Penulis: Ahmad Faza Irsyada, Setya Rahma Utami, Putri KamidaÂ
Kesetaraan gender memiliki arti kesamaan kondisi dimana laki-laki dan perempuan dapat untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan nasional, serta menikmati hasil dari kemajuan tersebut.
Kesetaraan gender bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, inklusif, berkelanjutan, dan tidak memandang rendah kaum wanita. Untuk mencapai keadilan gender, proses yang relevan diperlukan untuk menghilangkan perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang ada dalam keluarga, masyarakat, dan negara.Â
Kemajuan dalam mencapai kesetaraan gender telah dicapai dalam beberapa dekade terakhir. Namun, masih terdapat perbedaan gender dalam berbagai aspek kehidupan, seperti akses pendidikan. Meskipun banyak orang yang sekarang sadar akan kesetaraan gender dalam pendidikan, tidak dapat disangkal bahwa diskriminasi masih ada di beberapa komunitas.Â
Masyarakat yang berasal dari keluarga miskin terus percaya bahwa perempuan tidak pantas mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Mereka percaya bahwa lebih baik bagi perempuan untuk dinikahkan langsung dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, buruh pabrik, atau pekerjaan lain yang tidak memerlukan status pendidikan. Berbeda dengan laki-laki yang diberi perhatian khusus, baik dari segi pendidikan maupun realitas kehidupan. sehingga pendidikan dapat mengatasi ketidaksamaan ini dan mengubah tatanan sosial saat ini (Sulistyowati, 2021).
Untuk menciptakan hubungan yang seimbang antara pria dan wanita dalam hal akses, perlakuan, dan peluang, kesetaraan gender dalam pendidikan sangat penting. Hak atas pendidikan, hak untuk lingkungan pendidikan yang mendukung kesetaraan gender, dan hak untuk mendapatkan manfaat dari hasil pendidikan yang mendorong tercapainya keadilan adalah tiga komponen penting yang dapat mendukung kesetaraan gender. Pendidikan sangat penting untuk mewujudkan kesetaraan gender dan menciptakan masa depan yang adil bagi semua orang. Pendidikan memiliki kekuatan besar untuk mengubah cara orang berpikir, menghapus stereotip gender, dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua dalam upaya memerangi perlakuan yang tidak adil atau berbeda terhadap individu atau kelompok tertentu berdasarkan gender dan membangun masyarakat yang menghargai perbedaan.
Sulistyowati (2021) menjelaskan ketidaksetaraan gender juga memiliki efek negatif dalam sektor pendidikan. Salah satu efek buruknya adalah perbedaan dalam akses pendidikan dan pandangan sosial yang menekankan peran perempuan. Sebagai hasilnya, perempuan memiliki peluang yang terbatas untuk berkembang secara akademis, sehingga menghambat ambisi dan kemampuan mereka untuk mencapai potensi maksimal di berbagai bidang studi, dapat kita ambil contoh dalam dunia perkuliahan .
Dalam organisasi yang ada di kampus seperti pada tingkat HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) biasanya dalam pembagian tugas perempuan cenderung diberikan tugas sebagai seksi konsumsi yang bertugas untuk memasak dan menyiapkan makanan dalam suatu acara. Untuk anggota laki-laki biasanya tugaskan untuk mengurus logistik yang berkaitan dengan aktivitas fisik yang dianggap berat. Mayoritas orang beranggapan pembagian tugas ini merupakan sesuatu yang adil, karena konsep adil tidak berarti sama melainkan menempatkan sesuatu sesuai tempat atau porsinya.Â
Akan tetapi, pada kenyataanya hal-hal seperti ini malah melahirkan pemikiran bahwa perempuan memang lemah dan tidak sekuat dan cekatan seperti laki-laki baik dalam segi fisik maupun mental. Oleh karena itu, peristiwa ini menekankan pentingnya mendorong kesetaraan gender dalam pendidikan dengan memberikan kesempatan yang setara bagi laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang mendukung pengembangan pribadi secara maksimal (Trisnawati & Widiansyah, 2022).
Kesetaraan gender pada bidang pendidikan dapat diwujudkan melalui partisipasi aktif mahasiswa dalam memperjuangkan hak-hak para wanita dan mendukung kesetaraan gender. Misalnya dalam organisasi mahasiswa dikampus, ketua dari beberapa organisasi tersebut merupakan seorang perempuan, dalam berorganisasi tidak ada aturan bahwa ketua harus laki-laki karena laki-laki dianggap lebih mampu. Namun, perlu diperhatikan bahwa kemampuan pemimpin tidak didasarkan pada stereotip gender, tetapi pada kemampuan individu tersebut, sehingga di sinilah kesetaraan gender diwujudkan (Jiwanda DL, 2023).