Maria yang terlalu nyaman, lupa tentang kisah yang pernah ia tulis bersama orang lain. Kisah yang ia bacakan di hadapan kedua orang tuanya, tentang laki-laki yang pernah memasangkan cincin di jari manisnya.
Maria lupa, cintanya terhadap Bara tak memiliki pijakan yang kuat. Ia gagal menjawab segala tanya yang menjadi alasan ia berpaling, sebagaimana Bara gagap saat menjawab semua pertanyaannya tentang alasan.
Siang yang perih, tak hanya menguapkan didih emosinya, tetes air mata menggenang, mencipta kubangan besar. Ia berusaha berenang menuju pinggir, tangannya menggapai-gapai tapi ia tak kuasa.
"Bara, aku salah. Aku sebenarnya telah memiliki lelaki lain, aku yang memilihnya sendiri, jauh bulan sebelum mengenalmu. Aku mengenalkan dia kepada orang tuaku." Bergetik jari-jari Maria mengetikkan pesan dan mengirimkannya kepada Bara
Tak ada balasan, meskipun pesan itu telah terkirim dan ada tanda telah dibaca.
"Bara, bantu aku menemukan solusi. Aku tak ingin menikah dengan lelaki itu?" Maria kembali mengirimkan pesan.
"Solusi apa? Kita adalah orang-orang dewasa yang sebenarnya telah memiliki pertimbangan dan keyakinan untuk memilih jalan sendiri, meski terkadang lebih sering kekanakan?" Balas Bara.
"Maksudnya?"
"Maria, kit aini terlalu kerdil. Kita kadang tak memiliki keberanian untuk sekadar berbeda dari tradisi yang dianut mayoritas Masyarakat kita, terlebih lagi melawan kehendak orang tua yang berjasa merawat hidup kita hingga dewasa!"
"Bara, aku tak mengerti!"
"Maria, aku sama sepertimu. Aku ini juga pecundang. Untuk itu dari awal aku menyadari kita barangkali satu contoh sepasang kekasih yang ditakdirkan seperti Barat dan Timur, pasangan yang tak harus bersama."