Mohon tunggu...
Rahmat Setiadi
Rahmat Setiadi Mohon Tunggu... Buruh - Karyawan swasta yang suka nulis dan nonton film

Saya suka baca-tulis dan nonton film.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tasawuf Bergerak Modern

1 Januari 2023   01:09 Diperbarui: 1 Januari 2023   01:16 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Arti tasawuf dan asal katanya diambil dari perkataan shifa', artinya suci bersih, ibarat kilat kaca. Kata lainnya berasal dari perkataan "shuf", artinya bulu binatang. Sebab, orang-orang yang memasuki tasawuf ini memakai baju dari bulu binatang, mereka benci pakaian yang indah-indah atau pakaian 'orang dunia" ini.

Dan kata lain nya diambil dari kaum "shuffah"; Segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menempatkan diri di suatu tempat di samping masjid Nabi. Ada pula yang mengatakan dari perkataan "shufanah", ialah sebangsa kayu yang mersik tumbuh di padang pasir tanah Arab.

Sebagian mengatakan bahwa perkataan "Sufi" itu bukanlah bahasa Arab, tetapi bahasa Yunani lama yang telah di-Arab-kan. Asalnya "theosofie", artinya "ilmu ke-Tuhanan", kemudian di- Arab-kan dan diucapkan dengan lidah orang Arab sehingga berubah menjadi " tasawuf ".

Dari asal usulnya, para penganut tasawuf atau orang "sufi" adalah sekumpulan orang yang menyisihkan diri dari kebanyakan orang, dengan maksud membersihkan hati, atau memperdalam penyelidikan hubungan mahluk dengan Kholik, penciptanya. Tasawuf adalah salah satu filsafat Islam yang maksud awalnya hendak zuhud dari dunia fana. Karena bukan agama, tapi suatu jalan usaha/ikhtiar (thariqoh), tasawuf mengalami perkembangan yang menerima ajaran dari luar Islam.

 Bicara tasawuf  mengingatkan kita pada kumpulan tarekat seperti Naqsyabandiyah, Syaziliah, Samaniyah, Idrisyyiah, tarekat, Haji Paloppo, tarekat Qadiriyah, Rifa'iyah, Khalwatiyah, Syadziliyah, dan Chistiyah  serta lainnya yang memiliki aturan sendiri-sendiri. Namun demikian usaha komunikasi antar tarekat telah terjalin.

Tasawuf atau Sufisme merupakan alternatif budaya, sosial, dan perwajahan Islam yang bisa masuk di dominasi berbagai corak ideologi Islam lainnya di berbagai dunia dan dapat bekerjasama dengan banyak pihak melalui sikapnya yang independen, pluralis, dan toleran terhadap agama dan kepercayaan lain.

Namun begitu dunia tasawuf telah menorehkan sejarah sebagai anti kolonialisme yang banyak berjasa dalam mengakhiri masa-masa penjajahan di banyak negara di Asia dan Afrika. Hal tersebut membuat terjadinya pendekatan-pendekatan tertentu oleh negara-negara barat sejak masa penjajahan hingga saat ini.

Konferensi Internasional Tasawuf menjadi saksi atas berbagai konferensi dan seminar yang diadakan untuk tujuan kebangkitan dan promosi warisan sufisme di dalam maupun di luar dunia Islam. Dan selama dua dekade terakhir yang paling menonjol dari konferensi dan seminar tersebut adalah:

Tahun 2001. Di Jerman  diselengarakan Konferensi-28 orientalis Jerman. Tema penelitiannya berjudul: "Persaudaraan Sufi sebagai Gerakan Sosial" dan Naqsyabandi Gerakan di Dagestan, dan Tijani di Afrika Barat, dibarengi dengan pameran gambar peringatan maulid masyarakat di Mesir. Konferensi Dunia I tentang Studi Timur Tengah ini mempresentasikan penelitian yang berjudul: Islam Modern dan Tarekat Sufi Naqsyabandi Pembaharu, dan Wali-wali Sufi dan non Sufi.

Di Mesir tahun 2001 diadakan Konferensi tentang "Tasawuf sebagai Manhaj Otentik untuk Reformasi" yang diselenggarakan oleh Imam al-Raed Imam Academy of Studies of Mysticism and Science Heritage in the Muhammadiyah Clan.

Tahun 2003 di Mesir, tarekat Shazleya mengadakan Kongres Internasional di kota Alexandria. Kongres yang berlangsung di gedung perpustakaan Alexandrina terselenggara atas kerjasama Kementerian Pariwisata Mesir,  UNESCO, dan Pemerintah Perancis melalui Kementerian Luar Negeri, Kementerian Riset Ilmiah, Pusat Penelitian dan Kajian Ilmiah Nasional, dan Perancis Institut efek Oriental, dan Dar Humaniora.

Di tahun yang sama (2003) Bulgaria,  diadakan sebuah seminar tentang Sastra Tasawuf dalam Islam. Di Denmark tahun 2004  diadakan serangkaian kuliah tentang tokoh Al-Hallaj, Ibn Arabi dan Ibn Fared. Di Maroko (2004) kelompok-kelompok sufi menyelenggarakan konferensi internasional atas dukungan Raja Mohammed VI dengan tema: Sir Chiker Meetings Global adherents to Sufism.

Di Mali (2004) diselenggarakan Kongres Dunia I bagi kelompok-kelompok sufi Afrika Barat di bawah slogan: (Mysticism; authenticity and renewed). Kemudian di Libya tahun 2005 diadakan sebuah konferensi internasional bertajuk: Sufi di Afrika, Sekarang dan Masa Depan, di bawah slogan "Bersatu untuk Memainkan Peran Tarekat dan Komunitas Tasawuf di Afrika".

Di Yordania tahun 2005 diadakan konferensi dengan tema "Hakekat Islam dan Perannya dalam Masyarakat Kontemporer", atas dukungan Raja Abdullah II. Dan tahun 2007 diselenggarakan konferensi dengan tema: "Pengaruh dan Corak Tasawuf dalam Sastra Arab", sebagai salah satu kegiatan dari gerakan Irbid sebagai kota budaya Yordania tahun 2007.

 

Gerakan Sufi sebagai Dimensi Strategis Global direkomendir oleh lembaga-lembaga kajian Amerika. Rand Foundation tahun 2003 menerbitkan studi dengan tema "Civil Democratic Islam". Tahun 2004 Nixon Center for Studies menyelenggrakan konferensi dengan tema: "Memahami sufi dan peran potensial mereka dalam kebijakan Amerika Serikat".

United States Institute of Peace tahun 2005 menerbitkan sebuah studi berjudul: Islam Politik di Afrika sub-Sahara. Tahun 2007 Rand Foundation menerbitkan sebuah studi berjudul: "Membangun Jaringan Muslim Moderat". Carnegie Foundation for Research tahun 2007 menerbitkan studi ekstensif tentang: Sufisme di Asia Tengah. Dan Rand Foundation menerbitkan sebuah penelitian berjudul: Islam Radikal di Afrika Timur" di tahun 2009

Tahun 2007 dijadikan oleh UNESCO sebagai tahun internasional bagi peringatan kedelapan abad bagi penyair sufi Jalaluddin al-Rumi (1207-1273 M) di Asia Tengah. Pada kesempatan ini, UNESCO menyelenggarakan seminar sehari penuh di kantor pusatnya di Paris, dan mengadakan pameran buku, naskah dan lukisan yang berhubungan dengan kehidupan dan karya al-Rumi.

Dalam konferensi persnya pada tanggal 8 Juni 2009, Kementrian Luar Negeri AS menyebutkan bahwa: "U.S. Ambassadors Fund" for the maintenance of culture" akan memberikan hibah untuk beberapa proyek penting yaitu untuk merestorasi sejumlah monumen sejarah dan budaya, termasuk masjid tua, kuburan-kuburan sufi yang berdiri sejak masa awal.

Dimulai dengan merestorasi kuburan Hafiz Muhammad Hayat yang dibangun pada abad ke XII di Gujarat dan kuburan Hazrat Shah Shams Tabriz dibangun pada abad XIII di Multan. Keduanya merupakan situs penting di Pakistan. Sebelumnya "U.S. Ambassadors Fund for the maintenance of culture" telah memberikan bantuan untuk beberapa proyek restorasi kuburan dan situs-situs suci lainnya di Pakistan.

Lembaga finansial utama Amerika yang mendanai proyek demokratisasi di dunia: 

1. Middle East Partnership Initiative (MEPI)  merupakan program yang diluncurkan oleh Kementrian Luar Negeri AS bertujuan untuk mendorong reformasi di negara-negara Arab melalui promosi masyarakat sipil Arab, dan untuk mendorong usaha kecil, memperluas partisipasi politik, dan mempromosikan hak-hak perempuan.

2. Fund and the Ministry of State for Human Rights Democracy (HRDF), yaitu sebuah lembaga finansial untuk memajukan hak asasi .manusia di negara-negara mayoritas Muslim. 

3. National Endowment for Democracy (NED) untuk program demokratisasi masyarakat Muslim. Dan ...

4. U.S. Ambassadors Fund, yaitu program Kementerian Luar Negeri AS. 

Tentu saja proyek-proyek ini semuanya dibawah kontrol kebijakan AS dan tunduk pada aturan yang telah ditetapkan dalam mendanai kelompok-kelompok yang telah diseleksi pada setiap negara, yaitu kelompok-kelompok yang siap terlibat dalam proyek AS di bawah slogan "demokratisasi".

Di dalam laporan Kongres AS berjudul "Kebijakan Amerika Serikat untuk mempromosikan demokrasi di Timur Tengah: dilema Islam", disebutkan bahwa Kongres juga mengalokasikan dana untuk program demokratisasi regional dan proyek bantuan asing. Kongres dapat menentukan penggunaan dana tersebut untuk proyek-proyek tertentu, atau diarahkan ke kelompok tertentu.

Dalam sejarah Islam di kepulauan Melayu Nusantara, tasawuf bukanlah fenomena baru dan asing. Sejak awal pesatnya perkembangan Islam dan perlembagaannya pada abad ke-13-15 M, komunitas-komunitas Islam telah mengenal tasawuf sebagai bangunan spiritualitas Islam yang kaya dengan kearifan dan amalan-amalan yang dapat mengarahkan para penuntut ilmu suluk menuju pemahaman yang mendalam tentang tauhid .

Ahli-ahli sejarah Islam telah menemukan bukti bahwa tidak sedikit organisasi-organisasi perdagangan Islam (ta`ifa) pada abad-abad tersebut memiliki kelanjutan dengan tarekat-tarekat sufi tertentu. Dengan memanfaatkan jaringan-jaringan pendidikan, intelektual, dan keagamaan yang tersedia di dunia Islam seperti Istanbul, Damaskus, Baghdad, Makkah, Yaman, Samarkand, Bukhara, Nisyapur, Herat, Delhi, Gujarat, Bengala, Samudra Pasai, Malaka, dan lain sebagainya mereka tidak memperoleh kesukaran dalam menyebarkan agama Islam.

Seiring berkembangnya Islam sendiri di Indonesia yang dimulai di kota, begitu pula dengan tasawuf. Setelah itu ia baru merembet ke daerah pinggiran atau perkotaan, kemudian ke pedalaman pedalaman dan pedalaman. Sufi-sufi awal seperti Hasan Basri dan Rabiah Al-Adawiyah memulai kegiatannya di Basra, kota yang terletak di sebelah selatan Irak yang pada abad ke-8-10 M yang merupakan pusat kebudayaan.

Rumi hidup dan mendirikan Tarekat Maulawiyah di Konya, kota penting di Anatolia pada abad ke-11-17 M. Hamzah Fansuri lahir dan besar di Barus, kota dagang di pantai barat Sumatera yang merupakan pelabuhan regional pada abad ke-13-17 M. Sunan Bonang, seorang dari wali sanga terkemuka, melarang ilmu suluk di Tuban yang pada abad ke-14-17 M merupakan kota dagang besar di Jawa Timur.

Syamsudin Pasai adalah penganjur tasawuf wujudiah dan pendiri madzab Martabat Tujuh yang terkenal. Dia seorang mufti dan juga perdana menteri pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) di kesultanan Aceh Darussalam.

Bangkitnya kembali gairah terhadap tasawuf di Indonesia bermula di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung pada akhir 1970-an, dan terutama sekali dalam dekade 1980-an. Pelopornya adalah para sastrawan, seniman, sarjana ilmu agama, dan cendekiawan. Pendek kata kaum terpelajar yang tidak sedikit dari mereka adalah dokter, pengusaha, manajer, sarjana ekonomi, ilmu politik, falsafah, dan ilmuwan.

Fenomena pada akhir 1970-an dan awal 1980-an yang menandakan bangkitnya kembali gairah dan minat terhadap tasawuf. Pertama, mulai menerbitkan buku tentang tasawuf dan relevansinya.

Buku-buku ini sebagian besar merupakan terjemahan karangan para sarjana modern seperti Syed Hossein Nasr, AJ Arberry, Reynold Nicholson, Frithjof Schuon, Martin Lings, Syed M Naquib Al-Attas, Roger Garaudy, Annemarie Schimmel, Idries Shah dan lain-lain. Sebagian lagi terjemahan karya sufi klasik seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Jalaluddin Rumi, Ali Utsman Al-Hujwiri, Muhammad Iqbal, dan lain-lain.

Penerbit-penerbit awal yang berjasa antara lain Pustaka Salman dan Mizan di Bandung, Pustaka Firdaus, Panji Masyarakat dan Bulan Bintang di Jakarta. Penerjemahnya adalah sarjana-sarjana yang baru kembali dari Amerika. Kita tahu pada awal tahun 1970-an minat mempelajari bentuk-bentuk spiritualisme Timur sangat marak di Barat.

Ledakan penerbitan buku-buku kearifan Timur termasuk tasawuf yang menyertai bangkitkan gairah. Survei yang dibuat IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) tahun 1989 menyebutkan bahwa di antara buku yang paling laris ketika itu ialah buku-buku tasawuf. Buku Sastra Sufi: Sebuah Antologi yang saya karang dan diterbitkan pada tahun 1985 mengalami cetak ulang sampai 7 kali.

Mengikuti fenomena ini perbincangan tentang tasawuf dan sastra sufistik semakin ramai pada tahun 1980-an. Puncaknya ialah pada saat Festival Istiqlal diselenggrakan tahun 1991 dan 1995. Dalam festival budaya Islam terbesar yang pernah diselenggarakan di Indonesia ini, berbagai bentuk ekspresi seni yang lahir dari tradisi tasawuf dipergelarkan, termasuk pameran akbar seni rupa. Di antara ekspresi seni daerah yang berasal dari kreativitas para sufi ialah Tari Saman dan Seudati dari Aceh, Rebana Biang dan Rafa`i dari Banten, Tari Zapin Melayu, Pantil dan Sintung dari Madura, dan lain sebagainya.

Sastra dan lembaran-lebaran budaya di surat kabar ibu kota seperti Harian Berita Buana dan Pelita hadir di garis depan dalam upaya mereka memperkenalkan relevansi tasawuf dan kesusastraan sufi. Nomor-nomor awal majalah dan jurnal kebudayaan Islam terkemuka seperti Ulumul Qur'an juga menampilkan perbincangan tentang tasawuf dan relevansinya.

Pada akhir tahun 1980-an, pengajian-pengajian tasawuf mulai marak dilakukan di kota-kota besar seperti Jakarta. Misalnya yang diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina. Ini tidak mengherankan karena orang-orang yang berperan dalam pengajian tersebut sebagiannya adalah para redaktur atau editor Ullumul Qur'an.

Kelompok-kelompok uzlah dan mahasiswa juga memainkan peranan penting dalam memperkenalkan relevansi tasawuf. Terutama kelompok uzlah yang muncul di kampus masjid-masjid seperti Salman ITB, Salahuddin UGM, dan Giffari IPB (Institut Pertanian Bogor). Organisasi pelatihan-pelatihan mahasiswa pada akhir 1980an juga tidak jarang diisi dengan bahan-bahan yang berkaitan dengan ajaran sufi.

Di luar itu juga marak pengajian-pengajian seperti Pengajian Taqwa yang diselenggarakan di sudut-sudut pinggiran ibu kota. Tarekat-tarekat sufi seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah, Tijaniyah, dan lain-lain yang dahulunya tersembunyi di kawasan-kawasan pinggiran kemudian merengsek keluar dan menampakkan kegiatannya di pusat kota.

Untuk memahami fenomena ini kita harus kembali melihat situasi tahun 1980-an. Sejauh menyangkut gerakan uzlah di kalangan mahasiswa tidak sukar dijawab. Sebagai dampak dari demo-demo anti pemerintah yang gencar dilakukan mahasiswa, pemerintah ketika itu melarang kampus menjadi ajang kegiatan. Organisasi ekstra universiter seperti HMI, PMKRI, GMNI, IMM, PMII dan lain-lain dihalau keluar dari kampus-kampus besar.

Kebijakan depolitisasi ini dijawab oleh mahasiswa-mahasiswa Islam di beberapa kampus terkemuka seperti ITB, IPB, UGM, dan UI dengan menyelenggarakan kegiatan pengajian dan pembelajaran secara sembunyi-sembunyi dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Tujuannya ialah menyusun strategi baru perjuangan dan sekaligus memperdalam penghayatan agama.

Namun secara umum bangkitnya kembali gairah terhadap tasawuf di kalangan terpelajar pada tahun 1980-an sangat terkait dengan kehampaan spiritual yang mulai dirasakan di tengah pesatnya pembangunan ekonomi. ( Pen; Pada tulisan selanjutnya akan lebih diterangkan lagi dengan perkembangan pembangunan terkini).

Masyarakat kota, yang sebagian besarnya adalah orang-orang yang hijrah dari daerah, mulai merasakan dirinya berada di tengah budaya baru yang asing, terutama sistem nilai, pola hidup dan pergaulannya. Di tengah pesatnya peradaban materialistik yang tumbuh di sekitarnya, mereka merasakan hilangnya dimensi kerohanian yang sangat penting dalam memelihara kehidupan.

Bersambung ...

Sumber tulisan:

Buku, Tasawuf Modern ( Buya Hamka )

https://belajarislam.com/2013/09/penetrasi-amerika-melalui-tarekat-tarekat-sufi-2/

https://m.republika.co.id/berita/lnz1ti/tasawuf-indonesia-dulu-dan-sekarang

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun