Mata Om itu masih terus mengikuti langkan Wanita yang berjalan keluar. Sambil berkata dalam hatinya "sungguh sial Nasib Wanita itu". Om pemilik club itu sebenarnya memang orang baik, penampilannya saja yang seperti alumni penjara paling sadis.
Jam digital di atas pintu keluar itu menunjukkan pukul empat pagi. Para pengunjung mulai meninggalkan club, penampilan mereka beragam, club itu memang memiliki pengunjung dari segala kalangan, dari yang pengangguran sampai caleg gagal. Mereka hanya ingin menepi sejenak dari kebohongan kehidupan merekan. Jelaslah mereka adalah orang yang sering dikhianati kehidapannya masing-masing.
Satria menjadi orang terakhir yang keluar dari club itu. Om menyapanya, dia sudah mengenalnya sejak beberapa bulan terakhir. Sebagai pemilik club ini sudah menjadi kebiasaannya untuk menyapa dan mengobrol setiap kali ada pengunjungnya yang keluar paling akhir. Ia sangat tahu mereka yang datang kesini bukanlah orang-orang yang sepenuhnya buruk. Mereka hanya orang yang memiliki banyak masalah hidup sebagaimana kebanyakan orang pada umumnya. Akan tetapi ironisnya tidak semua orang memiliki tempat untuk sekedar menepi dari berbagai masalah hidup itu, yang pada akhirnya membawa mereka untuk pergi ketempat-tempat remang seperti club ini alih-alih pergi ke tempat ibadah sebagaimana orang yang dianggap baik dimata kebanyakan orang.
"Hei Sat, Bagaimana kabarmu hari ini?", sapa Om
"Seperti biasa Om, Dunia masih suka memepermainkanku". Jawab Satria
"bukankah itu wajar, kau saja yang terlalu tolol menggantungkan nasibmu kepada khayalan tentang kebaikan dunia" kata Om
"iya Om, tapi aku sudah muak, hanya mereka pelarianku Wanita-wanita yang masih belum tau apa-apa soal realita. Dengan membuat mereka menderita setidaknya bisa membuatku merasa punya Nasib yang lebih baik". Jelas Satria sambil sedikit tertawa.
"Dasar tolol". Kata si Om dengan perasaan miris yang ia rasakan. Baginya sangat jelas apa yang orang-orang lakukan di clubnya adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan menurut standar tak tertulis kebanyakan orang. Akan tetapi standar itu tidak berbanding lurus dengan kepedulian mereka terhadap sesama. Dalam hatinya yang paling murni Om selalu bertanya, "Sampai kapan clubnya menjadi tempat yang lebih ramai dibandingkan rumah ibadah di waktu malam dengan segala kejujurannya?". Â Â
Satria hanya tersenyum sambil meninggalkan club itu. dalam kepalanya masih memutar kisah masa lalunya. Diabaikan Wanita yang ia puja, yang ia perjuangkan sehingga apapun yang ia raih hanya Wanita itu alasannya. Sampai pada titik dimana Satria sadar bahwa Ia hanya dimanfaatkan Wanita pujaannya. Wanita itu tak pernah kagum dengan pencapaiannya, apalagi peduli dengan kegagalannya. Awalnya Satria masih yakin jika suatu saat Wanitanya akan berubah dan membalas cinta yang telah ia berikan. Tapi kenyataannya. cinta tidak bisa dipaksakan. Satria kecewa, cintanya sudah mati, keyakinannya hilang, hidupnya berubah. Satria tenggelam kedalam fase paling gelap di hidupnya.
Tulisan TEPI KEHIDUPAN dari bahan akrilik yang terpampang digedung itu mulai dimatikan. Nama yang terdengar cukup religious, walaupun berbanding terbalik dengan pengunjungnya. Namun demikianlah makna Tepi Kehidupan, sebuah tempat yang memberikan tempat untuk orang yang tak lagi memiliki tempat.
Fajar mulai terbangun dari tidur panjangnya. Mentari juga sedang Bersiap untuk menyambut pagi. Dan Kejujuran malam perlahan mulai kembali bersembunyi untuk beberapa waktu kedepan.