Mohon tunggu...
Rahmatullah Usman
Rahmatullah Usman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengajar Di Jakfi Nusantara

Membacalah dan Menulis, engkau akan menemukan diriMu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Subjek, Indentitas, dan Psikologi Perempuan

26 Mei 2024   19:07 Diperbarui: 26 Mei 2024   19:18 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal tersebut, menandakan bahwa indentitas bersifat elastis  dan lentur yang diproduksi oleh sosial-kultural yang ada. Sehingga kelenturan tersebut, menandai identitas bukanlah yang melekat secara esensial pada diri kita, sehingga tidak bersifat mutlak. Konsekuensinya, identitas tidak bisa ditentutakan dan bersifat relatif pada sebjek/individu dan sosial. Antiesensialisme berpaham bahwa, kata indentitas tidak mengacu pada kualitas esensial maupun universal, sebab "bahasa menciptakan" bukan "menemukan" [10]. Oleh karena itu, produk kultural yang menciptakan identitas melalui medium bahasa kultural di setiap tempat. Sehingga, bahasa yang menciptakan identitas.

Dalam pengertian yang lebih jauh, antiensialisme mengatakan bahwa identitas bukanlah suatu benda, melainkan gambaran dalam bahasa. Identitas adalah ciptaan wacana yang bisa berubah makna seturut waktu, tempat, dan pengguna [11]. Artinya,  bahasa yang menciptakan gambaran itu dalam pemaknaan kultural wacana. makan dan bahasa yang tidak tetap dalam kultural, sehingga dapat berubah seiring waktu dan tempat dimana makna dan bahasa bisa merubah indentitas.

Pandangan Shotter [12] menyatakan bahwa, bahasa bukanlah cermin yang memantulkan dunia objek yang independen (kenyataan), melainkan sumber yang "memberi bentuk" pada kita dan dunia kita melalui arus percakapan dan praktik sehari-hari dan tak pasti dan kacau. Dari medium bahasa, tidak mencerminkan dunia (realitas) sehingga indentitas tidak menentu dan pasti. Bahasa tidak mencerminkan apa yang menjadi objek pembicaraan pada dunia realitas, namun bahasa memberikan bentuknya sendiri melalui percakapan kita sehari-hari.

Dalam penekanannya,  bahwa bahasa tidak mengacu pada yang esensial karena bahasa bukanlah acuan yang memberikan kita pengetahuan mengenai dunia kenyataan. Oleh karena itu, klaim identitas sebagai yang esensial pada diri kita bukanlah suatu kenyataan. Identitas tidak lah pasti, kekal melainkan produk kultural-bahasa dari percakapan budaya. Barker menyatakan [13] "Gagasan bahwa identitas merupakan ciptaan wacana didasari oleh pandangan tentang bahasa yang mengatakan bahwa tidak ada esensi yang diacu oleh bahasa dan oleh karena itu tidak ada identitas yang bersifat esesnsial". Dengan demikian representasi tidak menggambarkan dunia tetapi menyusun dunia untuk kita.

Oleh karena itu, bahasa menciptakan aku sebagai representasi. Aku yang diciptakan bahasa melalui representasi dalam bentuk susunan, aku yang digambarkan oleh bahasa sehingga aku menjadi eksis (ada). Dalam eksistensi sebagai aku, digambarkan oleh bahasa -bahasa kultural sehingga aku mengada karena bahasa dan bukan lagi sebagaimana digtum yang terkenal "aku berpikir karena itu aku ada" menjadi runtuh oleh representasi bahasa. Ini lah yang mengindikasikan bahwa subjektivitas dan identitas menjadi tidak dimiliki sepenuhnya, dalam pengertian nonesensial.

"Orang tidak dapat memiliki identitas. Lebih tepat dikatakan jika orang disusun melalui bahasa sebagai rangkaian-rangkaian wacana. Bahasa tidak mengekspresikan diri sejati yang telah ada, tetapi membuat diri mengada", tutur Batler [14]. Pendapat ini sangat membedakan dari pandangan esensialisme yang mengukuhkan subjektivitas dan identitas sebagai sesuatu  yang kekal dan esensi bagi diri kita. Hall  mengatakan [15] versi esensialis menganggap identitas sebagai sebagai nama untuk sekumpulan "diri sejati seseorang" dan identitas dibayangkan  terbentuk oleh sejarah, leluhur, dan seperangkat sumber-sumber simbolis yang sama.

Jadi dilihat dari penjelasan Hall, proses identitas dibentuk oleh sejarah yang kemudian menjadi warisan dari identitas setelahnya melalui simbol. Sehingga identitas suatu budaya, ras dan yang lainnya  dalam individu dan masyarakat menjadi beragam ciri khasnya. Tampaknya Foucault [16] mempengaruhi pemikiran antiesensialisme terhadap pembentukan subjek oleh bahasa. Dalam genealogi kekuasaan yang digagas oleh Foucault mengenai pembetukan kekuasaan melalui reproduksi wacana. Baginya, subjek diri dibentuk oleh wacana, baik dalam sikap praktik maupun pemikiran. Tidak ada subjek dan kekuasaan yang diluar dari wacana.

B.II. Aspek Biologis dan Psikologi Perempuan

Dalam perdebatan antiesensialisme dan esensialisme yang telah kita bahas di bagian sebelumnya tentang subjektivitas dan identitas, yang berkonsekuensi mengarah kepada perkembangan studi biologis dan psikologis mengenai jenis kelamin/seks dan gender. Muncul adagium yang memperdebatkan aspek biologis/tubuh perempuan yang merupakan produk wacana/bahasa yang tidak memliki indentitas yang pasti, yang diciptakan oleh produk kultural. Hal yang sama dengan psikologi perempuan, karakter sifat dan kecenderungan-kecenderungannya, merupakan produk kultural. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan konstruksi bahasa kultural.

"Dan lagi secara prinsip kita tidak bisa mengakses kebenaran biologis tanpa melalui wacana kultural. Semua pengetahuan biologi dan kepentingan bersama, pastilah terbentuk di dalam bahasa dan tunduk pada sumber-sumber wacana. tidak ada biologi yang bukan merupakan konstruksi klasifikasi yang bersifat kultural dan sosial". Tandas Barker [17. Ini membuktikan bahwa keberagaman perempuan dalam berbagai, ras, entitas, suku dan waran kulit serta kepentingan di negera yang berkembang dan maju memiliki muatan yang berbeda. Sehingga pola tersebut dibentuk oleh wacana dan bahasa kultural-sosial pada wilayah masing-masing.

Sehingga pembentukan biologis/tubuh tidak bisa dilepaskan oleh wacana yang ada, sebab pembentukan tubuh biologis sangat bergantung pada wacana yang membentuknya. Singkatnya, determinisme tubuh, cara mengetahui dan bertindak atas dasar wacana yang menguasainya. Sehingga Butler [18] mengatakan bahwa, jenis kelamin adalah konstruksi ideal yang dipaksakan mewujud seiring waktu. Ia bukanlah fakta gamblang atau kondisi statis tubuh, tetapi proses dimana norma-norma pengatur mewujudkan 'jenis kelamin' dan mencapai perwujudan itu melalui pengulangan paksa norma-norma tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun