"Jadi?"
"Jalanilah pilihanmu, meski itu adalah pilihan yang menurutmu kekanakan. Ada banyak keputusan yang dibuat oleh manusia dengan setengah terpaksa, pada akhirnya juga bisa membuat mereka bahagia."
Maria menangis. Dinding kamarterasa bergerak menghimpit raganya, atapnya runtuh. Dunianya menjadi gelap, sesak.
Maria terpuruk. Sakit! Sejak saat itu ia tak ada lagi pertemuan dan perbincangan di antara mereka.Â
Maria bertekad melupakan Bara dan menghapus setiap kenangan! Bukan karena berhasil melupakan dan berhenti mencintai Bara, tapi ia menyadari seperti juga Bara mengakui, bahwa mereka terlalu kerdil itu memahami dan menjalani keagungan dari cinta.
***
Setelah bertahun-tahun tak bertemu. Maria menyadari bahwa tak ada jejak yang benar-benar pupus. Tapak Bara membekas begitu dalam, di teras rumah, di jalan setapak, di pematang sawah yang pernah mereka lalui, dan di setiap rintik hujan.
Maria menyadari tentang kedalaman, tentang kerinduan malam pada siang.
Di bibir pantai tempat ia berdiri saat ini, dengan mata terpejam, Maria merasakan kehadiran begitu dekat, begitu erat, bersemayan dalam jiwanya.
"Bunda, ayo pulang. Sudah mulai gelap!" Maria dikejutkan, Bara. Anaknya yang kini telah berusia enam tahun. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H