Mohon tunggu...
Rahmat Thayib
Rahmat Thayib Mohon Tunggu... Penulis - Sekadar bersikap, berharap tuna silap.

Sekadar bersikap, berharap tuna silap. Kumpulan tulisan saya: http://rahmathayib.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Semua Akan Demokrat pada Akhirnya

27 Mei 2019   18:04 Diperbarui: 27 Mei 2019   18:27 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya masih ingat sekali pidato politik Ketum Demokrat SBY pada 17 September 2018. Kala itu SBY kembali menekankan politik yang berkeadaban. Perjuangan politik harus dilakukan dengan cara-cara yang baik.

Ketika membangun kesepahaman dengan Prabowo menjelang Pilpres 2019, SBY juga kembali mengajukan syarat ini, yakni jangan sampai politik identitas/SARA mendominasi Pemilu 2019. Belakangan seruan SBY ini dilanjutkan oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). 

Komandan Kogasma Demokrat ini menegaskan bahwa Demokrat menolak politik identitas/SARA yang mengancam persatuan bangsa. AHY juga menyerukan pentingnya rekonsiliasi yang jujur dan berkeadilan pasca Pemilu 2019. Pasca pemungutan suara muncul seruan baru: menyelesaikan sengketa Pemilu 2019 secara konstitusional.

Sayangnya, seruan SBY direspon dingin oleh elit politik. Seruan AHY juga diabaikan. Parahnya pengabaian ini juga diikuti dengan aksi-aksi tidak terpuji. Badai bully dan fitnah menghantam kader-kader Demokrat bertubi-tubi. 

Dilakukan pembunuhan karakter terhadap SBY, AHY dan kader-kader Demokrat secara massif. Begitu kejamnya badai itu sampai-sampai Ibu Ani Yudhoyono yang dalam perawatan akibat sakit kanker darah pun turut difitnah. Tapi toh kader-kader Demokrat tetap bersabar. Mereka percaya kalau Tuhan tidak tidur.

Tetapi faktanya, kekhawatiran Demokrat terbukti benar. Politik identitas/SARA memicu pembelahan bangsa. Krisis kepercayaan kepada penyelenggara pemilu menyebabkan BPN Prabowo-Sandi menolak menyelesaikan sengketa pemilu secara kontitusional. 

Puncaknya, keengganan elit politik untuk membuka ruang dialog membuat suasana politik terus dan semakin memanas. Terlebih, pemerintah terkesan represif dalam menghadapi partisipasi masyarakat dan kebebasan berpendapat ini.

Puncaknya Jakarta rusuh. Besar kemungkinan ada yang bermain api di antara konflik dua kubu. Tapi akarnya tetap sama, yaitu perjuangan politik dengan menggunakan cara-cara yang kurang baik. Mujurnya, bangsa ini cepat siuman.

Rusuh Jakarta menjadi titik balik munculnya kesadaran bangsa. Media massa mulai terangan-terangan mengangkat isu bahaya politik identitas/SARA. BPN Prabowo-Sandi melunak dan menempuh jalur konstitusional. 

Sementara TKN Jokowi-Ma'ruf Amin mulai menahan diri untuk merayakan kemenangan versi pengumuman resmi KPU. Tanpa sadar, kedua kubu mulai bergeser untuk melakukan apa yang diserukan Demokrat.

Betapa bahagianya bangsa ini ketika Prabowo bersilaturahmi dengan Jusuf Kalla (JK) yang juga merupakan anggota Dewan Penasihat TKN Jokowi-Ma'ruf Amin. Meskipun pelaksanaannya masih setengah hati karena terkesan dihelat diam-diam. 

Upaya untuk mempertemukan Prabowo dan Jokowi juga sudah muncul di permukaan meskipun masih dibungkus rumor transaksional: Gerindra minta lima menteri dalam kabinet Jokowi. Tak mengapa, politik memang butuh gimmick.  Yang penting silaturahmi mereka, dan langkah-langkah selanjutnya, sudah lumayan mengendurkan ketegangan politik.

Silaturahmi Prabowo dan JK, serta kemungkinan besar kelak Prabowo dan Jokowi, sudah tepat. Baik dalam kacamata berbangsa dan bernegara, termasuk dalam kacamata Demokrat. Ya, meskipun terkesan terlambat, tidak bisa ditafik kalau mereka sejatinya sedang memujudkan gagasan yang sekian lama diserukan Demokrat.

Tidak salah rasanya bila kita menyebut ada tren bahwa semua akan Demokrat pada akhirnya. Meskipun kita juga menyayangkan mengapa kesadaran itu mesti muncul pasca rusuh Jakarta. Andai saja kesadaran itu datang lebih cepat, mungkin ceritanya akan beda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun