Mohon tunggu...
Rahmatullah Usman
Rahmatullah Usman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengajar Di Jakfi Nusantara

Membacalah dan Menulis, engkau akan menemukan diriMu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Subjek, Indentitas, dan Psikologi Perempuan

26 Mei 2024   19:07 Diperbarui: 26 Mei 2024   19:18 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh karena itu, dari paparan Bautler terhadap jenis kelamin yang direproduksi oleh wacana kultural dalam pembentukannya merupakan proses yang muncul akibat pemaksaan norma-norma yang ada dalam konstruksi sosial. Jadi sifat dan karakteristik tubuh perempuan dan psikologinya merupakan unsur-unsur wacana yang dipaksakan oleh aturan-aturan kultural. Jadi adakah yang otentik pada diri (subjek) dan gender dalam pandangan Bautler? Tentunya tidak, baik itu subjektivitas, identitas dan gender dalam laki-laki maupun perempuan tidak memiliki otentisitas pada dirinya dan relasi gender. Sebab semuanya dibentuk oleh produksi wacana kultural.

Pandnagan terhadap psikologis juga dipengaruhi oleh pasikoanalisis Lacanian. Naman, dampaknya  dalam analisis tersebut, mengarahkan aktor yang dibicarakan yakni, perempuan menjadi  subjek yang pasif. Sehingga perempuan dilihat sebagai subjek yang diam, membiarkan dirinya ditafsirkan secara psikologis. Dan mengarahkan aktor laki-laki sebagai yang maskulin dengan kecenderungan sifat menguasai. Itu diterangkan dalam analisis terhadap perbedan seksualitas oleh Laura Mulvey [19], ia melakukan studi tentang sinematik terorganisasi yang dipengaruhi oleh Lacanian.  Prosedur sinematik terorganisir layaknya bahasa berdasarkan kode-kode dan ketentuan patrialkal, dimana maskulin 'dikuatkan' melalui tindakan melihat, sedangkan feminitas dilemahkan dengan menjadi objek pasif yang dilihat.

Dalam penggambaran Mulvey, terdapat relasi kuasa terhadap simbolik dan patrialkal untuk menyasar alam bawa sadar yang dipinjam oleh metode psikoanalisis. Sophia Pocha menuturkan [20] "Esai yang ditulis Mulvey sangat penting karena menawarkan sebuah kerangka analitik yang mengungkapkan hubungan-hubungan kekuasaan dalam gambaran patriarkal. Psikoanalisis menyediakan sebuah metode yang jelas untuk menganalisis bahasa di alam bawah sadar". Persoalannya dalam studi ini, Mulvey menggunakan cara pandangan hanya sebagai maskulin. Bukan keduanya, artinya metode tersebut dilihat dari kacamata maskulin bagaimana ia sebagai subjek dan feminin sebagai objek (pasif).

Sehingga ada kecenderungan bias dalam cara ini dengan memusatkan satu sisi pandangan hanya kepada maskulinitas, sehingga tampak bahwa secara psikologis perempuan terlihat objek yang pasif  dan lemah. Oleh karena itu, kehidupan perempuan dilihat dari secara psikologis cenderung lemah, tak berdaya. Metode psikoanalis memang tampak melihat perempuan sebagai yang bias, dalam ungkapan Ester [21]"Kalaupun teori psikologi didasarkan pada kehidupan perempuan, sampelnya selalu perempuan menderita neurotik".

Dalam psikoanalis Lacanian, kedua gender bisa dilihat posisi sebagai maskulin. Alasannya kedua gender laki-laki dan perempuan tidak memiliki phallus. Phallus dalam pengertian Lacan [22]  merupakan penanda kekurangan dan bukan sebagai organ tubuh. Namun berbeda dengan hasil penelitian psikologis oleh Edwar Clarke [22]  yang menghasilkan penelitiannya tentang  ketidakmampuan anak perempuan dalam belajar, malahan menyuruhnya untuk lebih banyak beristirahat. Pasalnya, ia beranggapan bahwa hal tersebut akan membahayakan fungsi otaknya jika melakukan tugas-tugas sekolah. Ini karena sistem reproduksi perempuan yang lebih rumit.

Tampak jelas kecenderungan untuk melihat perempuan sebagai objek yang pasif dan determinisme biologis dalam hal menentukan pilihannya dan sikap praktisnya. Lebih dari itu, melihat indentitas jenis kelamin pun telah menjadi konstruksi bahasa dan sosial budaya yang tidak memiliki kepastian, yang berkonsekuensi sulit untuk menetapkan keadilan pada perempuan dalam relasi gender. Seperti yang ungkapkan  oleh Butler terdahulu bahwa indentitas performatif pada diri jenis kelamin bisa diubah, dan sikap yang kita tangkap pada jenis kelamin itu dikarena terus mengalami performatif.

Yang lebih nyata lagi ketika Freud mengambil kesimpulan yang semena-mena terhadap kasus pasiennya yang bernama Dora [23]. Ia memaksakan kehendaknya dan tafsirannya secara kesan tanpa melakukan studi yang mendalam. Secara terapi psikologis, Freud menuduh Dora cemburu terhadap paca baru ayahnya, sehingga seolah-olah yang diterapi itu adalah ayahnya. Sebab Freud mengukuhkan Dora sebagai objek dan ayahnya sebagai subjek yang diwakili olehnya. Tafsiran Freud seakan memojokkan Dora yang tak terima kekasih ayahnya, dan lebih tidak menyenangkan lagi ketika Dora tidak hadari dalam beberapa bulan untuk mengikuti terapinya Freud. Dan ternyata, Freud menafsirkan hal tersebut sebagai negatif.

Dora [24]dinyatakan oleh Freud sebagai ingin membalas dendam terhadap semua laki-laki dengan asumsi menolak Freud dan ia juga menganggap Dora mengalami keterkaitan terhadap sesama jenis, yaitu kekasih ayahnya. Asumsi-asumsi psikoanalis lebih menekankan perempuan sebagai sumber masalah terhadap relasi gender dengan hasil yang mereka temukan dalam penelitianya yang cenderung mengambil posisi sebagai sumber otoritatif, yang mengarahkan perempuan sebagai objek yang bisa dijelaskan sesuka hati mereka.

Catatan psikologi :
1, dalam perdebatan ini terlihat bahwa masih menjadi keraguan apakah identitas dan subketivitas merupakan hal yang esensisal atau tidak. Lihat Chris Barker, Cultural Studies, (Yogyakarata, Bentang Pustaka, 2005), hlm. 217-218.
2. Cartesian adalah istilah untuk menandai pemikiran subjektivitas mutlak atas diri sebagai ukuran kebenaran yang dipopulerkan oleh filsuf Descartes, yang dianggap sebagai bapak filsafat modern.
3. Lihat Chris Barker, Cultural Studies, (Yogyakarata, Bentang Pustaka, 2005), hlm. 217.
4. Ibid.
6. Ibid., hlm. 218.
7. Perdebatan itu tampak nyata dalam wacana esensisalis dan antiesensialis perihal apakah subjektivitas merupakan hal yang esensi pada diri (tidak berubah) atau hanya produk sosial-kultural (tidak pasti).
8. Ibid., hlm. 219.
9. Ibid.
10.Ibid.
11.Ibid.
12. Ibid., hlm. 227.
13. Ibid., hlm. 227-228.
14. Ibid., hlm. 229.
15. ibid., hlm. 231.
16. Foucault dengan gagasan geneaologi kekuasaan membuka jalan unutk melihat bagaimana kekuasan itu dientuk dan direproduksi oleh wacana, termaksud pembentukan subjek diri.
17. Lihat Chris Barker, Cultural Studies, (Yogyakarata, Bentang Pustaka, 2005), hlm. 245.
18. ibid.
19. Laura Mulvey yang dipengaruhi oleh psikoanalisis Lacanian, mencoba melakukan studi perbedaan sesksualitas pria dan wanitas melalui 'sinematik terorganisir', lihat: Sarah Gamble,  Femninisme & Postfemnisme, (Yogyakarta, Jalasutra, 2010), hlm. 71.
20. Ester Lianawati, Ada Serigala Betina Dalam Diri Setiap Perempua, (Yogyakarta, EA Boks, 2020), hlm. 4.
21. lihat: Sarah Gamble,  Femninisme & Postfemnisme, (Yogyakarta, Jalasutra, 2010), hlm. 71.
22.  Ester Lianawati, Ada Serigala Betina Dalam Diri Setiap Perempua, (Yogyakarta, EA Boks, 2020), hlm. 5-6.
23. Ibid., hlm. 20.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun