"Aku Galih kak," jawabku setengah ragu mengulurkan tangan.
"Kenapa? Kamu takut melihat penampilanku? Tak selalu orang yang berpenampilan sepertiku adalah orang jahat. Kebetulan saja, aku bernasib tak sebaik kamu. Aku harus hidup di jalanan." Ia menebak sikapku sambil berusaha meyakinkanku bahwa ia adalah orang baik-baik.
Dari caranya berbicara, aku merasakan ia sangat santun tidak seperti anak jalanan yang ku dengar, kasar dan jarang menggunakan kata kamu-aku dalam berkomunikasi.
"Panggil saja aku Boni, usiaku pasti tak jauh beda. Oh ya, kamu turun dimana?"
"Aku turun di Terminal Giwangan Yogyakarta." Jawabku
Sebentar saja, kamu sudah sangat akrab, aku tidak lagi merasakan takut, dia banyak berbagi cerita aktifitasnya yang ia sebut sebagai aktifitas anak jalanan. Dari ceritanya aku menjadi tahu, bahwa ia sesekali mencopet untuk mempertahankan hidup, tapi sekali lagi ia meyakinkanku bahwa ia tidak mungkin mencopet barang-barang yang ku bawa, menurutnya tak ada yang menarik pasti dari bawaanku selain uang, dan ia akan merasa sangat bersalah jika mengambil uang yang ku bawa, karena ia sangat menghargai setiap orang yang merantau untuk menuntut ilmu.
Aku percaya dengan setiap kata-katanya, apalagi ia bercerita tentang profesinya dengan jujur. Boni, lelaki bertato itu, kebetulan juga satu tujuan denganku, ke Yogyakarta. Pengalamannya yang telah bertahun-tahun hidup di jalan, menjadikanku nyaman dan berharap akan banyak membantuku selama perjalanan.
"Aku tidur duluan ya," ujarnya setelah dua jam lebih kami bicara banyak hal.
"Silahkan Boni, aku juga pasti sebentar lagi tertidur." Jawabku.
Suasana hening, para penumpang yang lain telah dari tadi tertidur pulas. Boni, telah pulas begitu cepat.
"Mungkin dia lelah," pikirku.