Waktu pendaftaran calon pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur dalam Pemilukada DKI Jakarta tinggal beberapa hari lagi. Partai pemenang Pemilu Legislatif DKI Jakarta, PDI-Perjuangan hingga tulisan ini ditayangkan belum menentukan pasangan calon yang akan diusungnya dalam Pemilukada tersebut. Santer terberitakan bahwa petinggi PDI-Perjuangan masih mengkaji beberapa opsi calon Gubernur yang akan diusungnya. Diantara opsi itu, ada dua opsi yang tampaknya menjadi unggulan, yakni mengusung Ahok, sang petahana atau mengusung  Risma, Walikota Surabaya saat ini.
Khabar rencana PDI-Perjuangan hendak mengusung Risma sebagai calon DKI 1 memang sudah lama  didengungkan. Namun hingga saat ini belum ada keputusan DPP PDI Perjuangan yang menetapkan apakah Risma yang akan diusung, ataukah Ahok, ataukah justru ada calon yang lainnya. Tampaknya PDI Perjuangan baru akan menetapkan calonnya jelang detik-detik akhir dibukanya masa pendaftaran pasangan calon.Â
Terkait kemungkinan diusungnya Risma sebagai calon DKI 1 oleh PDI- Perjuangan, menurut hemat saya harus disikapi dengan sangat hati-hati oleh Risma. Mengapa demikian ? Ada beberapa alasan yang menurut saya perlu menjadi pertimbangan Risma sebelum memutuskan untuk "mengiyakan" apabila nanti benar-benar dicalonkan oleh PDI Perjuangan sebagai calon  DKI 1. Pertama, bahwa pertarungan di Jakarta jelas lebih berat dan ketat ketimbang saat dia bertarung di Surabaya untuk periode ke 2 - nya sebagai Walikota Surabaya.Â
Berat dan ketat karena level Jakarta sebagai Ibukota Negara tentu jauh diatas Surabaya yang "hanya" ibukota Provinsi (Jawa Timur). Berat dan ketat, juga dikarenakan Risma akan berhadapan dengan petahana Ahok yang harus diakui masih memiliki basis dukungan yang cukup besar dari elemen masyarakat setempat. Belum lagi kemungkinan munculnya calon-calon lain seperti Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno, Rizal Ramli dan lain-lain yang, tanpa bermaksud meremehkan reputasi dan elektabilitas Risma, jelas menjadi rival yang tidak ringan.
Kedua, bahwa Risma selaku Walikota Surabaya yang belum ada satu tahun menjalankan tugasnya pada periode kedua jabatannya, tentu akan menimbulkan keberatan dan mungkin kekecewaan di kalangan "arek-arek Suroboyo" pendukungnya dalam memenangkan kontestasi Walikota Surabaya kemarin. Keberatan dan kekecewaan warga Surabaya itu tidak boleh diremehkan, karena bila Risma benar-benar "berangkat" ke Pemilukada DKI jakarta, itu akan "menghambat" dan "menimbulkan energi negatif" bagi kemulusan jalan Risma dalam kontestasi DKI 1.  Kekecewaan dan keberatan warga Surabaya itu bahkan bukan tidak mungkin berujung pada sumpah serapah warga Surabaya kepada Risma, bahkan bisa jadi malah "nyedakne" (mendoakan yang jelek) agar Risma kalah dalam Pemilukada DKI.
Ketiga, bahwa Risma sudah barang tentu tahu dan sadar dalam Pemiukada ada dua kemungkinan hasil : menang atau kalah.  Bila Risma menang tentu tidak menjadi masalah karena memang kemenanganlah yang menjadi tujuan pencalonannya. Persoalannya adalah bila Risma kalah. Mengapa ? Karena secara politis Risma akan kehilangan dua hal sekaligus, di satu sisi gagal menjadi Gubernur DKI, sementara pada sisi lain Risma tidak lagi menjadi Walikota Surabaya.
 Ingat bahwa saat Risma memutuskan untuk mendaftar sebagai calon DKI 1, maka  sesuai UU Pemilukada Risma harus mundur dari kedudukannya sebagai Walikota Surabaya, hal ini berbeda dengan Ahok sebagai petahana yang cukup mengajukan cuti saja. Jadi bagi Risma mencalonkan diri dalam Pemilukada DKI Jakarta ibarat gambling dengan taruhan yang sangat besar : kehilangan jabatan sebagai Walikota Surabaya. Dalam konteks ini bukan semata-mata kehilangan jabatannya, melainkan harus diterjemahkan sebagai kehilangan besar warga Surabaya atas lengsernya Risma sebagai Walikota.
Keempat, ini yang terakhir namun tidak kalah pentingnya.  Bahwa sebelum memutuskan mau atau tidak untuk diusung sebagai calon Gubernur DKI  oleh PDI Perjuangan, maka Risma harus menakar dan meyakini betul sejauh mana kesungguhan dan komitmen PDI Perjuangan dalam memenangkan dia. Bahkan Risma harus memperhitungkan sungguh-sungguh seberapa besar peluang dia untuk menang. Ingat, bahwa ketika Risma maju dalam kontestasi itu sudah mengorbankan jabatan sebagai walikota Surabaya, sehingga agar pengorbanan itu tidak sia-sia maka memenangi kursi DKI 1 adalah wajib hukumnya.
 Karena itulah maka perhitungan, komitmen, kesungguhan dan ketulusan PDI Perjuangan dalam memenangkan Risma harus betul-betul diyakinkan terlebih dahulu. Tentu terasa aneh sampai disini, wong PDI Perjuangan mencalonkan Risma kok dipertanyakan kesungguhannya untuk memenangkan Risma ? Pertanyaan dan keheranan itu wajar bagi mereka yang tidak tahu dinamika dan pasang surut historis hubungan Risma dengan PDI Perjuangan, terutama seputar "perseteruan" Risma dengan Wisnu Sakti Buana, kader PDI Perjuangan yang sekarang menjadi Wakilnya sebagai Walikota Surabaya.Â
Terkait dengan hal keempat itu Risma harus betul-betul waspada dan penuh perhitungan. Mengapa demikian ? Karena ini politik, dimana politik itu hakekatnya adalah perebutan kekuasaan. Lalu apa hubungannya dengan mewaspadai dan memperhitungkan kesungguhan PDI Perjuangan ? justru disinilah simpul sensitif dan nilai strategisnya. Risma tentu tidak pernah melupakan bagaimana Wisnu Sakti Buana (saat itu masih menjadi anggota DPRD Kota Surabaya) bersama Fraksi PDI Perjuangan menginisiasi dan berupaya meng-impeach Risma dari kedudukannya sebagai Walikota, saat masih berpasangan dengan Bambang DH. Risma pasti tidak pernah melupakan serangan-serangan verbal Wisnu Sakti Buana yang mendiskreditkannya kala itu dengan target memberhentikannya dari kedudukannya sebagai Walikota, dengan harapan bila Risma berhenti maka Wisnu Sakti Buana-lah yang akan diajukan PDI Perjuangan sebagai penggantinya.Â
Nah, dalam rangka kewaspadaan dan kehati-hatian, Risma harus mengantisipasi berbagai kemungkinan intrik dan skenario politik yang berada dibalik kengototan PDI Perjuangan untuk membujuk Risma mau dicalonkan sebagai Gubernur DKI. Bisa jadi, PDI Perjuangan mencalonkan Risma semata-mata agar Wisnu Sakti Buana dapat menjadi Walikota Surabaya menggantikan posisi yang ditinggalkan Risma. Bisa jadi memang itulah tujuan utamanya, Â sedangkan kemenangan Risma di Pemilukada DKI "hanya" merupakan tujuan ke sekian.Â