Kalau sekarang mah gampang, kepisah pun tinggal telp via WA, kan?
Anehnya, walau tanpa internet, saya dan kawan-kawan sukses-sukses saja travelling ke negara-negara yang waktu itu masih "mentah" dan minim informasi seperti Myanmar, Kamboja, dan Vietnam. Â
Sukses janjian di satu titik kalau terpaksa berpisah, tanpa harus nyasar dan cari-mencari. Pernah, saya dan kawan-kawan terpisah di Angkor Wat dan tanpa internet, kami berhasil bertemu di tengah
Kalau sekarang, tanpa internet, pusingnya luar biasa.
2. Peta Digital vs Peta Cetak
Zaman awal saya travelling dulu, belum ada yang namanya google map apalagi movit dan segala macam aplikasi untuk membantu mencari jalan. Kalau cari alamat, ya mesti liat peta cetak. Peta segede gaban itu mesti dibawa-bawa ke mana-mana.
Peta itu biasanya saya dapatkan dari teman yang sudah ke sana atau dari Tourist Information Center di bandara. Atau biasanya, di dekat pintu keluar akan ada rak besar tempat segala flyer dan peta ada di sana. Tinggal ambil.
Sebagai cadangan, biasanya saya mengunduh lebih dahulu peta di internet lalu mengeprintnya. Nanti di penginapan, barulah saya minta atau pinjam peta dari hotel. Kalau nggak ada juga, ya nasib. Cuma bisa mengandalkan GPS alias Gunakan Penduduk Setempat.
Tak enaknya, tas jadi lebih berat dengan peta-peta itu. Enaknya, saya lebih paham soal arah dan letak suatu destinasi ketimbang sekarang yang cuma mengandalkan suara dari mbak di Google Map: "two hundred meter, turn left".
3. Google Translate Manual