Mohon tunggu...
Rahmat Haqiqi
Rahmat Haqiqi Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Penulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pesan yang Tak Tersampaikan

4 Juli 2024   22:20 Diperbarui: 4 Juli 2024   22:44 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut kamu apa perlu kita menentukan sebuah tujuan?” TanyAku sambil meletakkan segelas kopi yang sudah mulai dingin di sebuah café tak jauh dari kampus pada suatu sore.

“Alya,” Kata Dimas memanggil namAku. “Hidup itu sebuah perjalanan dengan suatu tujuan tertentu. Menggapai tujuan bagi sebagian orang mungkin mudah, tapi bagi sebagian yang lain mungkin perlu usaha yang lebih besar,” katanya sambil memandang orang-orang yang berlalu lalang di jalanan depan cafe. 

“termasuk sebuah hubungan?” tanyAku

“tentu saja” katanya

“Bagaimana dengan kita?” Dimas terdiam

Dimas adalah orang yang sudah cukup lama Aku kenal. Kami kuliah di satu jurusan yang sama. Setiap ada kesulitan tentang materi kuliah Aku selalu bertanya padanya. Dia orang yang cerdas dan wawasannya luas. Selama ini dia selalu memiliki jawaban untuk setiap hal yang Aku tanyakan, jika tidak tahu, ia akan mengajakku untuk diskusi dan memacahkan jawabannya. Bagi orang secerdas Dimas kurasa ini adalah pertanyaan yang bisa ia jawab, atau jika tidak.. seharusnya itu bisa kami diskusikan.

Kami sudah dekat cukup lama.

Kami berdua saling kenal sejak dua tahun lalu dari sebuah kelas darurat pada masa-masa covid-19. Kelasnya terbatas, sebagian besar mahasiswa Angkatan kami hanya bisa mengikuti kuliah secara daring dari rumah masing-masing. Aku.. mengalami kesulitan setiap kali mengikuti kuliah secara daring. Bawaannya bikin ngantuk, membosankan dan gak ada bedanya dengan menonton video di youtube. Aku rasa itu menjadi awal kuliah yang buruk di semester 1 dan memutuskan untuk ikut kuliah secara luring pada semester selanjutnya, dan disana Aku mengenal Dimas.

Hubungan kami dimulai saat seorang dosen Filologi memberi tugas untuk mencari naskah kuno berusia minimal 50 tahun di daerah Tapal Kuda secara berkelompok. Sebenarnya kelompok kami berjumlah 3 orang. Tapi, salah satu teman kami bernama Yanto tertangkap razia tim Kesehatan kampus saat itu, karena diduga memalsukan surat keterangan vaksin sebagai persyaratan mengikuti kelas luring.

Dalam pencarian naskah yang ditugaskan, kami malah lebih banyak jalan-jalan dan mampir ke pasar budaya yang digelar di beberapa desa adat. Liburan berkedok tugas, itu nama yang cocok untuk tugas ini. Dari satu tempat ke tempat lain, bahkan rumah kakek-kakek mantan veteran perang berusia sekitar 90 tahunan tak luput dari target pencarian naskah kami. Tapi hasilnya nihil, paling jauh kami hanya mendapat catatan tentang daftar orang yang dikuburkan di sebuah pemakaman umum, itupun usianya 49 tahun 11 bulan 21 hari sedangkan tugas kami akan dikumpulkan satu minggu lagi.

Disela-sela petualangan mencari naskah, Aku jadi lebih mengenal Dimas. Ia tipe orang yang humoris berbeda dengan yang Aku kira saat pertama kali tau Namanya waktu diabsen ketika zoom meeteng semester lalu. Dia tidak suka berkomunikasi lewat chat whatsaap, biasanya jika tidak bisa bicara secara langsung dia lebih memilih telephone. Sebagai mahasiswi introvert, saat pertama kali sekelompok dengannya. Cara komunikasi yang seperti itu cukup menggangguku.

“kayanya Aku salah menilai kamu.” KatAku di sela-sela pencarian naskah kami di sebuah pasar budaya.

“kata anak-anak kamu orangnya dingin, judes gak bisa bedain cowok sama cewek.”

“yang bener aja.. kan jelas banget tuh bedanya, cewek pas solat pake mukenah kalo cowok yang penting pake celana jadi dah solat”. Kata Dimas menjawab dengan santai.

“ya bukan gitu maksudnya” katAku

“tapi Aku juga salah nilai kamu” kata Dimas “awalnya Aku kira kamu tipe orang yang membosankan, cewek introvert yang kalo bersin aja nggak kedengeran suaranya”.

“Emangnya ada ya orang bersin tapi nggak kedengaran suaranya”. KatAku

“itukan dugaan awalAku saja” kata Dimas “ternyata kamu juga bisa bersuara.” Dia tertawa dan Aku juga berusaha untuk ikut tertawa walaupun sebenarnya itu nggak lucu.

Statement orang-orang tentang Dimas mungkin ada benarnya. Tapi itu ketika dia di kelas atau dalam keadaan serius lainnya. Sedangkan diluar kelas saat bersama orang yang dia kenal, sosok Dimas menjadi orang yang benar-benar berbeda. Sosoknya humoris membuatnya mudah bergaul dengan banyak orang. Sedangkan kepribadiannya yang serius dan berpengetahuan luas terkadang menjadikannya dikenal sebagai orang yang suka memotivasi orang lain dengan cara yang ceria.

Suatu hari Dimas mengatakan padAku “sebenarnya kamu sangat pintar, tapi kalo kamu tidak bersuara itu percuma. Dunia akan rusak saat orang-orang pintar diam sedangkan orang bodoh bebas berbicara seenaknya”. Katanya waktu itu.

Setelah tugas kelompok filologi itu selesai, hubungan kami masih terus berlanjut. lebih dalam kami mulai mengenal satu sama lain. Dimas selalu mendorongku untuk tidak lagi menjadi pendiam seperti sebelumnya. Di Tengah-tengah waktu kuliah Dimas sering mengirim pesan whatsaap hanya sekedar memintAku untuk menanggapi apa yang disampaikan oleh teman kami yang sedang presentasi.

Suatu saat ketika seorang dosen memberi kami pertanyaan, Katanya “Bagaimana pendapat kalian sebagai mahasiswa tentang keberpihakan presiden terhadap salah satu pasangan capres dan cawapres pada pemilu saat ini?”.

Dimas mengangkat tangan,

“Ya saudara Dimas, bagaimana menurut anda” kata dosen

“mohon maaf bapak, saya hanya membantu mengankat tangan, tadi Alya mengankat tangan tapi kurang tinggi sehingga tidak terlihat oleh anda”. jawab Dimas sambil menunjuk ke arahku dengan diikuti tawa mahasiswa lain di kelas, menyebalkan memang. Tapi semua dukungannya padAku benar benar mampu merubahku yang selama ini tidak terlalu vocal delam menyampaikan pendapat. Aku tetap seorang Introvert tapi Aku tidak sependiam dulu. Disisi lain kadang Aku merasa jengkel tapi pada saat yang sama Aku merasa Istimewa dengan perlAkuannya.

“kita sudah Bersama sejauh ini, Aku menganggap kamu terlu Istimewa untuk hanya disebut seorang teman. Mungkin Aku terlalu percaya diri, tapi dengan segala cara kamu memperlAkukanku, Aku merasa Istimewa”. Aku melanjukan di sela pertanyaan yang tak kunjung Dimas jawab.

“Iya Kamu Istimewa. Tapi untuk saat ini, hanya ini yang bisa Aku lAkukan tanpa tau apa sebenarnya tujuannya” jawab Dimas

“Jadi hanya teman?” katAku.

Dimas terdiam.

“Aku nggak tau, apa kalau hanya sekedar teman yang istimewa juga bisa... sayang?”,”karena itu yang terjadi”.

“Aku juga merasakan itu, sayang. Tapi Aku juga nggak mau kalau kita pacaran” kata Dimas

“Kenapa?”

“Kita sudah dewasa, menurutku pacaran adalah sesuatu yang paling tidak serius untuk mengikat sebuah hubungan. Aku tAkut kalo suatu hari kamu malah membandingkan dengan orang yang mungkin datangnya membawa sesuatu yang lebih pasti daripada hanya sekedar komitmen dalam pacaran”. jelas Dimas

“kamu nggak percaya sama Aku?” tanyAku

“Aku nggak percaya sama diri sendiri. tapi suatu saat Aku akan datang dengan sesuatu yang lebih serius untuk kamu” kata Dimas sambil tersenyum, senyumnya begitu tulus yang bisa tetap Aku ingat untuk waktu-waktu setelahnya. Aku manjadi lebih tenang dengan jawabannya sore ini. Tidak ada pacaran tapi kami saling tau isi perasaan kami masing-masing, setidaknya hubungan ini tidak seperti sedang berjalan ditempat. Kami punya tujuan.

Beberapa bulan setelah percakapan kami di café dekat kampus sore itu. Aku dan Dimas lulus dengan predikat yang cukup memuaskan, kami merayakannya Bersama. Di momen wisuda itu Aku sedikit kecewa, karena ternyata sampai detik itu. Dimas masih tidak Bersama dengan apa yang ia janjikan beberapa bulan sebumnya. Hubungan kami masih sama dan setelah selesai merayakan kelulusan, beberapa hari setelahnya Dimas pulang ke kampung halamannya di salah satu kota di Jawa timur.

Aku masih sering berkomuniksi dengan Dimas melalui Whatsaap. Hari demi hari, bulan demi bulan hubungan ini berlangsung. Aku tidak masalah dengan itu, setidaknnya Aku pernah mengalami rutinitas semacam ini seperti saat menjadi mahasiswa baru dulu, tapi Aku tau cara ini bukan cara komunikasi yang disukai Dimas. Setelah beberapa bulan hubungan kami tidak lagi sama seperti sebelumnya. Tepat di bulan ketiga setelah hari kelulusan. Sebuah pesan dari Dimas masuk disertai beberapa panggilan yang tak sempat Aku angkat. Isinya satu bulan lagi dia akan berkujung ke Jember. Tapi Dua minggu setelahnya. Tiba-tiba tidak ada lagi panggilan masuk dari Dimas ataupun hanya sekedar pesan.

 Aku membuka sebuah café di dekat stasiun tak jauh dari pusat kota. Semasa kuliah dulu, jika hendak pulang ketika liburan, Dimas selalu menggunakan jasa transportasi kereta untuk pulang ke kampung halamannya. Aku berharap jika nanti Dimas kembali ke kota ini dia akan turun dari kereta dan keluar dari stasiun seperti dulu. Kami akan ngobrol di sini sambil menikmati secangkir kopi dan menceritakan hal-hal yang sudah dilalui setelah lulus dari kuliah. Aku rasa orang seperti Dimas selalu memiliki cerita dan pengalaman yang menarik untuk dibagi dengan orang lain.

Malam ini sekitar pukul 21.10, tepat satu bulan sejak Dimas mengatakan akan mengunjungi Jember. sebuah kereta dengan tujuan malang – jember baru saja tiba. Jadwalnya sedikit telat dari jadwal yang seharusnya. Cuacanya agak gerimis dan keadaan café malam ini jadi lebih ramai dari pada biasanya. Dari Seberang café, seorang lelaki yang memakai jaket hitam dengan rambut gondrong yang diikat dengan karet gelang keluar dari pintu stasiun dan berjalan ke arah café.

“apa ada yang bisa saya bantu?” tanyAku pada lelaki itu

“saya ingin bertemu dengan Mbak Alya, kata teman saya dia owner sebuah café di sebrang stasiun” kata lelaki itu

“oh iya, dengan saya sendiri”

“sebelumnya mohon maaf, saya teman Dimas. Satu bulan yang lalu Dimas mengatakan pada saya bahwa satu bulan lagi dia akan datang ke Jember untuk menemui anda. Katanya dia akan menepati janjinya yang ia buat ketika kalian masih kuliah. Tapi sayangnya dia tidak bisa datang”. Jelas lelaki itu

“kalo boleh tau kenapa Dimas tidak bisa datang?” katAku dengan perasaan yang mulai tidak nyaman

“dua minggu yang lalu Dimas mengalami kecelakaan saat melAkukan riset untuk novel yang ia tulis”. Kata lelaki itu

Aka terdiam

Suasana mendadak terasa hening, dengan mata berkaca Pandangan matAku menjadi sedikit buram. Aku masih mencoba untuk kuat dengan kabar itu dan sebisa mungkin menahan agar air mata ini tidak sampai tumpah.

“dua hari yang lalu saya dan teman-teman komunitas meminta izin kepada keluarga Dimas untuk melanjutkan tulisan yang belum Dimas selesaikan, tapi diakhir bab yang sempat Dimas tulis terdapat pesan yang saya rasa tulisan itu hanya mbak yang berhak meneruskan” lelaki itu melanjutkan, sambil memberikan draft tulisan yang belum Dimas selesaikan. “mungkin itu saja yang bisa saya lAkukan untuk teman saya mbak, saya pamit dulu”.

“oh iya terimakasih mas, mohon maaf merepotkan”. KatAku, lelaki itu hanya tersenyum dan melambaikan tangan sambil melangkah keluar café

Aku memutuskan untuk pulang lebih awal dan menitipkan café kepada rekan yang membantuku disana. Di mobil dalam perjalan pulang dadAku serasa sesak, mengingat semua momen-momen bersama Dimas dan Senyumnya satu tahun lalu ketika ia berjanji untuk datang dengan wacana ‘seriusnya’. “Kenapa secepat ini” katAku didalam hati, tangisku pecah.

Sesampainya dirumah Aku membuka tulisan yang teman Dimas berikan. Aku bertanya-tanya kenapa Aku yang mereka minta untuk meneruskan tulisannya. Aku membacanya dari awal, kisahnya menarik dan sedikit familiar. ini kisah kami.

Setelah membacanya Aku tau kenapa Aku yang harus melanjutkannya. Bab terakhir yang akan Dimas tulis berjudul “Pesan Yang Tak Tersampaikan”. Pada bagian bawah judul bab itu Dimas seolah mengungkap pesan kenapa pada waktu itu kami tidak pacaran. “Aku mempercayai kesetiaanmu, tapi Aku terlalu malu jika harus mengeluh karena kegagalanku padamu. Aku mencintaimu, maka Aku akan datang saat benar-benar siap untuk memilikimu.”. kata Dimas melalui tulisannya.

Sejujurnya Aku juga tidak sanggup untuk melanjutkan tulisannya. Kurasa untuk menuliskan semua rencana Dimas yang pernah ia sampaikan padAku dulu, terlalu sederhana jika diungkapkan hanya melalui tulisan. Tapi Aku juga sulit menerima jika Dimas pergi tanpa pernah sempat menepati janjinya, tulisan ini adalah gantinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun