Kedatangan Mak Lampir
Oleh : Rahmawati Taufik
Pada suatu hari Zikra duduk di bawah sebatang pohon Mangga dekat rumahnya. Di bawah pohon Mangga itu Ada sebuah tempat duduk  terbuat dari kayu yang panjangnya lebih kurang 1,5 meter. Di bawah pohon Mangga itu  tempat duduk-duduk dan santai dikala sore ataupun di pagi hari oleh keluarga Zikra.
Dari jauh ada seorang nenek yang tidak dikenal, berjalan menuju ke arah Zikra duduk. Nenek itu memakai sebuah tongkat dan berjalan agak merunduk. Baju yang dia pakai sudah lusuh berwarna ungu dan berserongkan kain sarung warna orange bermotifkan bunga-bunga. Kakinya memakai sandal jepit bewarna hitam.Â
Giginya hampir semua rontok. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat sedangkan tangan kirinya memegang sebuah bungkusan yang dipalut dengan kain bewarna merah. Nenek itu semakin mendekat kearah Zikra. Zikra menatap nenek itu dengan penuh tanda tanya dan ketakutan. Siapakah nenek yang hendak menghampirinya itu?.
Melihat penampilan nenek itu, secara spontan pikirannya membayangkan kisah Mak Lampir dalam sandiwara radio yang berjudul "Misreri Gunung Merapi". Zikra ketakutan, tampa disengaja dia langsung lari kearah rumah sambil  berteriak minta tolong. "tolong ada Mak Lampir"  yang berulang-ulang disebutnya. Ibu yang sedang memasak di dapur kaget dan langsung keluar menjumpai Zikra.Â
Ibu dan Zikra bertemu di ruang tamu. Zikra langsung memeluk ibu dan berkata "ibu aku takut ada Mak Lampir, ingin menculikku". Ibu berusaha menenangkan hati Zikra yang ketakutan sekali ."Uda..udah..ngak usah takut, kan ada ibu disini".
Di hati ibu tak mungkin ada Mak Lampir yang disebut Zikra karena itu hanyalah tokoh antagonis sandiwara Radio Misteri Gunung Merapi yang didengar Zikra setiap jam 8 malam. Lalu ibu mengajak Zikra Kembali keluar, "ayo ikut ibu...".
Meskipun ada ibu tapi Zikra masih ketakutan. Ibu dan Zikra menghampiri nenek itu yang masih berada di bawah pohon Mangga tempat Zikra duduk. Zikra tak sanggup memandang wajah nenek itu dan bersembunyi di belakang tubuh ibu. Mata ibu menyapu penampilan nenek tua itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tapi ibu benar-benar tak mengenal nenek tua itu. Dengan kebingungan dan rasa ingin tau ibu menyapa nenek tersebut.
"Assalamu'alaikum nek, apa kabar ?."  "waalaikum salam, apa benar di sini rumah Zikra anaknya Burhanudin?," jawab nenek itu. Zikra memegang ibu dari belakang semakin erat karena  sekin ketakutan.  "Iya, benar. Emang ada apa dengan Zikra anak saya nek." Kembali ibu bertanya. "nama Nenek adalah Rabiah teman dari Jamaludin  dan Rukayah kakek neneknya Zikra." nenek tua itu memperkenalkan diri.
Ibu menatap nenek ini dengan penuh kebingungan. Pikirannya mencoba menelusuri kehidupan orang tuanya diwaktu masih hidup dulu. Tapi tak sedikitpun memorinya mengenal nenek tua itu. Kembali ibu bertanya,"ada perlu apa nenek dengan Zikra anak saya?." Suara Ibu sedikit agak keras dan kebingungan.
"Dimasa hidupnya, Jamaludin dan Rukayah menitip sesuatu untuk cucunya Zikra" penjelasan nenek itu. Ibu merasa agak kesal karena ucapan nenek ini hanyalah ngaur belaka. "maaf nek, saya ibunya Zikra anak dari kakek nenek Zikra yang nenek sebut, tapi saya tidak mengenal nenek dan orang tua saya pun tidak pernah bercerita kalau mereka punya teman yang Bernama Rabiah seperti yang nenek katakan." Penjelasan ibu Zikra panjang lebar kepada nenek itu. Zikra berusaha ngintip dari belakang ibu dengan kebingungan dan penuh ketakutan.
Lalu nenek itu maju lebih mendekat kearah Ibu Zikra sambil mengajukan bungkusan bewarna merah yang ada di tangan kirinya. Ibu Zikra berusaha mundur menghindari bungkusan yang diunjukkan nenek tua yang tidak dia kenal itu. Dengan penuh keheranan ibu Zikra menanyakan isi dari bungkusan itu.
Nenek tua itu menghela napas Panjang dan bercerita "lebih kurang 14 tahun yang lalu saya bertemu dengan Jamaludin dan Rukayah Di rumah sakit. Waktu itu saya sedang menunggui anak saya Banun yang melahirkan anak pertamanya. Dua hari setelah cucu saya lahir, Zikra pun lahir. Untuk meghubungkan Kembali silaturrahmi kami  yang sudah lama terputus oleh waktu dan tempat yang berjauhan.Â
Kami pun punya niat dan tekat yang sama untuk menjodohkan  cucu cucu kami. Tiga hari setelah itu saya dan suami menyerahkan sebuah cincin atas keseriusan maksud baik kami, begitu juga Jamaludin dan Rukayah. Awalnya cincin itu di pegang oleh Jamaludin namun sewaktu Jamaludin dirawat di rumah sakit,  waktu itu sebelum dia meninggal menitipkannya sama suami saya.Â
Sekarang suami saya pun sudah meninggal. Untuk itu supaya niat baik kami terwujud, cincin yang  untuk Raka cucu kami sudah dititip kepada Banun anak kami,  sementara cincin yang untuk Zikra masih di tangan saya.Â
Saya sudah tua, entah meninggal besok atau lusa, makanya sekarang ini saya serahkan bungkusan ini yang berisi sebuah cincin dan surat wasiat dari kakek dan nenek Zikra." Panjang lebar nenek tua itu menceritakan kesepakatan antara dia dan kakek nenek Zikra.
Ibu Zikra kaget dengan penjelasan nenek tua itu, apalagi  Zikra yang masih duduk di kelas tiga SMP. Zikra bermaksud berlari kedalam rumah, namun kakinya tak bisa dilangkahkan, sambil berusaha lari Zikra berkata "Tidaaak.."
"Zikra...Zikra.. Â bangun nak.. sudah subuh," kata ibu yang datang membangunkan Zikra. Zikra kaget dan langsung duduk dari tidurnya.."Alhamdulillah... ternyata aku bermimpi" ucap Zikra dalam hati. Zikra sadar ternyata itu hanyalah mimpi yang takkan mungkin terjadi.
Salam Bloger
Dharmasraya, 12 November 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H