Mohon tunggu...
Rahmat Hidayat
Rahmat Hidayat Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

being freelance writer, also amatir photographer.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mandiri Leadership Camp Batch 2: Sebuah Catatan yang Sempat Tertunda

9 Mei 2014   07:10 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:42 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

November 2013 lalu, saya sempat diberi kepercayaan untuk berkumpul dengan 96 pemuda-pemudi hebat dari 15 universitas di Indonesia dalam sebuah kegiatan pelatihan kepemimpinan. Mendengar namanya saja, saya sudah malas pada mulanya. Saya yang sedari kecil sangat membenci kegiatan kemiliteran sudah memikirkan hal-hal yang tidak menyenangkan jika mengikuti kegiatan seperti itu. Sebelumnya, saya sempat menolak undangan kegiatan serupa dari salah satu operator seluler kenamaan karena jadwal kegiatan yang berbenturan dengan ujian tengah semester di kampus saya. Dan saat tawaran itu datang lagi, didukung satu dua alasan, saya akhirnya menerima undangan tersebut.

Apa yang saya pikirkan sebelum mengikuti acara ini benar-benar terjadi. Dan saya sangat menyesal, pada mulanya. Akan tetapi, sedikit demi sedikit, apa yang saya bayangkan memudar. Saat saya mulai membuka hati dan pikiran. Saat saya mulai menikmati apa yang sedang saya lakukan. Percaya bahwa semua yang saya lakukan saat ini pasti memberi manfaat di masa depan, kecil atau besar. Sekarang atau nanti itu bergantung dari prasangka kita, maka berbaik sangka lah :)

Sedikit banyaknya pelajaran yang dapatkan selama mengikuti kegiatan MLC batch 2 saya bagikan dalam tulisan berikut. Semua yang saya tuliskan murni opini saya sesuai apa yang saya rasakan dan alami pada waktu itu. Tidak ada niatan sama sekali untuk meninggikan atau menjelekkan kelompok mana pun. Semoga bermanfaat.

PELAJARAN PERTAMA

Semula: Menilai sesuatu secara ‘dangkal’ -pada mulanya- dan tidak merasa mendapat apapun –pada akhirnya-

Hasil: Membuktikan bahwa kejadian tidak terjadi secara kebetulan dan menikmati prosesnya adalah cara paling baik untuk mendapatkan semua pembelajaran di baliknya

Tanggapan:

Pada mulanya, saya berpikir saya membuat pilihan yang salah dengan mengikuti acara ini, di saat deadline tugas-tugas besar berdatangan. Benar saja, saya tidak mendapatkan apa-apa di hari pertama karena terus saja berkonsentrasi dengan tugas-tugas di kampus. Akhirnya, saya berdamai dengan diri sendiri, menyadari bahwa saya bukan satu-satunya orang yang punya tugas-tugas kuliah di acara ini dan melihat semangat teman-teman lain mengikuti rangkaian acara, saya mencoba melepaskan beban itu dan saya bisa menyatu dengan acara itu. Alhasil, saya banyak mendapatkan pengalaman baru –pelajaran baru, tentu saja- di hari kedua dan seterusnya.

PELAJARAN KEDUA

Semula: Tidak mengetahui karakter masing-masing almamater

Hasil: Mengenal karakter masing-masing universitas, menerapkan strategi bagaimana menanggapinya –dengan tetap menghormati karakter mereka-

Tanggapan:

Setiap almamater memiliki karakter khasnya masing-masing. Universitas-universitas besar, seperti  ITB, UI, UGM, biasanya lebih dominan dalam segala hal. Benar saja. Tidak susah mengenali mana saja peserta dari kampus-kampus itu berdasarkan bagaimana mereka berinteraksi. UI ITB benar-benar terlihat lebih eksklusif -di mata saya-, walaupun tidak secara terang-terangan. Beberapa perwakilan UGM, sama seperti UI dan ITB, perlahan tapi pasti, menarik perhatian dengan dominan di banyak kesempatan; memancing kampus-kampus lain juga menunjukan peringainya. Karakter masing-masing kampus sangat terlintas terutama pada forum besar yang menuntut argumentasi peserta di dalamnya. UI, ITB, UGM, ITS mati-matian mempertahankan pendapatnya –juga ego-. Kampus-kampus lain tidak mau kalah, walaupun tidak ‘sengoyo’ kampus-kampus tenar itu. Menurut saya, mengenal pribadi tiap orang itu penting bagi seorang pemimpin. Pemimpin yang baik harus mengenal siapa yang akan dipimpinnya, sehingga dapat berstrategi dalam memberi perlakuan nantinya.

PELAJARAN KETIGA

Semula: Lambat membuat keputusan

Hasil: Tanggap melihat keadaan

Tanggapan:

Pada mulanya, saya adalah tipe orang yang sangat sulit untuk membuat keputusan, apalagi jika menyangkut kepentingan orang banyak. Banyak hal yang saya pertimbangkan, ini membuat saya lamban mengambil keputusan. Di sini, saya dituntut untuk berpikir sistematis, juga taktis, menanggapi setiap masalah yang diberikan. Ini membuat saya mulai membiasakan diri untuk menggunakan waktu seefektif dan seefisien mungkin. Cepat, tapi harus beralasan. Itu yang selalu ditekankan kepada kami.

PELAJARAN KEEMPAT

Semula: Sulit untuk memberi kepercayaan kepada orang lain

Hasil: Mencoba terbuka untuk mulai mempercayai orang lain

Tanggapan:

Kadang kala, mempercayakan sesuatu kepada orang lain hanya akan menyulitkan pada akhirnya, menurut saya. Menjadi perfeksionis menuntut setiap yang kita kerjakan harus sempurna, dan target ini sering meleset saat kita mempercayakan orang lain untuk melakukannya. Dalam acara ini, kami dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil, di mana tiap individu di dalamnya bertanggung jawab atas individu lainnya. Kesalahan satu orang menjadi kesalahan bersama, begitu aturannya. Alhasil, walaupun pada mulanya dilakukan secara terpaksa, lambat laun mempercayai orang lain menjadi suatu hal yang biasa. Mengapa? Kita tahu bahwa orang lain beranggapan apa yang dia lakukan akan berdampak bagi hidup orang lain, sehingga mereka berusaha melakukan semuanya dengan baik –seperti halnya yang kita lakukan-. Semua menjadi semakin mudah. Apalagi pernah ada pengalaman dimana saat saya masuk zona merah dan ‘dihukum’, ketiga teman saya juga terkena hukuman dan melakukan hukuman itu dengan suka cita. That means a lot for me. Menurut saya, ini juga perlu untuk dimiliki oleh setiap pemimpin. Mempercayai orang lain karena kita tidak dapat melakukan semuanya seorang diri :)

PELAJARAN KELIMA

Semula: Terbiasa ‘menyusahkan’ diri sendiri dengan berpikir rumit

Hasil: Semua dimulai dengan hal yang sederhana :) Kadang kala, berpikir sederhana tidak lebih buruk dari memikirkan hal-hal rumit, for the first time

Tanggapan:

Sangat setuju. Gagasan ini saya peroleh dari serangkaian kegiatan outbond yang kami lakukan di hari ketiga. Kami, orang-orang yang terbiasa memikirkan hal-hal rumit, hingga tidak menyadari bahwa segala sesuatu juga disertai penjelasan dan penyelesaian yang sederhana, terjebak dalam situasi konyol yang terus menerus menyusahkan kami –buah paling logis dari penyusahan diri sendiri, begitu saya menyebutnya-. Kami tidak menyadari bahwa sering kali kita tidak dapat menyerap informasi secara jernih, sehingga seringkali terjebak dalam penyelesaian penuh ‘emosi’ yang seringkali menyesatkan. Ideologi mahasiswa, “Semuanya harus diselesaikan secara dramatis, juga  spektakuler.” Begitu pikirku. Saat situasi seperti itu, banyak tantangan yang tidak dapat diselesaikan –dengan solusi dramatis dan spektakuler tersebut. Setelah tahu, kita hanya terdiam dan mengutuk diri sendiri, “Waah, ternyata bisa diselesaikan dengan semudah itu. Kenapa gak kepikiran yaa?” Hei, otakmu sudah terbiasa dengan hal-hal rumit boy. Jangan kau siksa lagi otakmu dengan masalah-masalah sepele! :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun