Akhir pekan pulang kampung? Ya, jika memungkinkan jarak yang ditempuh tidak menyebabkan kelelahan yang berlebihan, hingga bisa kembali di Minggu sore dan hari Senin bisa beraktivitas dengan tubuh yang fit. Tapi bagaimana keadaan kampung halaman yang tidak jauh dari kota besar?
Dan ternyata tidak hanya saya saja ketika pulang kampung terbesit sebuah tantangan, "Kampungku tidak seperti dulu lagi".Â
Jika banyak yang berpikiran seperti itu berarti pada siapa nasib kampung diserahkan? Sebuah tantangan, toh!Â
Lalu dalam obrolan keluarga, teman, tetangga, akan muncul pula ungkapan tersebut. Seperti labirin, berkutat pada cerita yang kesemuanya berujung pada pintu masuk dan kesulitan menuju jalan keluar.Â
Tentu saja tidak ada yang mau dan bisa disalahkan atas perkembangan yang terjadi. Si A bilang gara-gara perantau, B bilang gara-gara kemajuan berpikir, dan E bilang daripada membangun tempat orang lain lebih baik di tempat sendiri.
Padahal dari semua pendapat, merindukan keadaan kampung halamannya seperti dulu yang asri, tidak bising, halaman luas, dan segala ciri identik dengan kehijauan pada umumnya. Suasana pedesaan menjadi hal yang dirindukan.
Alih-alih dalam pusaran labirin, kita tidak tahu bagaimana bisa masuk, yang kita harapkan dari keadaan adalah pintu keluar. Yang terjadi kita malah mencari kampung lainnya. Dan kampung tersebut lambat laun seperti kampung yang kita tinggalkan.Â
Begitu berharganya nilai keasrian, penghijauan, jarak pandang, panorama, dan itu semua menjadi kebutuhan pada saatnya. Maka jangan heran, dimana-mana muncul kampung-kampung yang mematok harga untuk dibayar dalam rangka memenuhi kebutuhan, rindu kampung halaman.
Berbeda dengan obyek wisata yang menawarkan perkembangan jaman, pemenuhan kebutuhan rindu ini berada semakin jauh. Obyek wisata yang terdekat mungkin bertajuk kampung, tapi keramaian dan "warganya" tetap terasa bukan seperti yang diinginkan.Â
Kampung lainnya yang dituju berada di tempat yang berbeda bahasa, berbeda budaya, dan telah dihuni oleh orang yang berusaha menjaganya agar tetap asri, hijau, dan panoramanya tidak dirusak oleh para pendatang.
Akan aneh jika kita kemudian mengatakan bahwa mereka kampungan, wong ndeso, tidak mengikuti kebanyakan orang modern. Bisa jadi karena kita sudah mengeluarkan biaya untuk ke sana hingga kita berani berkata demikian.
Perkampungan, suasana pedesaan, keadaan lingkungan yang minim tembok semen, bebas dari polusi-polusi menjadi tujuan untuk kembali. Bernostalgia pada alam, bukan pada buatan manusia.
Kita kerap ingin menjadi turis, meski di kampung halaman sendiri. Namun kita juga tidak jarang berlagak  menjadi tuan rumah di kampung orang, hanya karena kantong kita.Â
Bukan rahasia lagi bahwa orang kampung juga memiliki keinginan-keinginan yang disaksikannya melalui media terutama media elektronik. Mata menjadi sumber utama perubahan persepsi.Â
Sudah semestinya wajah-wajah kampung tidak ditampilkan dengan kesan kampungan. Terlebih wajah lokal kerap terpinggirkan oleh wajah-wajah blasteran dengan dalih cameraface, good looking, padahal tepatnya wajah yang menjual, muka komersial, yang merusak wajah pedesaan.Â
Banyak perkampungan tidak lagi bernuansa pedesaan, muka kampung berlagak perkotaan. Masih berstatus pemerintahan desa tapi kerapatan penduduk dan tata ruang seperti pemukiman kumuh di kota metropolitan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H