Mohon tunggu...
Rahmat Haqiqi
Rahmat Haqiqi Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Penulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tepi Kehidupan

27 Juni 2024   21:40 Diperbarui: 5 Juli 2024   21:31 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hidup hanya sekedar singgah untuk bermain-main. Setidaknya setelah beberapa pengkhianatan Nasib terhadap hidupku, sudah tak ada lagi sesuatu yang harus ditanggapi secara serius. Realita telah menghempaskanku sekeras-kerasnya dan menyadarkan peranku di dunia ini hanya sebuah pion yang tak mungkin menentukan kemenangan apa-apa". Gerutu seorang lelaki Bersama seorang Wanita di sudut sebuah club malam. Keduanya sama-sama tampak kacau, entah apa saja yang telah mereka lakukan.

Setengah sadar atau tidak sama sekali orang itu sesekali menggerutu, ketika sebotol minuman yang tersisa separuh isinya itu ia genggam. Satria Bijaksana nama lelaki itu. Seorang aktor kehidupan berengsek yang hobinya menghempaskan dan menginjak-injak perasaan seorang Wanita. Baginya tangisan seorang Wanita hanya sebatas lagu tidur jika diingat-ingat saat matanya sudah tak kuat untuk terjaga.

Seperti saat ini, kembali seorang Wanita datang menghampirinya sambil mengumpat,

"anjing dasar laki-laki berengsek!". rasa kesal tak dapat lagi disamarkan melalui gemerlap lampu club yang warna-warni itu. Suara Wanita itu bahkan lebih mendominasi daripada suara musik remix yang sedang dimainkan. Bahkan suaranya terdengar hingga meja di sudut lainnya. Dari desas-desus yang beredar Wanita itu adalah pacar Satria, atau mungkin "korban selanjutnya" kata kawan-kawannya.

Ini bukan drama pertama yang kawan-kawan Satria saksikan. Bagi Satria didatangi Wanita sambil menenteng umpatan dimulutnya bukan satu hal yang baru. Jiwa raganya sudah terlalu kebal dengan hal itu. Tangan Satria masih tetap sibuk dengan Wanita yang sama-sama masih teler di sampingnya. Seolah tuli, umpatan Wanita yang baru datang itu tidak ia hiraukan, sedangkan umpatannya mulai berganti menjadi sumpah serapah.

Karena suaranya yang memang seperti bersaing dengan suara music yang ada disana, seorang Om-om berbadan kekar dengan tato naga berkepala delapan di lengannya menghampiri orang-orang di meja itu.

"Hei Wanita, tidakkah kamu sadar suaramu berpacu dengan alunan music di club ini. Ayolah jangan sadarkan orang-orang disini dari halunya dengan sumpah-serapahmu, seolah hanya kau yang sedang tersakiti disini. Tempat ini adalah pelarian orang-orang dari masalah, bukan tempat menyelesaikan masalah. Lebih baik kau keluar". Dengan suara tegasnya Om-om itu menyeret si Wanita keluar dari tempat itu.

"lepaskan Om, aku belom selesai dengan si brengsek ini", Wanita itu memohon kepada Om sambil menunjuk dahi si brengsek Satria

"Apa otakmu sedang libur bekerja atau tak mengerti bahasa manusia" jawab si Om tanpa melepas tangan Wanita itu

"AlAH Dasar babi", balas Wanita itu sambil berjalan meninggalkan club, sepertinya umpatannya masih akan terus belangsung, entah sampai kapan.

Mata Om itu masih terus mengikuti langkan Wanita yang berjalan keluar. Sambil berkata dalam hatinya "sungguh sial Nasib Wanita itu". Om pemilik club itu sebenarnya memang orang baik, penampilannya saja yang seperti alumni penjara paling sadis.

Jam digital di atas pintu keluar itu menunjukkan pukul empat pagi. Para pengunjung mulai meninggalkan club, penampilan mereka beragam, club itu memang memiliki pengunjung dari segala kalangan, dari yang pengangguran sampai caleg gagal. Mereka hanya ingin menepi sejenak dari kebohongan kehidupan merekan. Jelaslah mereka adalah orang yang sering dikhianati kehidapannya masing-masing.

Satria menjadi orang terakhir yang keluar dari club itu. Om menyapanya, dia sudah mengenalnya sejak beberapa bulan terakhir. Sebagai pemilik club ini sudah menjadi kebiasaannya untuk menyapa dan mengobrol setiap kali ada pengunjungnya yang keluar paling akhir. Ia sangat tahu mereka yang datang kesini bukanlah orang-orang yang sepenuhnya buruk. Mereka hanya orang yang memiliki banyak masalah hidup sebagaimana kebanyakan orang pada umumnya. Akan tetapi ironisnya tidak semua orang memiliki tempat untuk sekedar menepi dari berbagai masalah hidup itu, yang pada akhirnya membawa mereka untuk pergi ketempat-tempat remang seperti club ini alih-alih pergi ke tempat ibadah sebagaimana orang yang dianggap baik dimata kebanyakan orang.

"Hei Sat, Bagaimana kabarmu hari ini?", sapa Om

"Seperti biasa Om, Dunia masih suka memepermainkanku". Jawab Satria

"bukankah itu wajar, kau saja yang terlalu tolol menggantungkan nasibmu kepada khayalan tentang kebaikan dunia" kata Om

"iya Om, tapi aku sudah muak, hanya mereka pelarianku Wanita-wanita yang masih belum tau apa-apa soal realita. Dengan membuat mereka menderita setidaknya bisa membuatku merasa punya Nasib yang lebih baik". Jelas Satria sambil sedikit tertawa.

"Dasar tolol". Kata si Om dengan perasaan miris yang ia rasakan. Baginya sangat jelas apa yang orang-orang lakukan di clubnya adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan menurut standar tak tertulis kebanyakan orang. Akan tetapi standar itu tidak berbanding lurus dengan kepedulian mereka terhadap sesama. Dalam hatinya yang paling murni Om selalu bertanya, "Sampai kapan clubnya menjadi tempat yang lebih ramai dibandingkan rumah ibadah di waktu malam dengan segala kejujurannya?".    

Satria hanya tersenyum sambil meninggalkan club itu. dalam kepalanya masih memutar kisah masa lalunya. Diabaikan Wanita yang ia puja, yang ia perjuangkan sehingga apapun yang ia raih hanya Wanita itu alasannya. Sampai pada titik dimana Satria sadar bahwa Ia hanya dimanfaatkan Wanita pujaannya. Wanita itu tak pernah kagum dengan pencapaiannya, apalagi peduli dengan kegagalannya. Awalnya Satria masih yakin jika suatu saat Wanitanya akan berubah dan membalas cinta yang telah ia berikan. Tapi kenyataannya. cinta tidak bisa dipaksakan. Satria kecewa, cintanya sudah mati, keyakinannya hilang, hidupnya berubah. Satria tenggelam kedalam fase paling gelap di hidupnya.

Tulisan TEPI KEHIDUPAN dari bahan akrilik yang terpampang digedung itu mulai dimatikan. Nama yang terdengar cukup religious, walaupun berbanding terbalik dengan pengunjungnya. Namun demikianlah makna Tepi Kehidupan, sebuah tempat yang memberikan tempat untuk orang yang tak lagi memiliki tempat.

Fajar mulai terbangun dari tidur panjangnya. Mentari juga sedang Bersiap untuk menyambut pagi. Dan Kejujuran malam perlahan mulai kembali bersembunyi untuk beberapa waktu kedepan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun