Mohon tunggu...
Rahmat Sahid
Rahmat Sahid Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis

Wong Kebumen, ceker nang Jakarta, kandang nang Bekasi, Penulis Buku Sisi Lain pak Taufiq & Bu Mega, Penulis Buku Ensiklopedia Keislaman Bung Karno

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Maha Benar" dan "Maha Suci" KPK dengan Segala "Manuver Politiknya"

13 September 2019   23:10 Diperbarui: 15 September 2019   19:34 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Massa membawa poster berisi penolakan ada orang asing di KPK) IDN Times/Aldzah Fatimah

Dalam era demokrasi seperti sekarang, suatu kelompok atau lembaga, tentu tidak bisa merepresentasikan sebagai wakil dari kebenaran. Hanya KPK yang selalu benar karena dicitrakan sebagai lembaga suci yang seolah di dalamnya diisi para malaikat.

Dalam era transparansi sekarang, semua harus mau terbuka pada kritik publik dan menyadari bahwa betapapun selama ini dicitrakan suci tetapi ada hal yang perlu dibenahi. 

Hanya KPK yang tak perlu mendapatkan asupan kritik dan pembenahan karena selama ini memang dicitrakan pemegang hegemoni transparansi dan keterbukaan.

Dalam era penegakan hukum yang harus tajam ke semua lini dan semua sisi, semua lembaga tidak boleh mengedepankan ego sektoral dan mengorbankan sinergisitas. Hanya KPK yang boleh melangkah sesukanya karena memang lembaga itu dicitrakan bersih dari kesalahan. 

Dalam era keniscayaan kolaborasi dalam hal reformasi birokrasi, semua lembaga tak boleh jadi singgasana suci yang menutup rapat ketika ada upaya membenahi. Hanya KPK yang dengan segala tindakannya tak boleh dipersoalkan karena memang dicitrakan simbol kesempurnaan.

Dalam era reformasi yang masyarakat punya harapan ada perbaikan di semua lini, semua lembaga harus mau kolaborasi menata dan menempatkan diri bahwa semua bisa jadi energi asalkan untuk kepentingan negeri. 

Hanya KPK yang boleh jalan sendiri dengan jargon kebenaran yang dicitrakan hanya milik sendiri. Itulah KPK kita, lembaga yang betapapun sudah banyak mengukir prestasi tetapi juga ada sekial lubang menganga yang harus dibenahi.

"Maha benar" KPK dengan segala argumentasinya karena siapapun pengkritik akan dicitrakan musuh pemberantasan korupsi. Itulah KPK kita, yang dalam perjalanan kinerja tidak jarang menimbulkan hiruk pikuk yang harusnya tak perlu sepanjang penegakan hukumnya dijalankan tanpa harapan tepuk tangan, karena memang di dalamnya juga diisi manusia biasa yang terkadang melayang dibuai pujian.

"Maha suci" KPK dengan berbagai manuver politiknya, karena kata-kata yang muncul dari KPK dicitrakan sebagai kenenaran sejati yang siapapun tak boleh mengkoreksinya. 

Itulah KPK kita, yang betapapun sekian banyak langkah penegakan hukumnya ada unsur politik tetapi itu semua tak bisa dikritik karena ketika sudah diputuskan KPK semua harus mengakui tak ada kesalahan meskipun setitik.

"Maha benar" KPK dengan berbagai langkah janggalnya karena betapapun tak wajar tetap akan dianggap sebagai kebenaran. Dengan label dan citra "maha benar" dan "maha suci" yang terus dikelola, siapa yang bisa menghadang ketia ia menepuk dada sambil mengatakan:

Merefisi UU KPK adalah upaya Membunuh Pemberantasan korupsi.

Pro Revisi UU KPK = Pendukung Koruptor. 

Presiden Mengkhianati Reformasi karena setujuk RUU KPK

Lolosnya Salah Satu Capim KPK adalah Kuburan Pemberantasan Korupsi

Dan masih banyal istilah lain..., yang diksinya merepresentasikan sebagai wakil kebenaran dan wakil kesucian.

Bukankah suatu kemunduran, dan juga ketidakberadaban, ketika suatu lembaga, atau siapapun itu yang dengan kepongahannya berani menepuk dada mengklaim sebagai aktor dan pelaku kebenaran?

 Tapi apa boleh dikata, dengan labelndan citra "maha benar" dan "maha suci" yang sudah didoktrin oleh kelompok mapan di dalamnya yang terusik oleh upaya perubahan dan pembenahan, maka manuver politik pun akan dengan mudah dicarikan dalilnya sehingga dicitrakan seolah itu perjuangan untuk penyelamatan.

 Sementata kalian, iya kalian, yang dengan berbagai argumentasinya, bahwa seleksi capim KPK dan juga revisi UU KPK untuk penguatan dan pembenahan, termasuk juga Presiden Jokowi,  tebalkan hati karena hantaman opini akan ditembakkan dengan narasi pengkhianai negeri dan mengubur pemberantasan korupsi. 

Hidupnya negeri ini masih jauh dari hitungan hari. Jangan lah seolah hanya soal capim KPK dan UU yang direvisi didramatisir seolah tragedi. Hidup perlu dinamika dan dialektika untuk instrospeksi. 

Jangan merasa mapan seolah kebenaran menjadi milik sendiri yang bisa dikelola dan ditafsirkan sesuka hati. 

Bukankah kita semua, baik yang pro maupun yang kontra adalah para pecinta negeri? Kalau begitu, kenapa tidak saling terbuka menerima kritik dan saling mengisi atas lubang yang masih perlu kita tutupi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun