"Apa kabar engkau, Laut? Sudah lama keakraban kita remuk tercerai menjadi serpihan ingatan yang menghadirkan kesedihan. Aku merindukan gelegar samuderamu, menghempasku menjadi puing-puing yang tak berdaya di tegarnya karangmu! Apa kabar engkau, Laut?"
Hari itu, Maria berdiri di bibir pantai. Bukan untuk menikmati senja atau membiarkan dirinya rebah dalam senandung ombak dan desir angin pantai. Ia berdiri di bibir pantai, mengatupkan kelopak mata untuk merasakan hadir kekasihnya.
Gadis bertubuh ringkih itu tak pernah menikmati laut bersama Bara, sosok laki-laki yang namanya terus berkembang biak memenuhi rongga kepalanya, Namun, ia yakin alun ombak adalah getar kata-kata, desir angin adalah belai mesra sang kekasih. Maria merindukan Bara, menjelma menjadi pasir yang dipijak, menjadi angin yang membelai, menjadi gelora yang memeluk.Â
Begitu Maria menyadari bahwa laut biru mengajarkan kedalaman tanpa berisik. Ia sangat menyesal, mengapa saat masa-masa indah dulu mereka tak pernah pergi ke pantai. Bara adalah laut. Lelaki yang mengaguminya tanpa alasan.
Di suatu sore, di tengah deras hujan, Bara pernah mengutip kata-kata mukjizat Kahlil Gibran, "cinta selalu tak menyadari kedalamannya sampai saat perpisahan. Dan saat tangan laki-laki menyentuh tangan seorang Perempuan, mereka berdua telah menyentuh hati keabadian."Â
Maria tak benar-benar peduli dan tertarik memahaminya.
"Saat ini aku hanya paham dan peduli, engkau ada bersamaku. Memelukku agar tak membeku dan menghadiahiku ciuman berkali-kali setiap hendak berpisah, seakan-akan itu adalah pertemuan terakhir kita." Bisiknya.
Kini, setelah mereka tak pernah lagi bertegur sapa, benar-benar tak pernah bertemu lagi, Maria merapal kata-kata itu, memahami tentang kedalaman dan keabadian dari setiap sentuhan dan erat genggam tangan kekasihnya.
***
Beberapa tahun yang lalu.
"Kok bisa suka?" aku heran kenapa tiba-tiba dengan berani kamu menyatakan kamu menyukaiku, meski aku sadari aku juga sangat mengagumi dan tentu saja menyukaimu?" Tanya Maria