Sikap Muslim dalam Perayaan Natal
Dalam setiap aktifitas orang mukmin harus berdasarkan petunjuk dan perintah Allah dan Rasulnya. Oleh karena itu apa yang di lakukan seorang mukmin tidak dapat dipisahkan dari 3 Sumber Hukum Islam yaitu Al-Quran , hadis dan Ijtihad. Contoh sholat kenapa seorang muslim sholat karena ada perintah, begitu juga dengan puasa zakat pastinya selalu berkesesuaian dengan perintah dan juga larangan dari Allah dan rasulnya yang termaktu dalam sumber hukum di maksud. Juga termasuk dalam aktifitas lain yang belum di jelaskan secara detail dalam al-quran dan hadis, sehingga ada alternatif lain sebagai panduan muslim yaitu berupa hasil ijtihad ulama. Termasuk dalam panduam bagaimana seorang muslim bersikap terhadap perayaan natal kaum Nasrani.
Dalam membahas tentang bagaimana sikap muslim terhadap perayaan Natal tidak terlepas pada isu isu terkait dengan kerukunan umat beragama yaitu Pluratitas, moderitas dan Toleransi. Maka ada baiknya kita mencoba untuk memahaminya lebih lanjut sebelum mengambil kesimpulan bagaimana seorang muslim bersikap.
Pertama tentang pluralitas; pluralitas adalah istilah zaman sekarang, tapi esensi pluralitas sudah ada dalam Al-Quran. Berbagai macam ayat telah menegaskan tentang pengakuan Islam akan beragaman, bahkan keberagaman adalah bagaian dari sunnatullah, diantaranya;
- Ayat al-Quran  Allah SWT menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam berbagai warna kulit dan bahasa.
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlainan bahasamu dan warna kulitmu. esungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui " (Qs. Al-Rum/30: 22)
- Selanjutnya dalam surat al-Hujurat (49): 13, Allah SWT juga menyebutkan penciptaan manusia ke dalam suku-suku dan bangsa-bangsa.
...
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal... (Qs. Al-Hujurat/49: 13)
- Bahkan, dengan redaksi yang lebih mempertegas eksistensi pluralisme, dalam surat al-Maidah (5): 48, Allah SWT kembali berfirman:
"...Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan..." Â Qs. Al-Maidah/5: 48)
Dari ayat di atas disimpulkan bahwa Allah menghendaki keragaman keadaan manusia, sehingga tidak ada alasan seorang muslim memusihi membenci keadaan ini, bahkan seorang muslim harus lapang dengan keadaan ini. Sebagaimana sikap yang di contohkan baginda Rasulullah SAW dalam mempergauli non muslim, dengan memberikan hak yang sama bukan membumi hanguskan mereka.
Kedua adalah isu Moderasi, atau moderat. Istilah ini adalah istilah yang baru muncul di zaman ini, tetapi secara substansi moderasi sudah di ajarkan di dalam Al-Quran dan hadis. Alla SWT berfirman dalam ayatnya : QS.al-Baqarah: 143.
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil
Al-quran menyebut kata wasathon yang mengandung pengertian sama dalam bahasa inggris yaitu moderat. Artinya pertengahan atau adil. Al-wasathiyyah didefinisikan sebagai sebuah metode berpikir, berinteraksi dan berperilaku yang didasari atas sikap tawazun (seimbang) dalam menyikapi dua keadaan. sehingga dapat ditemukan sikap yang sesuai dengan kondisi dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama dan tradisi masyarakat. Seorang muslim harus berpikir dan berperilaku moderat yang berada pada sisi tengah diantara 2 kubu yang ekstrim sehingga tidak terjebak pada salah satu kubu ekstreem.
Isu Ketiga adalah Toleransi. Toleransi adalah sikap lapang dada, dalam istilah islam adalah (tasamuh). Bahkan toleransi adalah bagian dari produk Moderasi. Itu sendiri. Bisa di bayangkan jika 2 kubu yang berbeda berhadapan secara langsung contohnya dalam hal ini adalah 2 keyakinan berbeda jika di hadapkan mengakibatkan konflik,maka jalan tengahnya adalah toleransi atau saling menghargai. Begitu juga dalam kehidupan muslim sehari-hari yang tidak terlepas dari keberadaan non muslim di lingkungannya. Maka islam membolehkan segala jenis bentuk kerjesama dengan non muslim terutama dalam aktifitas ekonomi, dan kerjasama lainyya. Tetapi Kerjasama ini di batasi oleh 2 hal yang tidak boleh terjadi. Yaitu pada wilayah akidah dan ibadah. Maka dalam hal akidah dan ibadah hanya bisa di atasi dengan sikap saling bertoleransi. Sebagai mana pendapat yang di sebutkan oleh ( Alm) K.H. Ali Musthofa Ya'qub. Mantan imam besar masjid Istiqlal yang juga seorang ahli hadis dalam salah satu bukunya.
Lalu bagaimana sikap seorang Muslim menyikapi perayaan Natal? Karena Natal yang di Yakini oleh orang Nasrani adalah perayaan atas kelahiran Tuhan Yesus. Sementara Muslim tidak meyakini Nabi Isa adalah Tuhan.
Untuk menjawab ini ada baiknya jika di sajikan beberapa pendapat Ulama tentang Natal. Terutama mengucapkan perayaan Natal kepada non muslim
Pertama Pendapat Ulama Syaikh Utsaimin berpendapat seraya mengutip dari buku Ahkam Ahlul Adz-Dzimmah karya Ibnul Qayyim bahwasanya mengucapkan selamat natal kepada orang-orang kafir dengan ucapan selamat natal atau ucapan lainnya yang berkaitan dengan perayaan agama mereka telah disepakati bahwa hukumnya haram.(fatwa-fatwa terkini) Mengucapkan selamat hari raya atau mengucapkan selamat atas puasa umat non-muslim dengan mengatakan "selamat merayakan hari ini atau hari yang diberkahi bagimu" dan sebagainya adalah haram, karena termasuk kepada perbuatan yang diharamkan sekalipun sipengucapnya terlepas dari kekufuran tetap perbuatannya termasuk kepada yang diharamkan dan setara dengan ucapan selamat atas sujudnya terhadap salib, bahkan dosanya lebih besar di sisi Allah. Menurut Syaikh Utsaimin haramnya mengucapkan selamat kepada kaum kuffar yang berhubungan dengan hari raya agama mereka itu disebabkan karena dalam hal tersebut terkandung pengakuan terhadap simbol-simbol kekufuran dan rela terhadap hal itu pada mereka. Seorang muslim diharamkan untuk rela terhadap simbol-simbol kekufuran atau mengucapkan selamat terhadap simbol-simbol tersebut dan lainnya, karena Allah sendiri tidak meridhainya, hal ini disebutkan dalam FirmanNya,(AZ-Zumar: 7).
Kedua Dalam menjawab permasalahan terkait hukum boleh atau tidaknya mengucapkan selamat hari Natal atau hari raya kepada pemeluk agama lain, Yusuf al-Qaradhawi berlandaskan pada al-Qur'an yang menjelaskan tentang ketentuan hubungan antara orang-orang Islam dan umat lain pada dua ayat dalam surah al-Mumtahanah ayat 8-9. Â Dari kandungan ayat tersebut bahwasanya Islam tidak melarang untuk berbuat baik kepada golongan non-muslim yang menerima kaum muslimin, yang tidak memusuhi, tidak menyakiti, tidak membunuh, tidak mengusir dari rumah atau tidak terang-terangan mengeluarkan mereka. Allah hanya melarang menjadikan teman orang-orang yang memerangi karena agama dan berbuat dzalim. Karenanya Yusuf al-Qaradhawi tidak melarang bagi umat Islam baik atas nama pribadi maupun lembaga mengucapkan selamat hari raya kepada non-muslim baik dengan kata-kata maupun kartu selamat yang tidak mengandung syiar-syiar ibarat agama mereka yang bertentangan dengan ajaran Islam, juga jangan sampai mengandung unsur pengakuan terhadap agama mereka, melainkan hanya ucapan tahni'ah biasa yang dikenal khalayak umum. Al-Qaradhawi juga menegaskan bahwa tidak ada larangan menerima hadiah-hadiah dari umat non-muslim beliau beralasan karena Nabi sendiri pernah menerima hadiah-hadiah dari non-muslim, seperti hadiah dari pendeta mesir, akan tetapi dengan syarat bahwa hadiah itu bukanlah sesuatu yang diharamkan oleh agama.(fatwa-fatwa Kontemporer).
Ketiga yaitu Fatwa Majlis Ulama Indonesia terkait perayaan natal.
- Fatwa Majlis Ulama tentang Keharaman Perayaan Natal Bersama tertuang pada Fatwa MUI tahun 1981.
- Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016, tentang menggunakan atribut keagamaan non-Muslim. Dalam fatwa tersebut, MUI menegaskan hukum menggunakan atribut keagamaan non-Muslim adalah haram.
Dari kedua fatwa yang sudah di keluarkan MUI secara resmi jelas bahwa mengikuti perayaan natal dan penggunaan atribut natal adalah bagian dari ibadah non muslim sehingga di haramkan. Adapun tentang Ucapan selamat natal belum ada fatwa yang berkaitan tentang itu. Â Dalam hal ini pendapat penulis adalah dalam pengucapan selamat Natal bukan mutlak bagian dari ibadah maka hukumnya tidak mutlak, tergantung pada kondisi personal dan keadaan yang mengharuskannya seperti kedudukan sebagai pemimpin atau pejabat yang harus bersikap adil kepada semua golongan.
Dari kedua fatwa yang sudah di keluarkan MUI secara resmi jelas bahwa mengikuti perayaan natal dan penggunaan atribut natal adalah bagian dari ibadah non muslim sehingga di haramkan. Adapun tentang Ucapan selamat natal belum ada fatwa yang berkaitan tentang itu. Â Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa pengucapan selamat Natal bukan mutlak bagian dari ibadah sebagaimana ikut merayakan natal bersama dan menggunakan atribut Natal, maka hukumnya tidak mutlak, tergantung pada kondisi personal dan keadaan yang mengharuskannya seperti kedudukan sebagai pemimpin atau pejabat yang harus bersikap adil kepada semua golongan. ataupun adanya kerabat dekat yang beragama kristen.
Kesimpulan yang dapat penulis sampaikan adalah
1. Sebagai Agama yang mengakui keberagaman (pluralitas) agama, setiap muslim boleh melakukan aktifitas (Kerjasama) dengan non muslim, contohnya aktifitas ekonomi social dll, yang dilarang  dalam islam adalah Kerjasama pada aktifitas yang berkaitan dengan ibadah dan akidah
2. Bentuk Toleransi (lapang dada) Islam berkaitan dengan perayaan ibadah non muslim yang utama adalah tidak boleh mengganggu perayaan agama orang lain.
3. Sebagai sikap moderat (washotiyah) dan adil atas nama kerukunan; seorang pemimpin dianjurkan mengucapkan selamat natal atau perayaan agama non muslim karena wajib mengayomi semua pihak serta mewakili umat muslim lainnya.
4. Mengikuti Natal Bersama ataupun memakai atribut Natal hukumnya haram berdasarkan fatwa MUI tahun 1981 dan 2016.
5. Seorang muslim yang taat perintah agama (soleh) jika memiliki alasan yang mengancam persaudaraan/ kerukunan tidak di larang mengucapkan selamat natal. Karena ucapannya tidak akan merusak  keyakinannya yang sudah di bangun melalui ibadah (sholat 5 waktu) dan ibadah lainnya. Karena muslim (soleh) mampu bersikap secara proporsional dan tidak berlebih-lebihan, juga mampu memahami ukuran keridhoan Allah. Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H